Mengenal Profil Ferry Unardi, Pendiri Traveloka yang Sukses Memulai Bisnis dari Nol

Inilah sosok profil Ferry Unardi, sang pendiri Traveloka yang sukses membangun bisnisnya dari nol. Ferry bahkan tak memiliki background bisnis sama sekali. Mengawali bisnis dengan ilmu engineer tak membuat Ferry patah semangat dan terus belajar.

SHARE :

Ditulis Oleh: Rizqi Y

Traveloka, aplikasi reservasi tiket nomor satu di Indonesia, ada profil Ferry Unardi di baliknya. Sumber

Teknologi membuat semua menjadi lebih mudah, termasuk dalam dunia perpelancongan. Mulai dari reservasi tiket pesawat, tiket kereta, hotel bahkan tiket masuk ke wahana semua bisa dilakukan dengan cepat dan praktis dengan bantuan teknologi internet. Mengakomodir kebutuhan milenial di bidang digital travel, muncullah berbagai startup travel. Salah satunya Traveloka, startup travel yang bisa dibilang menguasai pasar Indonesia saat ini.

Baca juga: Cerita Trinity The Naked Traveler Tentang Keyakinannya Menekuni Travel Blogging

Besarnya nama Traveloka tak lepas dari profil Ferry Unardi sang CEO sekaligus Co Founder dari Traveloka. Sosoknya yang memang lebih banyak di balik layar mungkin kalah tersohor dibanding nama Traveloka itu sendiri. Namun cerita inspiratifnya dalam membangun Traveloka tak kalah menarik untuk diceritakan.

Mengenal lebih dekat profil Ferry Unardi dan inspirasinya memulai startup travel

Profil Ferry Unardi sang pendiri Traveloka. Sumber

Sebelum membahas lebih jauh tentang awal mula Traveloka didirikan, rasanya penting untuk tahu sekilas biografi Ferry Unardi sang penggagas dan pendiri startup travel ini. Ferry Unardi lahir di Padang pada 16 Januari 1988. Setelah lulus dari pendidikan sekolah menengah atas, Ferry memutuskan untuk kuliah di Purdue University jurusan Computer Science dan Engineering.

Jika melihat rekam jejak pendidikannya, Ferry boleh dibilang minim dalam ilmu bisnis. Dalam sebuah kesempatan di acara Startup Asia Jakarta 2014, Ferry mengungkapkan sedikit hal tentang latar belakangnya.

¨Saya tidak melihat diri saya sebagai seorang entrepreneur, tetapi lebih sebagai seorang engineer. Sebagai seorang yang menyukai IT ketika remaja, mengambil jurusan matematika ketika kuliah, dan sempat bekerja di Microsoft, bahkan ide mendirikan starup itu tidak pernah ada dalam benak¨ ungkap Ferry Unardi. 

Sejak lulus S1 Ferry diketahui bekerja di Microsoft, Seattle sebagai seorang software engineer. Tiga tahun berkecimpung di dunia engineering membuatnya berpikir bahwa dirinya tak akan bisa menjadi yang ¨engineer terbaik¨. Kegelisahannya ini pada akhirnya membawanya pada sebuah perjalanan ke China. Di sinilah Ferry mendapatkan pencerahan tentang bisnis travel yang sepertinya menarik.

Hal lain yang menuntunnya pada keputusan untuk membangun Traveloka adalah sulitnya sistem booking pesawat. Saat bekerja di Microsoft Ferry kerap pulang ke kampung halamannya di Padang. Namun ia justru merasa kesulitan saat ingin membeli atau mem-booking tiket pesawat untuk pulang kampung tersebut. Ferry juga merasa kesulitan untuk memprediksikan rute pesawat yang akan dipilihnya. Dari sanalah seorang Ferry yang saat itu berusia 23 tahun memutuskan untuk keluar dari dunia karirnya. Bagi Ferry, inilah masa yang paling stress dalam hidupnya.

Baca juga: Cerita di Balik Suka Duka Travel Blogger Rijal, Founder Catperku.com

Mundur selangkah untuk bisa melahirkan Traveloka, Ferry Unardi korbankan banyak hal

Profil Ferry Unardi dan perjuangannya membangun Traveloka. Sumber

Merasa tak memiliki kapasitas dalam dunia bisnis dan tak paham bagaimana mengelola perusahaan, Ferry Unardi harus mengambil satu langkah ke belakang sebelum akhirnya membangun Traveloka. Ia memutuskan untuk kuliah di Harvard University untuk memperoleh gelar MBA dalam bidang bisnis.

Jalan satu semester ternyata rencananya harus diubah. Ferry Unardi memilih untuk keluar dari kampusnya dan mulai mengembangkan sebuah mesin pencari tiket pesawat dengan teknologi yang lebih modern, fleksibel dan praktis. Ferry menceritakan bahwa awalnya banyak orang yang menyayangkan keputusannya kala itu.

