Kisah sukses para pendaki yang berhasil menggapai puncak Cartenz selalu menggiring dua komentar. Pertama komentar positif berupa apresiasi dan kebanggaan, kedua komentar negatif atau yang lebih condong pada “nyinyir”. Seperti contoh saat berita kesuksesan Matthew Tandioputra dan Khansa Syahlaa mulai tersebar lewat media setelah mendaki Cartenz dan melunasi misi Seven Summitsnya. Tak sedikit warganet yang mengapresiasi prestasi kedua remaja ini. Namun di sisi lain, banyak juga yang nyinyir dengan beropini bahwa kesuksesan mereka semata-mata karena uang dan sponsor.
Anggapan tentang pendakian Cartenz yang mahal dan hanya bisa dilakukan oleh mereka yang berduit memang sudah bukan hal yang baru, terutama di kalangan para pendaki. Banyak pendapat bahwa orang yang sukses mendaki ke Cartenz tidak lain adalah mereka yang punya budget lebih atau mendapat sponsor dari brand besar.
Lalu, benarkah anggapan ini? Jika memang benar, kenapa pendakian ke Puncak Cartenz begitu mahal dan sulit dijangkau kalangan pendaki?
Anggapan tentang mahalnya pendakian Cartenz secara gamblang dibenarkan oleh Joel Tandionugroho, salah satu pendaki yang pernah mencapai puncak Cartenz.
“Betul, mendaki ke Cartenz itu memang mahal sekali. Waktu itu saya butuh biaya 90juta/orang dan itu minimal harus 3 orang,” ungkap Joel.
Menurut Joel, biaya yang harus dikeluarkan dalam pendakian Cartenz bisa saja berbeda, tergantung jalur mana yang diambil. Joel bersama Matthew Tandioputra memilih jalur Chopper dengan menggunakan helikopter. Biaya ini belum termasuk denda apabila saat penjemputan sang pendaki tidak ada di titik penjemputan. Helikopter akan langsung kembali dan pendaki akan tetap dikenakan biaya satu kali trip sebesar 50 juta hingga 60 juta rupiah.
Mahalnya biaya pendakian Cartenz juga dibenarkan oleh Ardeshir Yaftebbi, pemilik Imosa (perusahaan operator pendakian di Bandung) sekaligus anggota Wanadri dan Ketua Tim Ekspedisi Indonesia Seven Summits 2010-2012.
“Kalau dibilang mahal, ya memang mahal. Untuk sekali mendaki bisa sampai 60 juta sampai 90 juta, tergantung lewatnya mana,” jelas Deshir.
Deshir sendiri sudah mendaki ke Cartenz sebanyak sebelas kali termasuk membawa tamu. Jalur yang pernah dilewatinya di antaranya tracking melalui Suanggama, Ugimba dan juga menggunakan helikopter atau Chopper.
Deshir yang juga mempunyai usaha operator pendakian biasanya membawa tamu dengan range harga 60 juta untuk jalur tracking minimal 6 orang, dan 90 juta untuk jalur Chopper minimal 3 orang. Biaya tersebut adalah biaya untuk pendaki lokal asal Indonesia. Sedangkan untuk pendaki asal luar negeri Deshir menjual paket pendakian Cartenz di angka USD10.000 atau sekitar Rp150.000.000.
“Sebetulnya harga ini sudah cukup murah, karena biasanya ada banyak juga operator yang menjual dengan harga lebih tinggi. bahkan ada juga yang menjual dengan harga USD14.000 untuk pendaki asal luar,” tambah Deshir.
Biaya tersebut bahkan belum termasuk biaya lain ketika menemui kendala. Joel menjelaskan bahwa biasanya pendaki bisa saja bertemu dengan “palang”. Palang di sini bisa berarti perampok, atau warga yang memiliki lahan dan dilewati oleh pendaki.
“Kalau ketemu sama “palang” yang dilewati ladangnya biasanya dimintai bayar 1-15 juta. Tapi ini sudah ditanggung sama operator, jadi udah masuk biaya paket. Tapi kalau apes ya ketemu palang beneran. Mereka kadang mengambil barang-barang milik pendaki”, jelas Joel.
Dari penuturan Joel, jelas bahwa pendaki harus punya cadangan uang untuk mengantisipasi kemungkinan buruk yang mungkin akan terjadi selama pendakian. Dengan kata lain, biaya diluar biaya paket mungkin akan bertambah mungkin juga tidak.
Melihat dari besarnya biaya yang harus dikeluarkan pendaki memang tidak sedikit. Maka tak salah juga jika pendakian Cartenz disebut sebagai pendakian yang mahal dan menguras isi kantong. Tapi hal ini kembali pada pendaki, karena sebetulnya memang Puncak Cartenz bukan untuk semua orang.
