Traveling bukan lagi hal mewah, ia telah menjadi sebuah gaya hidup. Ada yang menjadikan kegiatan travelling sebagai hobi atau juga program wajib pada sebuah komunitas atau organisasi. Bahkan pada beberapa orang, traveling adalah sebuah pekerjaan. Namun, tetap saja masih ada sebagian orang yang menganggap sebelah mata hobi ini. Mereka mungkin beranggapan, ‘untuk apa sih traveling itu? ada manfaatnya?‘
Jika ditanya seperti itu saya akan jawab, ‘sangat banyak!’ Setelah melakukan beberapa perjalanan, saya mendapat banyak manfaat yang tak pernah saya duga sebelumnya;
Kala itu saya melakukan perjalanan ke salah satu pantai di daerah Malang selatan, Pantai Bantol. Saya berangkat bersama organisasi mahasiswa pecinta alam di kampus.
Perjalanan saya ke Pantai Bantol mengenalkan saya untuk pertama kali arti dari sebuah perjalanan. Perjalanan selama tiga hari dua malam di pantai itu benar-benarmembuat saya mengenal pribadi masing-masing orang satu sama lain -orang yang perhatian, penyabar, cuek, yang terlihat pendiam namun ternyata sangat bias diandalkan, orang yang berbakat menjadi pemimpin, semua terlihat di perjalanan itu. Orang bilang, “jika ingin mengenal sifat asli seseorang, lakukanlah perjalanan dengannya”. Pendapat itu benar adanya.
Setelah saling mengenal tak ada lagi rasa canggung diantara kami. Dalam waktu singkat kami melebur. Mulai dari tawa lepas bersama kawan seperjalanan untuk menertawakan kejadian kaleng sarden yang meledak karena kelakuan konyol kami. Hingga kejadian yang mebuat kami sedikit berselisih paham perkara pembagian tugas dalam tim. Perjalanan itu merupakan fase pertama dari makna perjalanan yang telah saya lakukan. Saya menemukan arti kebersamaan bersama kawan seperjalanan.
Traveling disebut telah menjadi gaya hidup bagi beberapa orang. Saya memaknainya dalam sudut pandang yang berbeda. Gaya hidup disini memiliki dua makna. Traveling sebagai trend ataukah traveling sebagai ajang menempa diri.
Setelah perjalanan pertama saya pada poin sebelumnya. Saya kemudian melakukan pendakian gunung untuk kali pertama. Saya memilih Gunung Penanggungan via tretes yang terletak di kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Ajakan seorang kawan yang awalnya memang tidak direncanakan jauh-jauh hari sebelumnya justru membuat saya banyak belajar. Persiapan yang kurang matang membuat tim kami harus mencari kayu bakar dan ranting-ranting kering selama perjalanan menuju puncak gunung. Kami harus survive karena kompor lapangan yang kami bawa rusak dan tidak dapat digunakan sama sekali. Bekal pengetahuan yang sebelumnya kami dapatkan dari pembelajaran organisasi mahasiswa pecinta alam di kampus, membuat kami dapat menyelesaikan pendakian tersebut selama dua hari satu malam.
Pendakian tersebut merupakan fase kedua dari beberapa perjalanan yang telah saya lakukan. Saya maknai sebagai ajang untuk menempa diri, mendidik diri sendiri, dan melatih mental dan karakter diri sendiri. Arti travelling pada poin ini membutuhkan intensitas perjalanan yang lebih sering dilakukan ketimbang sekadar menghabiskan waktu luang. Karena setiap perjalanan memiliki sebuah kompleksitas dan konteks permasalahan yang berbeda.
Salah satu kawan seperjalanan saya pernah menuturkan bahwa pada hakikatnya, kita bukanlah orang yang sama setelah melihat matahari bersinar di belahan bumi yang lain. Penuturan tersebut menjadi seluruh kesimpulan pada poin ini.
