Tak biasanya saya terburu-buru, tapi untuk kali ini nampaknya saya harus memaksa diri. Saya ditunggu Dhani dan Dhesy di salah satu kedai kopi arabika gayo, di satu sudut Kota Banda Aceh. Ini coffee time kami yang ke sekian kali semenjak 2014.
Kami duduk di bangku kayu menghadap meja –yang juga dari kayu. Di gerai hanya berukuran 3 x 3 meter dengan halaman sedikit lebih luas. Siap menyesap bercangkir-cangkir kopi khas Dataran Tinggi Gayo sembari kupas topik yang beragam. Kopi memang luar biasa, ia selalu bisa kita jadikan alasan untuk meet up seperti ini.
Kami berbincang banyak kala itu, salah satunya tentang kopi dan kehidupan. Kopi ternyata tak melulu tentang “hal-hal puitis”, “romantis”, atau hal berat lain yang sering disandingkan dengan-nya. Kopi juga tentang hal-hal kecil seperti ini;
No sugar, no sachet. Itu cara terbaru Dhesy menikmati kopi.
Arabica gayo specialty tanpa gula mulai dinikmati Dhesy sejak 2012. Kala itu ia terkesan dengan penuturan seorang pemilik gerai kopi gayo, bahwa ada cara minum kopi tetap sehat, yaitu tidak pakai gula dan bukan yang dikemas sachet.
Ya, selama ini yang membuat konsumsi kopi menjadi kurang sehat adalah gula. Pada dasarnya mengkonsumsi kopi justru bisa menyehatkan badan. Saya pribadi mulai minum kopi gayo tanpa gula sejak 2015. Awal-awal menikmati arabika gayo pada 2013, saya biasa ditemani gula jagung. Antisipasi kalau-kalau tak kuat menyesap kopi hitam yang pahit dan keras.
Mahasiswa berkantong tipis menjadi nekat
Menurut Dhesy, jika ada mahasiswa berkantong tipis minum kopi gayo, mereka adalah mahasiswa nekat. Kenapa rupanya?
Perhatikan. Kopi hitam robusta saat ini berkisar Rp 4.000, sedangkan kopi hitam arabika Rp 10.000. Belum lagi kalau berniat mencicipi varian baru arabika seperti kopi hitam rasa alpukat dengan harga bisa mencapai Rp 18.000.
Saya selama mahasiswa dan hingga hari ini, harus pertimbangkan lebih dulu jika diajak ke kedai kopi gayo, kecuali saya sedang berkantong tebal.
“Menjadi kreatif,” ucap Dhesy, sembari merajut tas dengan benang Poly Cherry. Tangannya tak berhenti, kecuali untuk angkat cangkir kopi ke depan mulutnya.
Jika ingin begadang, ia lebih dulu meneguk beberapa cangkir kopi gayo. Seiring dengan kebiasaan itu, ia juga mulai jalani manajemen waktu.
“Pagi kuliah, siang menulis atau kerjakan tugas. Nah, sore… itu khusus buat ngopi gayo. Tak boleh diganggu gugat,” sebutnya.
Pun saya. Rasanya pikiran fresh setelah menyesap kopi hitam arabika gayo. Baik di warung maupun di rumah yang saya seduh sendiri.
Kalau sudah ketagihan, penikmat kopi gayo bisa menyamai level pecandu rokok dalam menghabiskan duit. Dhesy mungkin salah satu perempuan pecandu kopi gayo. Dia bisa menamatkan 3-6 cangkir per hari. Saya minimal satu gelas saja.
Sekali seduh kita bersaudara. Pepatah itu mungkin benar. Dengan sering ngopi di warung kopi, saya seringkali mendapat banyak kenalan baru, dari berbagai latar belakang dan pendidikan. Inilah menyenangkanya “ngopi”. Meski demikian, hal itu juga menyebabkan cepat miskin. Asyik mengobrol hingga tak terasa menhabiskan banyak cangkir kopi. Percayalah, kamu tak akan tahan hanya dengan 1 cangkir kopi di warung kopi gayo, kelezatanya membuat ketagihan!
“Heummm,” Dhany mencecap, “enak juga kopi arabika rasa kelapa muda.”
Ya, kopi arabika gayo bisa diracik dengan beragam varian baru hasil eksperimen barista. Misal rasa alpukat, apel, atau jeruk.
Dhany terbiasa komentari varian kopi yang diminumnya kepada barista atau pemilik gerai yang dikunjungi. Menurutnya, adakalanya sang pemilik merasa sangat senang jika diapresiasi. Kopi adalah hasil karya mereka, bukan sekadar uang yang dibutuhkan, tpai juga apresiasi pada karya buatan mereka.
