Kamera DSLR tidak pernah lagi menenami perjalanan saya semenjak Maret lalu. Saya punya satu smartphone baru dengan kapasitas resolusi gambar maksimal 13 mega picture elemen (pixel). Kualitas yang mungkin setara dengan hasil tangkapan lensa kamera poket.
Saya pun mulai mencoba mempelajari smartphonography. Sebuah aliran untuk pehobi (pekerja) fotografi yang instan. Abadikan momen hanya dengan sebuah smartphone di tangan. Ketika ke Australia pada Mei – Juni lalu, saya pun tidak khawatir kalau kelak pulang dengan foto-foto atau video yang abal-abal. Di sana, saya malah merasa lebih nyaman arahkan lensa pada objek-objek yang barangkali tidak terlihat pemegang lensa DSLR.
Berikut adalah 10 momen smartphonography saya di Aussie beserta cerita di balik lensa.
Siluet yacht berjejer panjang menjulang di Dermaga Saint Kilda. Seramai pengunjung objek wisata bahari terdekat dengan Kota Melbourne itu. Saya datang ke sana menjelang senja. Hari Minggu. Sebelum ke dermaga, lebih dulu saya nikmati Pantai Saint Kilda, yang membatasi Teluk Philip dengan pinggir kota. Di satu sudut, saya melihat semacam papan pengumuman tentang hal-hal yang harus diketahui mengenai teluk: Dilarang nyemplung karena perairannya dangkal, tidak boleh menggunakan boat (sampan), jangan menyelam, dilarang melompat, dan sangat tidak dianjurkan untuk berenang. Pantas, saya cuma menyaksikan orang-orang yang berjalan kaki, foto ria, bergurau, hingga menaiki kendaraan St. Kilda Rickshaws taxies & tour. Artikel terkait: 5 hal romantis yang bisa kamu lakukan saat senja di pantai saint kilda melbourne
Suatu siang kami bertemu seorang aborigin, Yalmambirra. Ia dari suku Wiradjuri. Kami berdiskusi dengannya di halaman belakang Charles Sturt University, kampus yang fokus pada pendidikan lingkungan hidup berlokasi di Albury, Negara Bagian New South Wales. Di situ pula dia mengajar.
Penampilannya sederhana. Tapi prestasinya luar biasa. Ia mendapat gelar kehormatan atas kontribusinya di bidang lingkungan. Dia salah satu dari sekian banyak orang aborigin di Aussie yang berjuang untuk mengangkat derajat penduduk asli (indigenous people). Dari dia saya tahu bahwa Australia memiliki 500 suku, 250 bahasa, dan 80 dialeg. Namun hanya sebagian yang masih eksis, Wiradjuri adalah yang terbesar. Dia merasa bangga terlahir sebagai aborigin.
“Tidak masalah apa warna kulit saya. Saya lahir sebagai Wiradjuri, jadi saya adalah seorang Wiradjuri.”
Sukunya itu sangat melestarikan kearifan lokal. Mereka pun mewariskannya kepada generasi muda di samping menganjurkan belajar bahasa Inggris. “Dengan cara, orang-orang Wiradjuri membaca buku yang ditulis oleh orang Wiradjuri itu sendiri,” sebutnya.
Cerita-cerita Yalmambirra itu membuat saya ingin berpose dengannya. Di bawah langit biru cerah. Dengan modal smartphone, saya minta bantu seorang kawan untuk membingkai kami dalam lensa.
Pantai ini berada di urutan pertama daftar tujuan pelesiran saya begitu tahu akan ke Melbourne. Pantai Brighton. Kamar ganti yang lebih tampak sebagai rumah-rumah kotak warna-warni itu memanjakan mata. Hampir semua pengunjung menempatkan bathbox itu sebagai latar foto. Saya pun tertarik. Teknik foto panorama menjadi pilihan saya untuk mendapatkan gambar 90 bathbox berjejer sepanjang hampir 200 meter. Artikel terkait: 1 jam di Pantai Brighton Australia Saat Musim Dingin Ingin juga saya memotret seakan-akan ada orang yang terbang keluar dari rumah kotak itu. Sebab saya tak tahu kapan pengusaha pemilik rumah-rumah itu datang sehingga kita bisa sewa dan berakting di dalamnya. Maka, teman perjalanan adalah aktornya. Sebelum si kawan melompat dari teras rumah, saya sudah siap dengan mode “time catch shot”. Cukup sekali jepret, saya mendapatkan beberapa lembar frame, lalu simpan yang terbaik saja.
Negeri Kangguru menjadi salah satu negara tujuan pencari suaka di dunia semenjak abad 19. Termasuk asal Indonesia. Di Kota Dandenong, 30 km dari Melbourne, saya melihat banyak wajah imigran, berkulit hitam maupun putih.
Dandenong dikenal paling ramah pencari suaka dari sejumlah kota di Victoria. Lebih dari setengah populasi kota ini adalah para pendatang. Saat telusuri sudut kota di kawasan Little India, saya lihat colokan listrik (power socket) besar menempel di dinding sebuah gedung. Kawan saya megisi ulang tenaganya di sana.
