Gunung di Indonesia Tak Lagi Dianggap Sakral Para Pendaki?

Gunung yang sakral bukan dilihat dari ukuran atau bentuknya yang besar. Atau pun banyaknya cerita menyeramkan yang beredar di dalamnya. Tapi ...

SHARE :

Ditulis Oleh: Echi

Gunung yang sakral bukan dilihat dari ukuran atau bentuknya yang besar. Atau pun banyaknya cerita menyeramkan yang beredar di dalamnya. Kesakralan gunung dilihat dari karakater gunung itu sendiri. Ketika gunung tersebut mampu memunculkan kekuatan kosmik yang sanggup pengaruhi tatanan kehidupan masyarakat dan segala makhluk yang mendiami, maka bisa dibilang gunung tersebut memiliki kesakralan. 

Gunung Rinjani misalnya, gunung ini dianggap suci dan berhasil menjadi salah satu hal yang pengaruhi tatanan kehidupan masyarakat sekitar, khususnya suku sasak. Salah satu buktinya, masyarakat suku sasak kerap melakukan ritual suci Wettu Telu di Danau Segara Anak. Ritual ini dilakukan sebagai bentuk terima kasih kepada Dewi Anjani atas apa yang sudah diberikan kepada masyarakat sekitar. Dengan kata lain, Gunung Rinjani tepatnya di Danau Segara Anak merupakan tempat yang disakralkan. 

Selain itu, masyarakat setempat pun menunaikan ibadah haji ke Gunung Rinjani. Mereka yang memiliki kekuatan sakti menyempurnakan ilmunya dengan bertapa di tempat-tempat suci di Gunung Rinjani.

Baca juga makna kesakralan gunung di beberapa negara dunia dengan klik di sini. 

Banyaknya “ranjau darat” di jalur pendakian yang makin mencoreng citra gunung di Indonesia

Sabana jalur Sigedang Gunung Sindoro. Sumber foto

Kesakralan Gunung Rinjani yang masih dijaga suku sasak ternyata tak didukung oleh perilaku para pendaki Gunung Rinjani. Keindahan gunung yang jadi idola pendaki ini tercoreng dengan banyak ditemukannya ranjau alias tinja. Kotoran yang dihasilkan para pendaki menjadi pemandangan yang menjijikan. Entah sudah mengering atau pun basah, kotoran manusia ini tak lagi bersembunyi di balik semak rimbun, di pinggir jalan yang jadi lalu lalang pun bisa ditemui. 

Gunung Semeru sedikit lebih beruntung. Untuk mengatasi banyaknya ranjau pendaki yang tersebar di mana-mana, pengelola Taman Nasional Gunung Bromo Semeru mendirikan toilet umum sederhana dengan dinding seng berwarna hijau yang mengelilingi. Keberadaan toilet ini memang cukup membantu kebutuhan buang air pendaki, tetapi banyaknya jumlah pendaki tidak sebanding dengan toilet yang tersedia. Hasilnya, kotoran masih mudah ditemui di mana-mana. 

Baca juga bagaimana proses penguraian sampah di gunung dengan klik di sini

Perihal sampah yang jadi masalah klasik para pendaki

Dampak makin banyaknya orang, makin banyak sampah. Sumber foto

Bukan hanya masalah buang hajat sembarangan, pendaki juga tak punya malu sudah buang sampah seenaknya. Gunung-gunung di Indonesia menghasilkan timbunan sampah yang tak sedikit. Melansir dari Republika, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang bekerjasama dengan mahasiswa pencinta alam sudah melakukan survei timbulan sampah dan aksi bersih taman kawasan wisata gunung pada 2016 lalu. Hasilnya masih sangat mengecewakan. Terdapat 453 ton sampah yang dihasilkan oleh 150.688 pendaki setiap tahunnya, atau sampah yang dihasilkan sekitar 3 kg per pengunjung.

Gunung Rinjani dan Gunung Semeru jadi gunung yang menghasilkan banyak sampah di Indonesia. Melansir dari Mongabay, tak kurang dari 1,14 ton sampah berhasil diturunkan para relawan Clean UP Rinjani. Bahkan, Gunung Semeru lebih memprihatinkan lagi, data yang diperoleh dari Balai Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, gunung yang jadi idola para pendaki ini menghasilkan sampah sebanyak 250 kilogram per hari. 

Jangan egois, gunung bukan hanya milik pendaki 

Kondisi yang memprihatinkan ini kemudian mendatangkan ironi. Di satu sisi, masyarakat sekitar masih menganggap suci dan menghormati gunung dengan melakukan ritual-ritual. Namun, di lain sisi, pendaki seolah tak lagi peduli dengan kesucian dan kesakralan gunung. 

Kalau masih saja banyak sampah yang ditemukan di gunung, jangan baper kalau banyak orang yang menjudge para pendaki sebagai mahluk yang egois. Hanya memikirkan kesenangan pribadi, tak perhatikan dampak negatif yang telah dilakukan pada gunung. 

Bukan hanya gunung yang tercemar, tapi apa yang dilakukan para pendaki bisa jadi melukai keyakinan masyarakat sekitar. Di saat masyarakat sekitar gunung begitu “mengajeni” (menghormati: red), para pendak malah bertindak sesuka hati. Jika hal ini terus dilakukan, masyarakat sekitar, gunung, dan para pendaki tidak bisa hidup secara seimbang. Sampai kapan akan begini? Apakah harus menunggu pemiliki kekuatan kosmik ini murka lalu menghancurkan semuanya? 

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU