“Waktu itu ada wisatawan asal Portugal datang mau mendaki Gunung Ungaran seorang diri. Dia mau melihat sunset. Karena di antara kami tidak ada yang bisa berbahasa Inggris, dan dia tidak bisa bahasa Indonesia samasekali, akhirnya kami berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat,” jelas pria yang akrab disapa Gembis, petugas base camp Mawar, Ungaran, Jawa Tengah.
Baca cerita perkembangan base camp Mawar Ungaran sejak awal berdiri hingga se-ramai sekarang dengan klik di sini.
Komunikasi dengan bahasa isyarat saat itu, dianggapnya sebetulnya cukup riskan karena ada beberapa instruksi yang berkaitan dengan keselamatan yang harus petugas jelaskan.
“Kami bukannya tidak mau men-serve secara maksimal, tapi karena komunikasi tidak lancar ya mau bagaimana lagi. Padahal sebetulnya tidak dianjurkan mendaki seorang diri untuk yang baru pertama kali ke sini.”
Untungnya saat itu tidak terjadi hal fatal. Wisatawan asal Portugal tersebut hanya sedikit terlambat turun dari estimasi waktu para petugas base camp sehingga harus dijemput. Usut punya usut, ternyata wisatawan tersebut turun menggunakan jalur berbeda, sehingga meleset dari waktu perkiraan awal.
“Ya itu, kalau saja saat di base camp kami bisa berkomunikasi lancar, semestinya tak perlu ada hal semacam itu,” ungkap Gembis.
Gembis, dan puluhan petugas lain di base camp tersebut bukan anak kemarin sore di industri wisata. Namun nyatanya, mereka sendiri menyadari bahwa kemampuan berbahasa asing menjadi salah satu kelemahan utama mereka.
“Kalau ditanya ingin belajar bahasa asing atau tidak, bukan cuma ingin lagi, kami menyadari kalau itu bahkan sudah jadi keharusan. Sayangnya kami tidak punya banyak waktu luang, karena hampir semua petugas di sini memiliki kesibukan utama di luar base camp. Sampai sekarang belum ada waktu untuk belajar bahasa asing. Tapi kami sadar, di sini harus ada yang bisa bahasa asing,” pungkas Gembis.
“Tempatnya luar biasa indah, budaya unik, makanannya enak, dan warganya ramah-ramah. Saya cinta Indonesia,” terang Grant Owen, seorang mahasiswa asing asal Amerika Serikat yang tengah menjalani studi di sebuah universitas di Semarang.
Grant Owen mengaku gemar berwisata. Ia sudah mengunjungi negara-negara di Asia Tenggara, dan ia menjadikan Indonesia sebagai favoritnya.
“Kecuali Filipina, Brunei dan Myanmar, negara lain di ASEAN sudah saya kunjungi.”
Ketika ditanya mengenai pelayanan yang ia dapat ketika berkunjung ke destinasi wisata Indonesia, kemampuan berkomunikasi dalam bahasa asing masyarakat Indonesia yang menjadi perhatiannya.
“Kalau petugas atau pemandu wisatanya saya pikir sudah baik. Kemampuan bahasa asing masyarakat di sekitar tempat wisata yang saya pikir cukup menjadi kendala ketika saya coba mengakrabkan diri dengan mereka. Orang Indonesia sangat ramah, saya suka berkenalan dengan warga lokal. Tapi memang, tak semua dari mereka dapat berkomunikasi lancar dengan saya,” aku Owen.
Baca opini turis asing saat ada warga lokal Indonesia minta foto bareng mereka dengan klik di sini.
Pemerintah Indonesia telah menetapkan target kunjungan wisatawan mancanegara sebanyak 20 juta pada tahun 2019. Berbagai strategi telah disusun dan diimplementasikan oleh pemerintah –dalam hal ini Kementerian Pariwisata, untuk mencapai hal tersebut. Implementasi 3A di seluruh tempat wisata, Amenitas, Atraksi dan Akses, strategi go digital, air connectivity hingga pembangunan 1000 homestay di desa wisata.
Hasilnya terbilang sukses. Berdasar data statistik di laman resmi Kemenpar, hingga bulan Agustus 2017, tercatat pertumbuhan 25,68% kunjungan wisatawan mancanegara dibanding rentang waktu yang sama pada tahun lalu.
Arus masuk wisatawan mancanegara mengalir deras. Namun di sisi lain kita tak boleh menutup mata bahwa masih banyak hal yang perlu diperbaiki, termasuk permasalahan kualitas SDM pelaku wisata, utamanya pramuwisata yang berada di garda depan.
Kepala Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) dan Parekraf Disporapar Provinsi Jawa Tengah, Trenggono, saat kami temui di ruangannya, setuju dengan hal itu.
“Para pemandu, atau kita menyebutnya pramuwisata adalah ujung tombak maju tidaknya pariwisata. Mereka lah yang selalu bertemu dan bertatap muka dengan wisatawan. Makanya harus diberi pembekalan dan pelatihan untuk meningkatkan skill,” tukas Trenggono.
Menurut Trenggono, pariwisata itu adalah tentang sinergi, tak bisa jalan sendiri-sendiri.
“Tidak mungkin pariwisata maju kalau jalan sendiri-sendiri. Semisal teman-teman di lapangan butuh bantuan untuk peningkatan skill, bisa dicoba untuk aktif mengajak pihak-pihak terkait, pasti nanti pemerintah juga akan mendukung.”
Trenggono menambahkan, pramuwisata adalah marketer, penjual, sehingga profesionalisme mereka harus teruji. Menurut data yang dimiliki pemerintah, ada sekitar 725 pramuwisata di Jawa Tengah yang sudah tersertifikasi.
“Harus tersertifikasi. Bagaimana mereka menjelaskan suatu tempat pada wisatawan, bagaimana semestinya memandu, bagaimana menanggapi complain klien, harus lengkap skill pramuwisata itu.”
Dirinya menjelaskan, pemerintah selama ini rutin mengadakan pelatihan bahasa asing dan juga pelayanan pada wisatawan. Namun menurutnya, kemampuan pemerintah juga terbatas, utamanya dari sisi anggaran dan tenaga, sehingga Trenggono sekali lagi berharap adanya sinergi yang kuat dari semua pihak yang terkait di industri ini.
“Kami pernah bekerja sama dengan universitas-universitas, maupun hotel-hotel mengadakan pelatihan untuk teman-teman pramuwisata. Memang harus seperti itu. Tapi karena tak selalu kami bisa memonitor teman-teman di lapangan, jika ada yang belum tercover, teman-teman di lapangan juga kami harapkan aktif,” pungkas Trenggono.
***
Hal yang dialami Gembis dan teman-temannya di base camp Mawar Ungaran menjadi contoh kecil. Mungkin kawasan mereka memang bukan daerah sangat ramai wisatawan mancanegara, tapi bukankah justru karena belum ramai inilah jadi waktu yang tepat untuk mengasah diri? Tak perlu menunggu sampai ramai dulu, baru kita gelagapan, kan?