Muslim di seluruh dunia memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW melalui perayaan Maulid Nabi setiap 12 Rabiul Awal dalam penanggalan Hijriyah. Maulid Nabi digelar meriah dengan pengajian, dzikir, dan syair-syair pujian kepada Nabi Muhammad SAW. Meskipun demikian, di tanah kelahirannya yaitu Arab Saudi, Maulid Nabi ternyata diharamkan.
Di luar konteks boleh dan tidaknya perayaan Maulid Nabi, terdapat satu silang pendapat lain yang juga masih belum mencapai titik temu, yakni terkait kapan Nabi Muhammad SAW dilahirkan. Penentuan tanggal pasti kelahiran Rasulullah SAW pada 12 Rabiul Awal masih diragukan. Hal ini dikarenakan sistem penanggalan Hijriyah baru ditetapkan pada 630 M di masa Khalifah Umar bin Khattab, jauh setelah Rasulullah SAW wafat.
Sebagian menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW lahir pada 9 Rabiul Awal, sebagian lagi yakin beliau lahir pada 12 Rabiul Awal yang sekarang menjadi peringatan Maulid Nabi. Bahkan tidak sedikit pendapat yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW lahir di luar bulan Rabiul Awal, seperti bulan Muharram tanggal 10 yang dikenal dengan hari Asyuro.
Berbeda dengan hari kematian beliau, para ulama saat itu memang tidak menaruh perhatian hari kelahiran Nabi Muhammad SAW karena tidak terkait dengan hukum syariat. Nabi Muhammad SAW dilahirkan sebagai umat biasa dan baru diutus menjadi nabi di usia 40 tahun. Hal ini berbeda dengan wafatnya Nabi Muhammad SAW yang menjadi batas akhir wahyu Allah SWT, sehingga tak ada lagi hukum syariat baru setelah beliau wafat.
Tidak ada kesepakatan kapan Nabi Muhammad SAW lahir, namun para ulama dan ahli sejarah sepakat bahwa beliau meninggal di hari Senin, 12 Rabiul Awal tahun 11 Hijriyah saat usia 63 tahun. Berdasarkan tanggal wafat ini justru sama persis dengan perayaan Maulid Nabi. Memahami hal ini, diketahui bahwa 12 Rabiul Awal lebih dekat dengan wafatnya beliau.
Perselisihan terkait kebenaran Maulid Nabi terjadi pada 12 Rabiul Awal masih sangat panjang, dan hingga saat ini pun masih belum dicapai titik temu yang disepakati bersama. Ahmad Muzakki dalam artikel “Maulid Nabi Perspektif Al-Qur’an dan Sunnah” yang terbit dalam NU Online menuliskan sebaiknya perayaan Maulid Nabi dipandang sebagai salah satu tradisi dari tradisi-tradisi baik untuk menyuarakan syiar Islam.
Perayaan Maulid Nabi diinisiasi oleh Khalifah Mu’iz li Dinilillah dari zaman Dinasti Fathimiyyah di Mesir pada 341 Hijriyah. Maulid Nabi dilarang pada masa pemerintahan Al-Afdhal bin Amr al-Juyusy dan dirayakan kembali di bawah kepemimpinan Amir li Ahkamillah pada 524 Hijriyah. Salahuddin Al Ayyubi dari Dinasti Ayyubiyah tahun 579 Hijriyah memperingati Maulid Nabi dalam rangka meningkatkan semangat juang umat Islam.
Setahun setelahnya, Salahudin Al Ayyubi merayakan Maulid Nabi dengan menggelar perlombaan penulisan riwayat Nabi Muhammad SAW beserta puji-pujian kepada beliau. Kitab dari Syaikh Ja’far Al-Barzanji terpilih jadi pemenang dan kerap dibaca setiap perayaan Maulid Nabi sampai saat ini. Melalui Maulid Nabi semangat juang umat muslim berhasil meningkat.
Tahun 583 Hijriyah, Salahuddin Al Ayyubi berhasil menghimpun kekuatan dari umat Islam dan merebut Yerussalem dari tangan bangsa Eropa melalui Perang Salib yang berlangsung sengit. Masjid Al-Aqsa pun pada akhirnya kembali berfungsi sebagai masjid setelah sebelumnya berubah jadi gereja dan tempat peribadatan umat Nasrani. Meskipun demikian, negara yang berpaham Wahabi seperti Qatar masih mengharamkan Maulid Nabi.