Ada yang menarik dalam perhelatan akbar Indonesia Fashion Week 2018 yang digelar sejak 28 Maret 2018 hingga 1 April 2018 lalu. Salah satu desainer muda cantik, Adinda Moeda yang memperkenalkan koleksi rancangan terbarunya pada show pertama di Indonesia Fashion Week bertajuk Artistic Identity ternyata mengusung kain tenun Sumba dalam rancangannya. Tak hanya unik, desain baju yang dipamerkan Adinda juga terlihat begitu cantik dengan ragam warna dan corak etnik yang begitu khas.
Kain tenun Sumba sendiri merupakan salah satu warisan budaya Indonesia yang memiliki nilai seni dan budaya begitu tinggi. Proses pembuatannya yang panjang dan melibatkan banyak elemen menjadikan harga kain tenun Sumba ini sering disebut-sebut mahal. Selembar kain tenun Sumba bisa dijual dengan harga jutaan bahkan puluhan juta, tergantung kesulitan corak dan pilihan warna yang digunakan untuk membuat tenun tersebut.
Namun, benarkah kain tenun Sumba itu mahal? Atau sebetulnya ungkapan mahal itu hanya berlaku bagi mereka yang tak mengerti dan memahami arti nilai dari sebuah kain dan perjuangan dalam proses pembuatannya? Mari kita ungkap bersama.
Salah satu alasan mengapa kain tenun Sumba dijual dengan harga yang cukup tinggi adalah karena dalam pembuatannya, para pengrajin menggunakan bahan-bahan alami terbaik yang diambil langsung dari alam. Seperti misalnya dalam proses pewarnaan, pengrajin pun menggunakan bahan alami. Biasanya warna merah didapatkan dari akar mengkudu, biru dari nila (warna bitru dari daun tarum), cokelat dari lumpur atau kuning dari kayu.
Namun biasanya masing-masing pengrajin memiliki resep rahasia yang saling berbeda, dan mereka pun saling merahasiakannya. Inilah yang membuat kain tenun Sumba begitu kaya, meski dibuat dalam satu lingkungan yang sama.
Pemilihan bahan alami bukan tanpa alasan. Jika bagi masyarakat umumkain tenun Sumba hanya dilihat sebagai sebuah kain yang cantik untuk dikenakan, maka berbeda dengan warga Sumba itu sendiri. Mereka menjadikan kain tenun sebagai kain penutup, pembungkus bahkan pengawet mayat atau jenazah.
Bagi warga Sumba, khususnya Sumba Timur jenazah biasanya akan disimpan sampai beberapa bulan dan tak boleh diintip sesuai kepercayaan Marapu. Keberadaan kain tenun Sumba yang terbuat dari bahan organik ini konon mampu menjadi pengawet alami bagi jenazah tersebut, sehingga tidak akan mudah membusuk.
Tak banyak yang tahu jika untuk membuat satu helai kain tenun Sumba, pengrajin butuh waktu setidaknya enam bulan atau bahkan lebih. Tergantung dari bentuk corak yang akan dibuat. Dalam proses pembuatannya, pengrajin harus melewati 42 langkah termasuk membuat pewarna secara alami dan mewarnainya secara manual.
Sosok wanita-wanita tangguh di baliknya pun menyimpan perjuangan yang tak mudah untuk terus melestarikan peninggalan budaya dari masa sebelumnya. Sebut saja salah satunya Agustina Kahi Atanau atau lebih sering dikenal dengan nama Mama Dan. Dia adalah salah satu tokoh wanita pelestari tenun ikat Sumba dengan pewarna alami di Desa Lambanapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Di usianya yang sudah menginjak 64 tahun, Mama Dan terus aktif menenun. Mesi sempat mengalami katarak, namun semangatnya untuk melestarikan budaya tak pernah padam. Dia terus memotivasi, menggerakkan, dan melestarikan orang di desanya untuk mempertahankan pembuatan tenun dengan metode pewarnaan alami.
Sebagian orang di kampung Mama Dan memilih berkumpul dan membuat perkumpulan bernama Paluanda Lama Hamu. Mereka adalah orang-orang yang masih setia dan konsisten pada pewarna alami tenun ikat. Demi menjaga keaslian warisan budayanya, mereka sama sekali tidak pernah sedikit pun tergoda untuk membuat tenun ikat dengan pewarna tiruan dan sintetis, yang tentu saja harganya lebih murah, walaupun dengan kualitas yang jauh di bawah tenun ikat dengan pewarna alami.
Setiap kain tenun Sumba memiliki makna yang berbeda di balik tiap coraknya. Misalnya, corak kuda dapat menggambarkan kepahlawanan, keagungan, dan kebangsawanan karena kuda adalah simbol harga diri bagi masyarakat Sumba.
Atau ada juga motif buaya atau naga yang mencerminkan kekuatan dan kekuasaan raja. Motif ayam menggambarkan tentang kehidupan wanita. Sedangkan motif burung yang biasanya menggunakan burung kakak tua melambangkan persatuan. Beberapa motif kuno bahkan juga menggunakan mahang atau singa, rusa, udang, kura-kura, dan hewan lain dengan corak yang khas.
Maka mungkin saja benar, bahwa penghargaan yang tinggi patut diberikan pada sehelai kain tenun Sumba. Dengan segala nilai seni, budaya dan perjuangannya yang tak mudah.