Di Balik Popularitas Tempat Wisata Hits

Bermunculannya tempat wisata hits belakangan ini menjadi fenomena tersendiri. Ada banyak cerita menarik di baliknya yang tak banyak orang tahu.

SHARE :

Ditulis Oleh: Shabara Wicaksono

Cantiknya Candi Arjuna, venue utama Dieng Culture Festival.

Kamis sore, setelah permohonan cutinya dikabulkan atasan minggu lalu, Rizka (25), seorang pegawai swasta di Jakarta berkemas. Ia dan 3 orang temannya dari perusahaan yang berbeda janjian kumpul di Stasiun Pasar Senen menuju Stasiun Purwokerto. Mereka antusias mengikuti helatan Dieng Culture Festival 2017 untuk pertama kalinya. Prosesi pemotongan rambut bocah gimbal jadi daya tarik utama.

“Saya memang pencinta festival, jika ada waktu dan ongkos saya pasti datang. Terakhir kemarin ke Java Jazz. Kalau ke Dieng Culture Festival ini pertama kali, dilihat-lihat dari promosinya sepertinya menarik, atmosfernya beda,” jelas Rizka.

Masing-masing dari mereka berempat menenteng tas carrier besar. Rencananya mereka akan menginap di homestay yang telah mereka pesan 3 bulan sebelumnya. Sekilas lihat seperti para pendaki atau para backpacker yang akan melancong jauh. Meski tak terlihat seperti turis-turis glamor berkoper seperti yang bisa kamu lihat di kawasan resort-resort mewah Bali, jumlah uang tunai yang ada di dalam carrier mereka bisa dibilang cukup ‘glamor’ untuk sebuah liburan singkat 3 hari.

“Saya Cuma bawa uang tunai 3 juta, itu malah ada teman saya yang bawa sampai 5 juta, buat melunasi homestay dan belanja oleh-oleh. Mau bawa CC (Credit Card – red) takut di sana nggak menyediakan alatnya,” terang Rizka.

Dieng Culture Festival atau disingkat DCF merupakan kegiatan kebudayaan yang digagas oleh Komunitas Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah.

Acara yang menjadi daya tarik utama dalam Dieng Culture Festival adalah ritual cukur rambut anak gimbal. Dalam tradisi masyarakat local di Dataran Tinggi Dieng, anak gimbal, jika hendak dicukur rambutnya harus melalui prosesi ruwatan yang sakral. Tradisi tersebut masih bertahan bertahan hingga saat ini.

Baca selengkapnya tentang fakta menarik bocah rambut gimbal dengan klik di sini.

Popularitas acara tahunan ini memang terus naik. Dari data yang kami peroleh, jumlah pengunjung Dieng Culture Festival terus naik dari tahun ke tahun. Tahun 2014, ‘hanya’ 30.000 wisatawan yang mengunjung festival ini. Pada gelarannya yang ke-8 pada tahun 2017, tak kurang dari 100.000 wisatawan memeriahkan Dieng Culture Festival.

Melihat efek Dieng Culture Festival dari berbagai sisi

Ramainya wisatawan yang menyaksikan prosesi ruwat rambut gimbal.

Dalam laman resminya, Dieng Culture Festival (DCF) disebut tidak secara khusus bertujuan untuk kepentingan komersial, namun juga pemberdayaan masyarakat setempat agar berdampak terhadap masyarakat sekitar. Pembiayaan utama dari pagelaran kebudayaan ini adalah dari partisipasi pengunjung yang membayar paket tiket DCF, selain juga dukungan dari berbagai sponsor.

Alif Fauzi, selaku Ketua Pokdarwis Pandawa Dieng membenarkan hal itu. Dieng Culture Festival disebut memiliki multilevel effect bagi pariwisata Dieng.

“Dieng Culture Festival memiliki dampak signifikan bagi perkembangan pariwisata Dieng. Selain itu terjadi juga multilevel effect terhadap masyarakat sekitar. Terjadi peningkatan pendapatan berbagai bidang usaha di sini dari tahun ke tahun,” terang Alif.

