Sejak Sabtu (6/10) hingga Minggu (7/10) dini hari, Gunung Anak Krakatau telah mengalami 407 kali kegempaan letusan. Gunung yang teletak di Selat Sunda, Lampung ini masih berstatus aktif hingga kini dan telah erupsi dalam beberapa tahun terakhir. Walaupun masih terbilang gunung yang baru, Gunung Anak Krakatau cukup dikenal oleh masyarakat Indonesia karena dahsyatnya letusan yang dilakukan oleh “ibunya”.
Menurut laman Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), komplek Krakatau terdiri dari 4 (empat) pulau. Pulau-pulau tersebut di antaranya adalah Rakata, Sertung, Panjang, dan Anak Krakatau. Ketiga pulau pertama muncul dari sisa pembentukan kaldera. Sedangkan, Anak Gunung Krakatau lahir dari erupsi kompilasi Gunung Krakatau.
Sejarah mencatat pada tanggal 26-27 Agustus 1883, Gunung Krakatau meletus dengan dahsyat. Tak hanya hancur karena letusannya sendiri, ledakan Gunung Krakatau juga memberikan dampak yang besar. Letusan tersebut mengakibatkan tsunami setinggi 40 meter hingga kurang lebih 36.000 orang menjadi korban.
Tak hanya berdampak ke Indonesia, letusan Gunung Krakatau juga melingkupi dunia. Ledakannya bahkan terdengar sampai Perth, Australia. Langit menjadi gelap hingga 422 km dari Gunung Krakatau selama 3 hari. Bahkan suhu rata-rata dunia turun hingga 1.2 dalam waktu 5 tahun akibat kuatnya erupsi Gunung Krakatau.
Setelah 44 tahun berlalu, tepatnya pada 1927, beberapa nelayan yang sedang melaut di sekitar Krakatau melihat kolom uap dan puing yang dikeluarkan oleh runtuhnya kaldera.
Akhirnya Gunung Anak Krakatau menampakkan diri untuk pertama kalinya dan terus bertumbuh. Setiap tahun, tingginya akan meningkat sekitar 4-6 meter dan lebar 12 meter. Kini, Gunung Anak Krakatau memiliki tinggi sekitar 230 meter di atas permukaan laut.
Walau banyak orang masih takut letusan Gunung Anak Krakatau akan sebesar “ibunya” terdahulu, namun peneliti membantahnya. Walaupun sudah berstatus Waspada, Sutopo, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), meyakinkan dampaknya tidak akan sebesar dulu. “Masih perlu waktu ratusan tahun G. Anak Krakatau untuk terjadi letusan besar. Tidak mungkin letusannya akan menyamai seperti letusan G. Krakatau tahun 1883,” ujarnya dilansir dari Kumparan