Pada tahap ini saya mengalami sedikit kemunduran dalam memaknai perjalanan yang saya lakukan. Setelah kedua perjalanan yang saya lakukan pada kedua poin di atas. Saya melanjutkan perjalanan dan pendakian ke sejumlah tempat yang menyajikan pesona alam yang indah di berbagai daerah jawa timur. Mulai dari pantai, teluk, air terjun, danau, dan gunung seperti Pantai Batu dan Teluk Hijau di Banyuwangi, Air Terjun Kembar di Mojokerto, Ranu Agung di Probolinggo dan juga Gunung Panderman di Malang
Pada tahap ini saya lebih fokus terhadap ambisi untuk mencapai destinasi suatu tempat atau puncak gunung dari perjalanan dan pendakian yang saya lakukan. Saya memburu objek pemandangan alam yang eksotis di tempat-tempat tersebut. Kemudian saya membagikan hasil perjalanan dan pendakian tersebut ke media sosial sebagai salah satu bentuk ajang pembuktian diri, bahwa saya mampu mencapai tempat-tempat itu atau puncak gunung dari pendakian yang saya lakukan. Saya semakin terobsesi dan terbawa pada ambisi tersebut untuk sejumlah perjalanan dan pendakian gunung yang saya lakukan dalam beberapa kurun waktu.
Pada beberapa orang saya menemukan bahwa kegiatan traveling telah menjadi identitas dirinya. Mereka meninggalkan semua zona nyamannya untuk melakukan sebuah perjalanan jauh yang membutuhkan waktu lama. Mereka keluar dari rutinitas bahkan meninggalkan pekerjaan mereka. Traveling menjadi priotitas utama dalam kehidupan mereka. Namun, saya belum memilih level ini. Sejumlah perjalanan yang saya lakukan yang saya maknai sebagai ajang pembuktian diri mengantar saya sampai pada tahap ini. Traveling nasih menjadi bagian dari rutinitas di sela-sela kesibukan bekerja dan kuliah.
Traveling belum menjadi urutan pertama tapi bukan juga yang terakhir dalam prioritas kehidupan saya. Traveling menjadi priotitas yang sama dengan kegiatan lain seperti pekerjaan dan kuliah. Ketiganya saya usahakan tetap dalam keseimbangan yang sama. Pilihan itulah yang secara otomatis membuat saya belajar profesionalitas.
Traveling bukan alasan untuk mengganggu waktu kerja dan kuliah. Tidak ada alasan bolos kerja atau bolos kuliah karena lelah setelah traveling pada hari sebelumnya. Begitupun sebaliknya, kerja dan kuliah bukan alasan untuk menghentikan saya melakukan traveling.
Bagaimana traveling bisa menjadi ajang untuk menemukan diri sendiri? Suatu kali, saya pernah bertanya pada salah satu kawan seperjalanan tentang arti traveling baginya. Dibalik sebuah perjalanan untuk menemukan tempat-tempat baru, menjelajahi dari sebuah negeri satu ke negeri lain, menemukan kebudayaan-kebudayaan baru pada sebuah tempat yang dikunjungi. Pada dasarnya traveling akan bermuara pada satu titik, yaitu bagaimana kita dapat bercermin. Melakukan instropeksi terhadap diri sendiri, apa saja yang telah kita lakukan selama ini.
Pada satu titik ketika saya sampai pada tahap belajar makna sebuah profesionalitas dari traveling. Ketika traveling telah menjadi bagian dari rutinitas di sela-sela kesibukan lain. Pendakian Gunung Arjuno dan Welirang yang berhasil saya tempuh dalam waktu tiga hari dua malam mengantar saya pada titik ketika saya harus bercermin. Ambisi pencapaian dua puncak gunung sekaligus dalam waktu yang singkat justru mengantar saya pada titik jenuh. Pada titik itulah saya kemudian melakukan instropeksi terhadap diri sendiri. Apa saja yang telah saya lakukan selama ini? Apa yang saya dapat dengan semua pencapaian itu? Apa yang mampu saya berikan untuk orang lain setelah perjalanan itu? Berbagai pertanyaan baru bermunculan dalam benak saya untuk menemukan jawaban-jawaban itu. Adakalanya saya harus diam sejenak untuk bercermin. Saya sedang mencari sudut pandang baru dalam memaknai sebuah perjalanan.
***
Terlepas dari itu semua, setiap orang memiliki cara memaknai sebuah perjalanan. Semua orang berhak atas pemaknaannya sendiri terlepas dari itu benar atau kurang benar. Setiap orang akan melalui fase atau tahap yang berbeda dari setiap perjalanan yang ia lakukan.