Memang, dari data yang dikeluarkan situs diengpandawa.com, tiap tahun terjadi peningkatan pendapatan dari berbagai bidang usaha di kawasan wisata Dieng. Untuk lebih jelasnya data tersebut bisa dilihat dalam infografik di bawah.

Pendapatan rata-rata bulanan bidang usaha di kawasan Dieng

 

Data di atas cukup menggembirakan, melihat bagaimana pariwisata bisa berdampak besar untuk masyarakat sekitar. Namun, seperti halnya di acara dan tempat wisata kebanyakan, meningkatnya kunjungan wisatawan artinya juga meningkatkan potensi makin menggunungnya sampah dan masalah lingkungan lainnya. Tak hanya di sekitar venue tempat berlangsungnya rangkaian acara, namun juga di tempat-tempat wisata sekitar. Hal tersebut sudah menjadi kekhawatiran sejak lama bagi Alif dan kelompoknya.

“Tentunya pasti ada kekhawatiran itu, konsep kami dalam mengembangkan pariwisata berkelanjutan mempunyai beberapa prinsip; manajemen kelembagaan yang baik, pelestarian lingkungan, pelestarian budaya dan ekonomi. Untuk permasalahan lingkungan, masih menjadi hal yang harus kami pikirkan,” jelas Alif.

Alif menambahkan, koordinasi dengan semua stakeholder untuk sinergi masih menjadi permasalahan utama. Dieng sebagai destinasi kawasan yang ada di beberapa wilayah administrasi disebutnya belum mempunyai titik temu kesepakatan untuk pelestarian lingkungan. Hal yang ia maksud adalah seperti  standar pengelolaan sampah, limbah, ataupun tata ruang pembangunan yang belum terkontrol dengan baik.

Alif mengaku, ia dan kelompoknya sebagai komunitas terbawah, baru bisa mengajak masyarakat untuk sadar wisata dengan selalu mengkampanyekan Sapta Pesona (aman, bersih, tertib, sejuk, indah, ramah tamah dan kenangan). Misalnya, setiap tahun mereka menfasilitasi tempat sampah dan mengajak kerja bakti.

Harapan Alif dan kelompoknya, ada kesadaran bersama dari semua lini dan semua stakeholder untuk ikut memiliki Dieng, karena Dieng adalah tanggung jawab semua pihak.

Gotong Royong Mengubah Kerusakan Alam Jadi Tempat Wisata Hits Instagramable

Banyak spot menarik yang bisa Kamu gunakan untuk berfoto di tebing ini. Foto oleh faizabi/Phinemo.com

Jika mendengar kata ‘Prambanan’, tentu Candi Prambanan yang langsung muncul di bayangan kita. Padahal, belakangan ini di Prambanan, selain Candi Prambanan, sudah muncul berbagai tempat wisata baru yang bisa jadi alternatif bagi para wisatawan. Salah satunya yang menjadi fenomena adalah Tebing Breksi.

Berbeda dengan Candi Borobudur dan Candi Prambanan yang telah menjadi objek wisata sejak puluhan tahun lalu, Tebing Breksi baru dibuka untuk umum pada tahun 2015. Lokasi tebing ini berada di area yang sama dengan Candi Ijo dan Candi Ratu Boko yang terletak di wilayah Sleman.

Untuk masuk lokasi, cukup murah dengan membayar tiket parkir sepeda motor Rp 2 ribu dan sumbangan sukarela baik rombongan atau perseorangan. Pengunjung bisa berfoto-foto berbagai tempat yang telah disediakan pengelola. Di puncak bukit juga telah dipasang besi pengaman mengelilingi agar pengunjung aman dan tidak jauh.

Ada banyak spot untuk berfoto seperti di tangga batu kapur menuju puncak bukit, ukiran atau pahatan wayang dan naga yang menempel di salah satu dinding.

Namun, lebih dari semua itu, ada cerita yang tak banyak orang tahu di balik pengembangan Tebing Breksi menjadi tempat wisata hits seperti sekarang ini.