“Saya ingat ketika semua orang mempertanyakan keputusan saya untuk berhenti, tapi itulah yang harus dilakukan. Berhenti kuliah adalah keputusan yang sangat sulit, baik untuk saya dan pasangan saya karena ia bekerja untuk LinkedIn pada saat itu dan memiliki saham yang belum sepenuhnya diperoleh, tapi saya ingat pernah mengatakan “kita 23 (tahun), kita masih cukup muda untuk melakukan kesalahan” dan tidak ada waktu yang lebih baik dari pada sekarang” kata Ferry dalam acara Startup Asia Jakarta 2014.

Ferry lanjut lagi menjelaskan bahwa saat itu bisnis di bidang reservasi tiket adalah salah satu dari startup yang sedang booming dan menjadi trend. Begitu banyak investor yang berlomba-lomba untuk masuk dalam bidang bisnis tersebut. Baginya, jika Traveloka tak memulai langkah saat itu juga maka akan tertinggal di kemudian hari.

Awalnya Traveloka hanya berupa platform flight search dan aggregator penerbangan. Seiring berjalannya waktu, Ferry Unardi dan timnya menyadari bahwa masalah yang terjadi bukan hanya saat menemukan penerbangan tapi juga saat melakukan transaksi. Pelanggan merasa tak puas karena mereka harus menggunakan layanan lain untuk menyelesaikan proses pembelian tiket. Hingga akhirnya Traveloka berkembang menjadi salah satu platform yang bisa digunakan untuk layanan transaksi juga.

Tantangan lain yang harus dihadapi Ferry Unardi adalah bagaimana cara mengelola tim yang awalnya berjumlah 8 orang menjadi belasan, puluhan bahkan ratusan orang. Banyak hal yang harus dilakukan sebagai perusahaan baru, termasuk membentuk budaya perusahaan dan membangun manajemen yang solid.

Melalui buku karya Ben Horowitz, veteran startup dan legenda VC, The Hard Thing about Hard Things profil Ferry Unardi mendapatkan banyak pencerahan. Dalam suatu kesempatan, Ferry pun membagikan inspirasi tersebut,

“Buku ini mengajarkan saya bahwa orang hanya memperhatikan pertumbuhan dan pengguna, tetapi juga harus fokus dengan apa yang ada di balik hal tersebut. Salah satunya tentang pentingnya membangun tim yang tepat. Orang-orang tidak berbicara tentang hal ini karena tidak secara langsung berhubungan dengan internet. Tetapi pada akhirnya kami adalah perusahaan dan kami harus terlebih dahulu dan terutama membangun sebuah perusahaan.” katanya.

Baca juga: Tokoh Dunia Penerbangan yang Melegenda, Tiga di Antaranya Tokoh Indonesia

Mantap menjadi platform reservasi tiket, Traveloka kembali hadapi masalah baru

Profil Ferry Unardi dalam menghadapi tantangan bersama Traveloka. Sumber

Sebagai startup yang masih kecil, Traveloka tentu belum banyak dilirik oleh maskapai besar. Traveloka awalnya merasa kesulitan untuk membangun kerja sama dengan beberapa maskapai. Ferry tak menyerah, dia memiliki satu strategi yang terus dijalankan. Saat di mana timnya membuat pelayanan yang bagus dan memuaskan, maka saat itu juga orang-orang akan datang.

Mendapatkan perhatian besar dari para pengguna tentu akan menarik perhatian para maskapai penerbangan. Di lain sisi, maskapai sendiri selalu memiliki lebih banyak persediaan ketimbang permintaan. Ferry menyadari bahwa layanan yang dimiliki Traveloka bisa membantu pihak maskapai untuk mengisi kursi kosong, dan juga pengguna untuk mendapat harga promo.

Perlahan tapi pasti, saat sudah banyak pengguna yang setia dengan Traveloka mulai banyak maskapai yang mau bekerja sama dengan Traveloka. Bahkan kini Traveloka tak hanya menyediakan reservasi tiket pesawat, ada juga treservasi tiket kereta api dan juga hotel.

Terus berkembang dari tim yang kecil, kini Traveloka telah memiliki peringkat Alexa 150 di Indonesia yang memiliki puluhan juta pageview per bulan. Sejak diluncurkan, Traveloka telah mengumumkan dua putaran pendanaan; salah satunya dari East Ventures (keterangan: East Ventures juga berinvestasi di Tech in Asia. Baca halaman etika kami untuk informasi lebih lanjut) pada bulan November 2012 dan satunya lagi dari Global Founders Capital pada Desember 2013.

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU