Merantau dapat didefinisikan sebagai gerakan meninggalkan kampung halaman dalam jangka waktu tertentu. Biasanya tujuan dari merantau adalah untuk mencari penghidupan dengan maksud kembali lagi ke kampung halaman. Merantau telah menjadi sebuah tradisi yang dapat dilihat dari sudut pandang sejarah dan konsep budaya.
Suku Minang di daratan Sumatera dikenal lama sebagai kelompok etnis yang masih menanamkan tradisi merantau. Catatan sejarah menunjukkan bahwa tradisi merantau Suku Minang sudah dilakukan sejak abad ke-7 M. Pada abad ke-14 terjadi migrasi besar-besaran hingga melintasi Negeri Sembilan di Semanjung Malaya. Hingga abad ke-19 tradisi merantau masih tetap dilakukan, termasuk migrasi di dalam wilayah Pulau Sumatera.
Kebiasaan merantau orang-orang dari Suku Minang tak bisa dilepaskan dari pemahaman terkait sistem kekerabatan matrilineal, dimana laki-laki tidak memiliki kuasa atas harta warisan orang tua selain harta pusaka rendah atau gono-gini. Bagi etnis Minang, rumah hanya diperuntukkan bagi anak perempuan. Setiap anak laki-laki Suku Minang yang akil balig tidak lagi tidur di rumah orang tuanya.
Terdapat sebuah bentuk kontrol sosial yang dilakukan oleh sesama anak laki-laki di Minangkabau. Anak laki-laki yang masih tidur di rumah orang tua saat beranjak dewasa akan dianggap sebagai anak manja. Bahkan akan dipastikan mendapat olokan dengan nama “Bujang Gadih” atau laki-laki dengan sifat feminim. Kondisi inilah yang akhirnya mendorong setiap anak laki-laki untuk belajar hidup mandiri dengan merantau jauh dari rumah.