Semuanya berawal saat Tebing Breksi masih menjadi areal penambangan batu kapur oleh warga sekitar. Namun, setelah dilakukan penelitian intensif, Tebing Breksi ternyata adalah endapan abu vulkanik Gunung Api Purba Nglanggeran yang merekam jejak sejarah terbentuknya daratan Pulau Jawa.

Menurut Arya Nugrahadi, Kepala Bidang Pengembangan Destinasi Wisata Dinas Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta, saat ditemui Tim Phinemo, hal tersebut memunculkan polemik. Di satu sisi, aktivitas penambangan di Tebing Breksi jelas salah, tebing tersebut harus dilindungi karena merupakan harta karun penyimpan rekam jejak sejarah. Namun di sisi lain, penambang yang merupakan warga sekitar akan kehilangan mata pencahariannya.

“Pendapatan mereka per hari sebagai penambang saat itu berkisar 3,5 – 4 juta/bulan. Kami mencari cara, bidang usaha apa yang bisa langsung menggantikan pendapatan itu,” terang Arya.

Arya menjelaskan, saat itu Gubernur, Sultan Hamengku Buwono X, turun langsung ke lokasi dan bertanya pada penambang apakah aktivitas yang jelas merusak lingkungan itu akan tetap dilanjutkan atau tidak. Ternyata, setelah ditanya langsung oleh ‘raja’-nya, mereka menurut.

Tebing Breksi bukan sulapan para investor maupun program Dinas Pariwisata. Sultan Hamengku Buwono X disebut yang paling berperan atas berkembang pesatnya Tebing Breksi menjadi tempat wisata. Tak hanya memberi instruksi, dirinya langsung memberikan dana ke masyarakat untuk dikelola.

“Pengembangan Tebing Breksi ini, dana langsung dari Gubernur ,sedikit sekali dari APBD. Masyarakat sekitar yang masih memegang teguh kebudayaan Jawa tak berani menyelewengkan amanah dari rajanya. Gubernur juga selalu memonitor dikemanakan dana itu. Itu kunci Tebing Breksi bisa sebesar sekarang,” terang Arya.

Arya bercerita bahwa daerah tersebut dulunya sangat banyak terjadi ‘penyakit masyarakat, seperti judi dan minum-minuman keras di tempat umum. Namun setelah adanya Tebing Breksi, ia menyebutkan bahwa energi masyarakat ‘terkuras’ habis untuk hal itu.

Baca ulasan tempat-tempat yang telah rusak namun kini populer sebagai destinasi wisata dengan klik di sini.

“Tebing Breksi ini menyebarkan hal baik. Memancing energi positif masyarakat sekitar untuk melayani wisatawan. Yang pria, siang menjadi pemandu atau keamanan. Istri dan anaknya menekuni bidang kuliner. Semua lini terlibat dalam pengembangan Tebing Breksi,” ungkap Arya.

Tebing Breksi yang tadinya adalah penambangan liar. Foto oleh faizabi/Phinemo.com

Hampir mirip seperti Dieng, Tebing Breksi juga merupakan tempat wisata yang dikembangkan berdasar community based. Tak hanya warga sekitar, berbagai komunitas sadar wisata di Yogyakarta disebut terlibat dalam pengembangan Tebing Breksi.

“ Ada banyak komunitas yang rutin berkunjung untuk berkolaborasi bersama warga sekitar, komunitas mobil, blogger, fotografer, semuanya bersinergi demi membangun Tebing Breksi,” jelas Arya.

Sementara itu, Kholiq Widiyanto, Ketua Pengelola Desa Wisata Tebing Breksi menyebutkan, kesadaran masyarakat sekitar untuk berkembang sangat tinggi.

“Saat Gubernur turun untuk membantu, orang-orang di sini mau diajak kerjasama untuk mengelola yang mengelola Tebing Breksi. Nggak dibawa kabur uang itu, bertanggung jawab semua. Perlahan-laha Tebing Breksi jadi bagus dan menjadi tempat wisata terkenal. Dulu awalnya pengunjung masuk masih bayar sukarela, tapi sekarang mulai ditariki biaya parkir,” terang Kholiq.