Dua perempuan itu juga setuju terhadap inti pengalaman saya berikut. Setahun lalu saat saya belum kecanduan arabika gayo, saya pernah dikatai kawan yang mulai ketagihan kopi gayo.
“Hari gini masih minum robusta? Arabika dong, Bro.”
Sombongnya si kawan. Tapi saya harus mencabut anggapan itu begitu menyadari arabika gayo memang patut digandrungi. Apalagi semenjak saya didera asam lambung.
Semenjak Juli 2015, saya resmi meninggalkan robusta. Kopi arabika gayo lantas menjadi pelengkap hari-hari saya. Sebab ia rendah kafein dan anti-oksidan. Tak bikin mual atau anginan bagi penderita asam lambung.
Saya teringat dulu saya pernah tinggal satu flat dengan teman pengidap asam lambung saat di Melbourne. Teman saya asal Timor Leste itu tak pernah minum kopi lagi dalam dua tahun belakangan, selepas sakit parah akibat asam lambung. Setiap pagi saya seduh kopi gayo yang sengaja saya bawa dari Aceh. Beberapa kali dia tak mau ngopi saat pagi, harus ada nasi.
Tetapi saya bilang kopi arabika gayo aman untuk lambung. Dan minumlah tanpa pakai gula agar cita rasanya mantap. Akhirnya dia coba dengan satu sachet gula jagung.
“Enak sekali kopinya, Bro,” komentarnya.
Hari-hari berikutnya, dia menjadi teman ngopi di pagi hari. Bahkan ia sempat berani minum tanpa gula.
Terbiasa minum kopi gaya membuat saya tak bisa berhenti hanya di satu varian rasa. Ditambah bujukan-bujukan dari teman untuk mencoba varian baru.
Misal, “Kamu harus coba Ice Coffee Black n Roll sekali, beda rasanya daripada Espresso.”
Rock and Roll?
Saya menduga cita rasa kopinya nanti pasti sekeras aliran musik rock. Penasaran dan tak mau kalah dengan teman yang baru tiga bulan lalu minum kopi gayo itu, saya penuhi tantangannnya.
Rupanya, Ice Coffee Black n Roll, ialah kopi gayo dengan karakter sweet (lembut), dicampur soda. Rasanya agak asam tapi menyegarkan. Sangat kontras misalnya dengan varian Sanger Arabika, Espresso, Black Coffee, atau Ice Kacau.
Dhesy dan Dhani acap berkelana dari satu gerai kopi gayo ke gerai lainnya di Banda Aceh. Membiasakan lidah menilai racikan kopi gayo. Lalu mengapresiasi. Karena itu mungkin, pemilik gerai tertarik mengobrol panjang-lebar dan bahkan menyeduh kopi untuk keduanya, sebelum bicara perkembangan perkopian aceh hingga apa saja yang patut.
Keunikan cita rasa setiap varian kopi arabika gayo juga membuat Dhesy ingin tahu banyak hal soal kopi gayo dari sang owner. Tak cukup berdiskusi di meja kopi. Berkali-kali ia pergi ke Dataran Tinggi Gayo. Mengendarai sepeda motor yang membelah perkebunan kopi. Hingga tiba di rumah kawannya Dhani, Takengon.
Ia suka pelajari karakter setiap jenis kopi arabika. Misal jenis Tim-tim, kopi gayo yang bijinya berasal dari Timor Timur (Timor Leste sekarang). Juga bagaimana perbedaan batang kopi arabika Ateng dan Ateng Super, yang ternyata Ateng Super batangnya lebih pendek dari Ateng.
Begitu pun saya. Juli lalu sempat ke kebun kopi kawan di Aceh Tengah dan Bener Meriah.
“Dinamai Ateng karena batangnya pendek seperti Ateng komedian Indonesia,” terang Dhani saat saya kunjungi kebun kopinya di Takengon.
***
Gerai kopi gayo tumbuh pesat di Kota Banda Aceh sejak 2013. Kini ia bersaing dengan robusta yang lebih dulu punya nama di mata wisatawan asing yang kunjungi Aceh. Dhani, Dhesy, dan saya pun coba menjadi ‘turis asing’ untuk sejumlah warung kopi gayo di Banda Aceh.
Artikel ini merupakan bagian dari program Bingkai Negeri #1 yang membahas perjalanan dan kopi. Cerita lain tentang kopi dalam program ini dapat kamu lihat dihalaman Serangkai Cerita Tentang Kopi.