Suatu malam di warung kopi tarik Ungaran, saya janji ketemuan dengan seorang teman yang sudah lama nggak jumpa. Tepat pukul 8, saya tiba di kedai kopi yang selalu ramai orang ini. Tiba-tiba, suara yang sudah nggak asing di telinga terdengar dari bangku paling pojok . “Chi!” teriaknya sambil lambaikan tangan. Spontan, kaki saya melangkah ke arahnya. Kami pun saling berjabat tangan.
“ Wah, Cah Traveler saiki”
(Cah dari kata bocah yang berarti anak sedangkan saiki dalam bahasa Indonesia artinya sekarang)
Wih, traveler! Sejak kapan saya berubah profesi jadi traveler? Hehehe .. Well, sebutan “traveler” memang enak banget buat didengar. Keren lah. Kalau orang Jawa Tengah nyebutnya “sangar”.
Suatu kehormatan bagi saya jika ada yang memanggil saya “traveler”. Tapi kalau boleh memilih, lebih baik jangan panggil saya traveler.
Traveler itu apa sih? Kata traveler sendiri berasal dari Bahasa Inggris. Menurut kamus Oxford,
traveler (n), a person who often travels or who is traveling
Untuk makna yang lebih luas lagi, traveler bisa juga dimaknai sebagai seseorang yang sering melakukan perjalanan dan hidup tidak menetap atau nomaden.
Sedangkan saya? Saya hanyalah pejuang weekend dan pencari izin cuti tahunan yang doyan jalan-jalan. Setiap hari Senin hingga Jumat kerja demi akhir pekan. Mengumpulkan lembaran-lembaran rupiah buat bisa beli tiket perjalanan.
Jika ada uang lebih, manfaatkan weekend buat pergi ke destinasi wisata sekitar tempat tinggal. Sekadar cari angin atau refreshing. Kalau lagi bokek pas tanggal ‘tua’ gini ya mending nongkrong di depan leptop nonton drama seri.
Sedangkan seorang traveler sejati adalah dia yang sering melakukan perjalanan. Sering hidup berpindah-pindah dari satu destinasi ke destinasi lainnya. Misalkan seminggu ini di Bali, eh tahu-tahu, minggu depannya sudah ada di Paris. Bulan ini lagi di India, bulan depannya sudah di Belanda. Well, enak banget ya jadi seorang traveler?
Lalu, kalau lihat galeri instagramnya, hampir setiap hari posting tempat liburan yang berbeda. Jarang posting “throw back” atau “late post”. Contoh traveler di Indonesia misalnya si Kenny Kartu Pos. Doi sering banget jalan-jalan. Abis balik dari New Zealand, doi jalan-jalan ke Bali, lalu ke Australia, balik lagi ke Jakarta, dan nggak lama kemudian sudah nongkrong manis di Central Park, New York.
Ada lagi traveler wanita asli Indonesia yang super keren seperti Trinity. Kalau lihat feed instagramnya, saya benar-benar nggak bisa mendeteksi keberadaannya. Apakah dia lagi stay di Jakarta atau sedang jalan-jalan entah di mana.
Apalagi pasangan traveler Pergi Dulu, Adam dan Suzan. Nah, mereka berdua ini memang sangat layak dipanggil traveler, karena mereka nggak hanya sering traveling, tapi juga hidup berpindah-pindah atau nomaden.
Menyandang nama traveler itu berat banget. Karena profesi sebagai taveler mengharuskan kita untuk terus menjelajah berbagai destinasi. Selain memuaskan diri sendiri, sering melakukan perjalanan bisa jadi sumber ide dan meningkatkan produktifitas menghasilkan karya dan uang tentu agar bisa terus jalan-jalan.
Akhirnya, banyak orang yang meninggalkan pekerjaan demi menjadi seorang traveler sejati yang bisa bebas bepergian kesana kemari tanpa menghiraukan masalah izin kerja dan keuangan. Lalu, beralih profesi jadi full time travel youtuber, travel blogger, atau travel selebram.
Sebutan traveler secara nggak langsung ‘memaksa’ Kamu menjadi seseorang yang paling tahu segala hal tentang dunia pertravelingan. Orang-orang di sekitar pun selalu menjadikanmu sebagai ‘google berjalan’. Bertanya apa saja, mulai dari tanya kapan waktu terbaik buat beli tiket murah hingga pertanyaan Kamu traveling terus kapan kawin?
***
Yah begitu itu, saya nggak memenuhi kualifikasi sebagai traveler. Hanya pencari hari libur untuk pergi melihat dunia lain selain microsoft word. Karena alasan itulah, saya nggak sanggup menyandang nama traveler. Jangan panggil saya traveler, panggil saja saya “ECHI”. The lady who loves traveling n eating.