Dirinya pun merasa berterima kasih banyak pihak yang mendukung Tebing Breksi untuk terus berkembang.

“Sampai saat ini yang mendukung paling banyak adalah gubernur dan Dinpar. Teman-teman komunitas juga banyak membantu datang kemari,” tambah Kholiq.

Kholiq menjelaskan, dirinya dan kelompoknya terus berusaha untuk menjaga kelangsungan Tebing Breksi. Yang dilakukan agar tak tehadi kerusakan lingkungan adalah terus memberi edukasi ke penambang-penambang yang masih ada, meskipun hanya sedikit. Ia mengedukasi, di spot mana saja yang boleh ditambang dan mana yang tidak boleh ditambang.  

Jangan ragu share tempat bagus, tapi tetap ada batasannya

Marischka Prudence saat di Pulau Padar. Foto dokumentasi Marischka

Menilik 2 tempat yang menjadi contoh di atas, terlihat popularitas sebuah tempat wisata memiliki dampak yang kuat bagi masyarakat sekitar. Promosi via media digital disebut berperan besar meningkatkan popularitas mereka.

Tak bisa disangkal, sosial media sekarang memang menjadi salah satu tempat paling efektif untuk melakukan promosi tempat pariwisata. Instagram, disebut memiliki efek paling besar dalam hal ini. Instagram berdampak sangat besar pada destinasi liburan kita dan cara kita membagikan pengalaman itu pada teman dan keluarga.

Era sekarang, sosial media dan traveler bak pasangan tak terpisahkan. Baca ulasan lengkapnya dengan klik di sini.

Marischka Prudence, seorang travel influencer di Indonesia, saat dihubungi tim Phinemo, menjelaskan bahwa strategi promosi wisata Indonesia di era digital sudah sangat berkembang.

“Sekarang sudah jauh membaik dibandingkan dulu, dari destinasi (pengelola, pemerintah, dll) sudah sadar akan pentingnya promosi, terutama promosi di sosial media. Tapi, kalau dibilang sudah cukup efektif atau tidak, mesti dilihat per destinasi karena memang belum rata/ belum ada standar yang pasti terutama yang dikelola oleh masyarakat lokal langsung, Masih ada yang belum mengerti cara promosi yang efektif, tapi keinginan untuk berkembang sudah terlihat di banyak destinasi,” terang Marischka.

Namun, tahun belakangan ini, sempat populer jargon yang cukup mengusik, yaitu “Jangan share tempat bagus di sosial media, nanti dirusak anak alay.” Jargon tersebut beredar sebagai meme di banyak sosial media.

Memang, ada beberapa kasus tempat wisata yang sukses hancur karena saking populernya di sosial media. Berbondong-bondong wisatawan berkunjung, tanpa tahu etika, berfoto kesana kemari, tanpa menyadari ulahnya sudah merusak lingkungan sekitar. Yang paling fenomenal dulu adalah Taman Bunga di Jogja yang rusak parah setelah banyak pengunjung ber-selfie ria.

Lalu, bagaimana kita harus menyikapinya? Harus share kah, atau tidak?

Marischka memiliki pandangan tersendiri tentang hal ini.

“Sebenarnya, jargon tadi ada benarnya juga karena memang di sini, seringkali kalau satu tempat terlalu cepat terkenal dan terlalu masif yang datang tanpa ada pengelolaan untuk mengatur kapasitas, aturan (sampah, dll), seringkali jadi rusak destinasinya,” jelas Marischka saat dihubungi tim Phinemo.

Menurutnya, untuk menyikapinya, dari dirinya sendiri biasanya tidak banyak share detil tempat. Hal itu menurutnya dapat menyaring pengunjung.

“Jadi memang yang datang ya yang niat (niat nanya, cari tahu, cari informasi), biasanya yang lebih niat akan lebih menghargai juga. Selama ini kami cukup memfilter apakah sebaiknya diberikan informasi detil, atau cukup informasi terbatas saja, sambil terus memberi edukasi untuk mengerti pentingnya menjaga destinasi,” pungkas Marischka.

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU