Siapa di sini yang tak kenal Eiger? Brand lokal yang sudah merajai pasar peralatan outdoor ini seolah sudah menjadi “seragam” bagi para petualang khususnya pendaki gunung. Mulai dari kepala hingga ujung kaki, semua produk dilabeli dengan simbol segitiga Eiger. Para penggemar kegiatan di alam bebas, pasti punya minimal satu produk buatan Eiger.
Di balik merajalelanya produk Eiger di pasar Indonesia, berdiri kokoh seorang yang tak kenal putus asa apalagi menyerah. Dia adalah Ronny Lukito, pendiri Eiger.
Ronny Lukito merupakan anak keenam dari enam bersaudara di mana dia menjadi lelaki satu-satunya. Lelaki kelahiran 15 Januari 1962 ini berdarah campuran Sumatera, Buton, dan Jakarta.
Ronny Lukito bukanlah seseorang lulusan S2 Harvard University atau berasal dari Stanford University, dia hanyalah lulusan STM yang memiliki impian memiliki kebebasan finansial. Ya, keadaan keluarga Ronny Lukito yang bukan seorang jutawan apalagi bangsawan membuat dia harus bekerja lebih keras lagi untuk ikut serta membantu perekonomian keluarga.
Lulus STM tahun 1979, Ronny sebagai pendiri Eiger kala itu sangat ingin sekali melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi. Sayangnya, keadaan ekonomi keluarga membuat Ronny lebih memprioritaskan mencari pekerjaan daripada melamar ke perguruan tinggi.
Belum juga sempat melamar pekerjaan, salah seorang kerabat menyarankan Ronny Lukito untuk meneruskan usaha orangtuanya yang telah membuka usaha toko tas. Sebagai anak laki-laki satu-satunya, Ronny Lukito dibebankan tanggungjawab untuk melanjutkan bisnis keluarga.
Sejak saat itu, Ronny yang dari kecil sudah terbiasa hidup susah dengan menjual susu pun akhirnya mulai bekerja di toko tas ayahnya. Saat itu, tas produksi buatan ayah Ronny diberi merk butterfly, persis seperti merk mesin jahit yang populer kala itu.
Jiwa entrepreneur Ronny Lukito sebagai pendiri Eiger memang sudah ada sejak lama. Meski bekerja di toko milik keluarga, dia tak lantas menggenggam tangan tanpa lakukan apapun. Dia mempelajari seluk beluk pembuatan tas. Mulai dari cara membuat desain tas hingga bagaimana proses penjahitannya.
Tak lama setelah dia bekerja di toko tas keluarga, Ronny Lukito memutuskan untuk membuka toko tas sendiri dengan modal kurang dari satu juta rupiah. Modal yang dimiliki tersebut dibelikan dua buah mesin jahit, peralatan jahit, dan beberapa bahan yang dibutuhkan untuk memproduksi tas.
Dibantu dengan satu orang pegawai bernama Mang Uwon, Ronny memproduksi tas. Awal pembuatan tasnya, Ronny memiliki keinginan untuk memasukkan produknya ke Matahari. Keinginan Ronny tak berjalan mulus. Bukan hanya satu dua tiga kali dia ditolak. Barulah pada pengajuan permohonan pemasukan produk yang ke-tigabelas lah akhirnya tasnya bisa diterima. Saat itu tas pertama buatan Ronny Lukito diberi nama Exxon.
Meski sudah memperoleh hasil positif, Ronny tak lantas berhenti sampai di situ saja. Dia bahkan terjun langsung ke daerah-daerah untuk mencari partner bisnis yang bersedia menjadi pengecer tas produksinya. Dia berkeliling dari daerah ke kota kemudian kembali ke daerah lainnya untuk mempromosikan produk sekaligus membangung jaringan pemasaran.
Usaha keras Ronny Lukito mulai menunjukkan hasil yang cemerlang setelah pada tahun 1986 dia memutuskan untuk menambah ruang produksi tasnya lagi. Semenjak saat itu, usahanya mengalami peningkatan. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk merekrut marketing profesional.
Ronny Lukito tak salah langkah. Keputusannya tersebut sangat tepat. Tas-tas hasil produksinya mulai diterima di pasaran luas. Toko-toko retail seperti Matahari, Ramayana, Gramedia, Gunung Agung, dan department store lain ikut menjualkan produknya. Saat itu produk andalan Ronny Lukito adalah tas merk Export.
Barulah pada tahun 1993, Ronny Lukito pertama kali memproduksi tas bermerk Eiger. Nama Eiger diambil dari nama salah satu gunung di Swiss, Gunung Eiger. Sesuai namanya, produk Eiger ini memang diciptakan khusus untuk memenuhi kebutuhan pasar kegiatan outdoor seperti pendakian, panjat tebing, camping, dan aktivitas luar ruangan lainnya.
Saat itu Eiger belum memiliki toko hanya sebatas rumah kontrakan yang difungsikan sebagai kantor. Pada tahun 1998 Eiger baru memproduksi produknya sendiri. Dengan diawali 2 tukang jahit kini Eiger sudah memiliki 800 penjahit dengan pabrik di Soreang, Bandung.
Kini, Eiger memiliki lebih dari 100 toko di seluruh Indonesia. Sedangkan toko terbesar Eiger berada di Bandung, tepatnya di Eiger Flagship Store di jalan Sumatera Bandung.