Mungkin banyak orang yang beranggapan bahwa pendakian ke Cartenz begitu mahal karena ulah operator yang mengambil untung besar. Anggapan ini wajar karena banyak pendaki yang belum paham perincian biaya pendakian.
“Mungkin banyak yang bilang mahal, tapi kan mereka belum paham kenapa bisa mahal. Biaya operasional sendiri sudah tinggi, kadang keuntungan yang didapat operator bahkan tidak sepadan dengan resiko yang harus ditanggung,” jelas Deshir.
Penasaran biaya apa saja yang harus dikeluarkan dalam pendakian Cartenz, mari kita ulas.
Dalam sekali pendakian, rombongan pendaki harus menyewa satu pesawat dan biasanya butuh dana sekitar Rp40 juta rupiah. Pesawat ini disewa karena sebetulnya hanya mampu menampung 10 orang. Padahal biasanya dalam satu rombongan pendaki ada setidaknya 6 orang, belum lagi ditambah barang-barang. Jadi mau tidak mau para pendaki memang harus menyewa pesawat.
Beralih ke biaya porter. Biasanya satu orang porter akan mendapat bayaran Rp500.000,- per hari, sedangkan lama pendakian bisa mencapai 14 hari (jika lewat jalur tracking). Dari sini sudah jelas biaya untuk satu porter berkisar 7 juta rupiah. Padahal jumlah porter yang dibutuhkan dalam sekali pendakian memiliki perbandingan 1:3, artinya jika pendaki membawa rombongan 6 orang maka harus membawa porter sebanyak 18 orang. Jika dikalikan dengan biaya per orang sekitar 126 juta rupiah.
“Mungkin banyak yang bilang, kok biaya porter mahal sekali sehari bisa 500ribu rupiah?Banyak yang bilang begitu, tapi kan banyak juga yang tidak tahu kalau biaya hidup di sana itu sangat mahal. Bayangkan saja, harga beras di sana sama dengan 5 kali harga beras di Jawa. Belum kebutuhan lainnya, jadi harga segitu sangat wajar,” ungkap Deshir.
Belum lagi biaya sewa helikopter yang bisa mencapai 50 juta rupiah sekali trip (untuk yang lewat jalur Chopper), atau ketika bertemu dengan para palang seperti yang dijelaskan Joel sebelumnya. Jadi besarnya biaya pendakian ke Cartenz memang sepadan dengan kebutuhan selama pendakian.
Saat kami mencoba menggali informasi tentang perizinan, Deshir menjelaskan bahwa perizinan untuk mendaki ke Cartenz memang sedikit ribet, namun bukan berarti tidak bisa diselesaikan. Mengingat gunung ini masuk dalam kawasan yang cukup sensitif dan merupakan kawasan konflik, maka perizinannya memang sedikit lebih ketat dari pada gunung lainnya.
Jika biasanya pendaki hanya butuh perizinan dari pihak Taman Nasional untuk mendaki ke suatu gunung, maka untuk pendakian Cartenz pendaki harus mengurus perizinan dari POLRI.
“Kalau syarat yang penting itu KTP, sedangkan untuk pendaki luar tentu saja harus punya paspor ya. Untuk pendaki lokal perizinan cukup dari Polres dan Polsek di area pendakian. Nah, kalau pendaki luar itu harus ada izin dari POLRI, tidak cukup dari Polres dan Polsek saja,” tambah Deshir.
Surat perizinan ini akan dipertanyakan oleh petugas yang berjaga di jalur pendakian tracking, atau petugas penerbangan helikopter. Tanpa surat izin ini pendaki tidak akan diizinkan masuk ke kawasan Cartenz apalagi mendaki ke puncaknya.
Mendaki Puncak Cartenz bukanlah hal yang mudah, apalagi dengan kondisi puncak bersalju. Pendaki Indonesia mayoritas belum terbiasa dengan cuaca ekstrem, sehingga butuh banyak persiapan fisik agar bisa beraklimatisasi dengan baik.
“Yang harus disiapkan yang jelas fisik, itu harus benar-benar kuat. Apalagi kan kalau naik helikopter, pendaki akan mencapai ketinggian 4000an mdpl hanya dalam waktu sekitar 1 jam. Kalau sampai tidak bisa aklimatisasi ya nanti tidak bisa mendaki,” jelas Deshir.
Latihan rutin juga sangat diperlukan sebelum pendakian, seperti misalnya jogging teratur. Ini akan membuat kardio menjadi lebih kuat. Atau bisa juga melakukan pemanasan dengan mendaki ke beberapa gunung sebagai latihan fisik agar lebih kuat. Selain itu persiapan dana juga dibutuhkan, sebab seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya pendakian Cartenz memang tidak murah.
Jadi bagaimana, masih berminat untuk mendaki ke Puncak Cartenz?