Saya tahu, banyak orang yang menulis kisah perjalanannya dalam sebuah jurnal maupun catatan ringan non-fiksi. Tetapi bagi saya, sebuah perjalanan memberi banyak kontribusi dalam penulisan karya fiksi. Benarkah?
Iya, dong. Saya tidak sepenuhnya setuju dengan pernyataan yang mengatakan bahwa menuliskan latar tempat dalam karya fiksi tak harus pergi ke tempat tersebut. Untuk penulisan fiksi dengan genre fantasi, hal ini bisa dan memang biasa dilakukan. Tapi untuk penulisan fiksi genre lain, logisitas dalam cerita yang ditulis menjadi tuntutan utama. Penulis harus melakukan riset mendalam jika ingin isi ceritanya logis. Tak mungkin kan ia dengan enteng menuliskan bahwa Taman Tragoess terletak di Indonesia? Atau, Cartensz Pyramid ada di Nepal sana?
Memang, penulis fiksi bisa melakukan riset pustaka atau riset data internet untuk mengetahui kondisi tempat yang akan ditulis. Tapi, pasti hasilnya akan sangat berbeda dengan kita melakukan riset observasi.
Artikel terkait: Mengapa Saya Memilih Tulisan Perjalanan Naratif
Oke, itu tadi soal setting, salah satu unsur dalam tulisan fiksi yang nanti akan dibahas lebih jauh dalam tulisan ini. Ada unsur-unsur lain dalam penulisan karya fiksi yang juga bisa didukung dari sebuah perjalanan. Seorang penulis fiksi tentu sangat paham dengan unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam karyanya. Saya tidak akan membahas secara mendalam soal teknik menulis karena setiap penulis fiksi memiliki cara tersendiri dalam proses penulisannya. Tapi, mari kita sedikit mengurai korelasi antara petualangan dan proses penulisan. Bagi saya, ada empat hal yang sangat berkaitan antara keduanya.
Sering melakukan perjalanan tentu akan sering bertemu banyak orang. Di bus kota, kereta, pesawat, kapal laut, bahkan dengan tetangga penginapan kita bisa menemukan berbagai ‘bentuk’ manusia dengan karakternya. Cobalah mengobrol lebih jauh dengan mereka, pasti ada sisi unik dari mereka yang tak dimiliki orang lain. Dari berbagai macam orang yang ditemui itu, kadang tak sedikit yang membekas di otak kita. Adopsilah karakternya untuk menciptakan karakter tokoh dalam cerita yang kita buat agar si tokoh tampak nyata dan hidup. Ingat, tokoh dengan karakter yang terlalu sempurna biasanya hanya ada di sinetron-sinetron. Jangan sampai hal ini terjadi pada karya fiksimu jika tak ingin tulisanmu ditutup sebelum selesai dibaca oleh penikmat cerita.
Penulis fiksi pasti juga paham, dialog dalam sebuah cerita sangat penting untuk mendukung penggambaran karakter tokoh. Dialog yang baik bukanlah pembicaraan yang bertele-tele dan ‘kosong’. Dialog dalam sebuah cerita akan sangat berisi apabila kita memiliki pengetahuan dan pengalaman berdialog dengan banyak orang. Dengan karakter yang berbeda-beda, sebuah dialog yang kadang tak terduga akan tercipta dari interaksi dengan banyak orang.
Setting tempat dalam sebuah cerita fiksi seringkali memiliki peran penting dalam sebuah cerita. Jika penulis bisa menggambarkan setting tempat secara baik, maka pembaca akan terbawa ke dalamnya. Kemampuan penggambaran setting memang tergantung kepada kemampuan penulis, dan kemampuan itu pun tak bisa didapat secara cuma-cuma tanpa berlatih dan pengalaman. Memang, deskripsi sebuah tempat juga bisa ditulis dari data hasil riset pustaka.
Namun, lihai dalam menulis deskripsi tempat saja tidak cukup. Karena jika porsinya tidak pas, deskripsimu akan sangat membosankan. Maka tulisan deskriptif pun harus diimbangi dengan tulisan naratif. Di sinilah korelasi antara perjalanan dengan kemampuan mengasah skill menulis cerita naratif karena sejatinya perjalanan adalah cerita diri yang bergerak secara runtut.
Dengan bertualang, penulis fiksi akan bisa menggambarkan situasi dan kondisi suatu tempat dengan porsi yang pas karena mereka mengenal dengan baik tempat tersebut. Apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan oleh penulis ketika melakukan perjalanan akan ia tuangkan apa adanya. Aroma tanah, udara, serta hal lain yang bisa ditangkap dengan panca indera penulis pun akan bisa digambarkan dengan baik bahkan menancap kuat di otak pembaca.
Memang, penulis bisa saja melakukan riset data dengan data pustaka, wawancara, atau pun data internet yang saat ini sudah sangat mudah didapat untuk menggambarkan kondisi tempat tertentu. Tapi jika tidak hati-hati, penulis akan terjebak pada keinginan menuliskan seluruh data yang didapat dari metode tersebut. Hasilnya? Apa yang ia tulis melebar ke mana-mana.
Pembaca akan sangat senang ketika dirinya juga bisa terbawa ke tempat-tempat yang ada dalam cerita yang sedang dibaca. Mereka akan merasakan sensasi bertualang hanya dengan membacanya, jika apa yang disampaikan oleh penulis bisa digambarkan dengan baik. Ingat, mereka akan cepat bosan dan meninggalkan cerita yang kamu tulis jika deskripsinya sangat datar dan bertele-tele.
Artikel terkait: Menulislah Agar Tempat Itu Terus Hidup
Seorang penulis beberapa buku kontroversial, Muhidin M Dahlan, saat berbicara dalam sebuah kelas menulis yang saya ikuti pernah membahas tentang ini. Bahwa untuk menggambarkan suasana pohon terlarang bagi Adam dan Hawa dalam bukunya yang berjudul sama, dirinya melakukan perjalanan kecil ke Alun-alun Kidul Yogyakarta. Dia membayangkan pohon beringin kembar yang ada di sana sebagai pohon terlarang itu.
Nah, kenapa untuk menuliskan tempat-tempat yang masih bisa dijangkau, para penulis fiksi tak melakukan perjalanan untuk mencapainya?
Biasanya ide menjadi unsur pertama yang dibahas dalam teori-teori kepenulisan. Namun di sini saya sengaja menempatkannya di poin terakhir. Kenapa?
Setiap perjalanan menawarkan pengalaman batin tersendiri kepada setiap pelakunya. Pengalaman batin yang didapat adalah hal privat yang bahkan tidak sama dengan pengalaman batin yang didapat oleh teman seperjalanan. Dengan melakukan perjalanan dan bertualang ke mana pun, seseorang akan bertemu pada satu momen di mana batinnya akan mengajaknya berbicara. Monolog batin paling dalam ada di titik ini. Maka, segala yang didapat dari titik ini adalah kesimpulan dan pelajaran dari apa yang telah dilakukan. Dari situ munculah ide-ide yang bisa ditangkap dan diikat untuk dijadikan sebuah cerita. Ide yang tak biasa dan luar biasa.
***
Bagaimana, penulis fiksi? Bertualanglah, maka nyawa dalam ceritamu akan lebih kuat berbicara.