Seakan-akan sebuah parodi terhadap keinginan para pencari kesejahteraan di Australia.
Melbourne ramah dengan lidah Asia. Saya hanya perlu kegigihan untuk mencari restoran Melayu di minggu pertama. Berikutnya saya temukan warung Indonesia, Malaysia, Singapura, di sudut-sudut kota. Pun dengan menu Asia, Eropa, hingga Timur Tengah yang mudah ditemui untuk membuat betah orang-orang dari benua tersebut. Bahkan saya pernah menemukan di salah satu blok ada tiga rumah makan Melayu. Malaysia dengan khas ayam goreng dan teh tarik, Indonesia khas padang, atau Malaysia dengan khas Tofu Bakar. Saya pilih yang terakhir di Chai Restaurant. Tahu bakarnya gurih dan enak, dicampur nasi dan risol, menjadi objek bidikan lensa saya malam itu.
Hanya 5 detik menaiki lift, saya sudah tiba di puncak Menara Eureka Skydeck, di lantai 88. Ramai, banyak orang di sini, tapi hening. Pengunjung menikmati keindahan yang terpancar dari lampu-lampu bangunan Kota Melbourne.
Di setiap sudut ada teropong kecil untuk melihat suatu objek tertentu lebih dekat. Saya tertarik pada sinar kuning tua Flinders Railway Station dari jauh. Cahayanya memberikan refleksi pada bagian dalam view finder. Lubang lensa kamera smartphone saya tempelkan tepat di tengah-tengah view finder agar tidak goyang. Hingga menghasilkan foto refleksi di atas.
Patung sepasang burung menarik perhatian saya saat berkunjung ke rumah sepasang peternak sapi dan domba di Dataran Tinggi Talgarno, Victoria. Meski tak berkicau, burung itu penuh makna. Keduanya seperti melambangkan kesetiaan Julie dan Jim de Hennin dalam memperjuangkan cinta mereka sembari membangun bisnis peternakan semenjak mereka kawin 25 tahun lalu. Julie menyukai pekerjaannya karena dia mencintai binatang, dan begitupun cintanya pada suaminya yang selalu membantu dalam merawat bisnis di atas beratus hektar lahan peternakannya.
Souvereign Hill, sebuah bukit di Kota Ballarat. Bekas penambangan emas abad 19 yang disulap jadi objek wisata favorit. Saya menempuh perjalanan 105 km dari Melbourne ke Ballarat.
Gubuk-gubuk tua dihuni pria tua, kereta kuda dinaiki pengunjung, perempuan berpakaian kembang kerubungi penambang emas, pemuda pengolah emas melayani pengunjung, seorang pria menunjukkan trik sulap, perempuan muda menjual cerutu, topi, lampu teplok, dan peralatan rumah tangga lainnya.
Ada satu yang menarik perhatian saya. Dua pria petugas keamanan berjubah hitam dan memegang pentungan. Kawan saya yang berkursi roda ingin berpose dengan mereka. Tanpa diminta, dua pelakon itu menampilkan gaya khas profesi mereka abad 19, ketika kehidupan di Souvereign Hill masih berdenyut oleh kegiatan penambangan emas. Dengan mode normal, saya cukup jepret sekali karena aksi mereka sangat bagus.
Galeri Seni Nasional Australia di Canberra, menyambut saya dengan instalasi The Aboriginal Memorial. Di ruang itu, dipajang 200 log kayu berlubang dengan ragam motif aborigin. Log kayu itu berisi tulang-belulang mayat Bangsa Arnherm yang berjuang mempertahankan tanah mereka pada abad 18. Di langit-langit instalasi, saya lihat lampu dengan sinar yang bulat bertengger layaknya bulan purnama. Smartphone saya rapatkan di lantai berbatu di antara log-log kayu itu. Dengan kemiringan sudut hingga 330 derajat. Saya tak membidik, hanya mengira-ngira kalau lensa sudah tepat menyorot lampu di langit dan dibingkai ujung log. Setelah tiga kali mencoba, dapatlah hasil ‘bulan Aboriginal’ di atas.
Di atas piring masih ada sepotong nugget ikan dan daun selada merah. Tapi saya sudah kenyang. Garpu dan pisau saya silangkan. Tanda sudah cukup. Setelah beberapa menit, piring saya belum diambil pelayan. Seorang fasilitator saya bilang, “di Australia kalau sudah berhenti makan, kamu harus telungkupkan garpu, sendok, lalu satukan dengan pisau. Tidak disilangkan.” Baru saya mengerti.
Selain itu ada juga cerita tentang sebuah alas piring berupa satu kertas HVS bergambar piring putih kosong bertuliskan ‘I like to eat…’ di sisinya. Saya lminta bantuan seorang kawan untuk berpura-pura sedang makan. Dia tampak seperti seorang yang tengah memotong menu yang tak terlihat, dengan garpu dan pisau tidak seperti saat seorang Australia sudah berhenti makan.
***
Pengalaman smartphonography di Australia memantapkan niat saya untuk tidak membeli kamera DSLR. Jika ada kamera yang siap sedia dalam genggaman, saya pikir, buat apa kamera besar jika hasil jepretannya kalah bagus dari kamera smartphone.[]