Hongkong Kota Termahal di Dunia dan Kisah Pilu di Balik Julukannya

Tahun 2020, studi bertajuk "16th Annual Demographia International Housing Affordability Surveys: 2020" menetapkan Hongkong sebagai kota termahal di dunia.

SHARE :

Ditulis Oleh: Taufiqur Rohman

Pada awal tahun 2020 lalu, studi yang bertajuk “16th Annual Demographia International Housing Affordability Surveys: 2020” menetapkan Hongkong sebagai kota termahal di dunia. Predikat ini diberikan kepada sebuah kota yang biaya hidupnya paling sulit dijangkau. Keterjangkauan ini dikur dari harga rumah tangga rata-rata dibagi pendapatan rumah tangga rata-rata.

Hongkong mendapatkan skor 20,8 yang berarti harga rumah rata-rata lebih dari 20 kali lipat dari pendapatan rumah tangga rata-rata. Skro tersebut turun sedikit dibandingkan tahun 2019 lalu, yaitu 20,9. Hal ini bisa terjadi karena kontrol ketat pemerintah Hongkong pada pengembangan properti baru. Hongkong unggul dari 308 kota yang tersebar di 8 negara lainnya.

Alih-alih positif, gelar yang disematkan pada Hongkong lebih berkonotasi negatif. Pasalnya julukan kota termahal di dunia menunjukkan bahwa kebutuhan rumah tangga harganya jauh lebih mahal daripada pendapatan rata-rata. Pada tahun 2019, harga rumah di negara ini berkisar USD 1,2 juta atau 16 miliar, lebih tinggi daripada New York dan kota-kota di Eropa.

Harga rumah di Hongkong terus mengalami kenaikan selama dua dekade terakhir. Kondisi ini menyebabkan penduduknya yang kesulitan mengakses tempat tinggal yang layak. Setidaknya terdapat 210 ribu dari total 7,3 juta penduduknya yang hidup di apartemen sempit. Sepertinya pemerintah kota Hongkong kurang memperhatikan kesejahteraan para penduduknya.

Akibat Pemerintah yang Kapitalis

Secara geografis, masih banyak lahan-lahan di area pegunungan berbatu yang belum dimanfaatkan alias menjadi lahan tidur. Data dari pemerintah Hongkong ada sekitar 75 persen lahan tidur. Memang akan sedikit sulit dikembangkan, tapi ini bukanlah penghalang bagi Hongkong untuk tidak mengolahnya menjadi hunian layak bagi para penduduknya.

Laporan Vox pada tahun 2018 menyebut bahwa hanya terdapat 3,7 persen atau 1.108 kilometer persegi yang digunakan untuk hunian. Yang lainnya berada di bawah kekuasaan pemerintah, dan rupanya mereka lebih suka menyewakan lahan-lahan kosong kepada pengembang dengan harga yang lebih tinggi. Para pengembang inilah yang nantinya menggunakan lahan-lahan tersebut menjadi pusat perkantoran atau pemukiman.

Dari sini, bisa terjawab kenapa harga hunian di Hongkong teramat sangat mahal. Sedangkan pendapatan rumah tangga yang rendah terjadi karena implikasi kebijakan pajak yang rendah kepada investasi asing. Menurut Index of Economic Freedom yang dikeluarkan The Heritage Foundation, Hongkong di posisi pertama sebagai negara paling bebas dalam ekonomi.

Hongkong sangat ramah kepada investasi asing. Sebagian besar pemasukan pemerintah diperoleh dari penerimaan tanah, baru 30 persen lainnya dari pendapatan keuangan pemerintah. Kebijakan ini berhasil menjadikan kota Hongkong dalam jajaran kota maju lainnya. Memang sangat bagus bagi para pebisnis, namun sangat menyengsarakan masyarakat Hongkong.

Rakyat Hongkong Hidup dalam Peti

Sebanyak 210 ribu penduduk Hongkong hidup di apartemen seukuran 3×3 meter yang hanya muat untuk satu orang saja. Mereka akan tidur, makan, dan melakukan berbagai aktivitas lainnya di tempat yang sama. Apartemen ini disebut oleh masyarakat Hongkong sebagai kandang atau peti mati. Harga sewa perbulannya pun sangat mahal, yaitu USD 512 atau Rp 7 juta.

Masih ada juga hunian yang lebih sempit lagi, berukuran 2×1 meter dengan biaya sewa 1300 Dollar Hongkong atau Rp 2,4 juta. Mereka yang tinggal di sini masih harus berbagi kamar mandi dan dapur di tempat yang sama. Itu pun masih banyak yang terkadang tidak mampu membayar sewa karena harus membagi pendapatannya dengan makan dan kebutuhan lainnya.

Tahun 2019 lalu, pemerintah Hongkong berniat untuk membuat sebuah pulau reklamasi yang akan digunakan untuk perumahan. Akan tetapi rencana ini banyak ditentang karena akan merusak lingkungan dan habitat satwa seperti lumba-lumba merah mudah. Selain itu, rencana ini nantinya dikhawatirkan akan semakin memperparah kondisi permukaan air laut.

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU