Perjalanan dan berkarya, bagi saya merupakan dua hal yang sulit dipisahkan. Cara saya menyalurkan kekaguman saya akan keindahan alam dan kekayaan budaya adalah dengan merekamnya ke dalam bentuk video. Karena dengan itu, saya dapat menangkap banyak hal untuk disebarkan dan diceritakan kembali kepada orang lain.
Berdasarkan pengalaman, saya pribadi membagi dua tipe cara syuting video perjalanan. Pertama, syuting yang bersifat professional, yang artinya segalanya sudah disetting, mulai dari talent, lokasi, perizinan dan sebagainya.
Kedua, syuting video perjalanan sebagai turis, berbeda dengan tipe pertama, tipe kedua ini justru tidak ada yang disetting, kita diharuskan menangkap gambar dengan situasi yang tidak dapat kita kendalikan. Dalam tulisan ini, saya akan berbagi pengalaman untuk tipe kedua itu.
Musim sangat besar peranannya terhadap “wajah” suatu lokasi. Sebelum membeli tiket menuju tempat yang ingin saya shoot, saya akan berpikir telebih dahulu, apakah musim-nya sudah sesuai dengan yang visual saya inginkan. Sebagai contoh, saya membayangkan dalam frame kamera sebuah tempat dengan savana yang sangat luas namun gersang, pohon rontok, rumput kering berwarna coklat kekuningan.
Saya tahu, Taman Nasional Baluran di Jawa Timur sangat sesuai dengan apa yang saya bayangkan, sebuah tempat yang memiliki sebutan lain “little Africa”. Tetapi saya juga harus tahu bahwa penampakan wajah Baluran seperti itu hanya akan saya temukan pada musim kemarau. Jika saya keliru memilih musim, maka yang akan saya dapatkan justru padang rumput luas berwarna hijau yang jauh berbeda dengan ekspektasi saya.
Cuaca juga menjadi faktor penentu keberhasilan gambar yang akan diambil. Untuk itu, saya perlu pro aktif dalam mencari informasi cuaca di suatu lokasi, bisa dengan menggunakan aplikasi di smartphone, bertanya dengan penduduk lokal atau memprediksikannya sendiri dengan intuisi.
Baca juga, hal-hal paling berkesan saat menjelajah Lombok-Flores
Akan sangat sulit untuk mendapatkan langit biru, langit penuh bintang, matahari terbit dan tenggelam di cakrawala saat cuaca sedang berawan tebal. Oleh karena itu, ketika saya ingin merekam bintang-bintang di langit Bromo, saya memilih berkunjung saat musim kemarau (antara April hingga Oktober), dan menghindari musim hujan.
Walaupun pemilihan berkunjung di musim kemarau tidak bisa menjamin 100% cuaca saat saya berkunjung akan bersahabat, tetapi saya yakin bahwa peluang mendapatkan cuaca yang saya inginkan akan lebih besar daripada saat saya berkunjung ke Bromo pada musim hujan.
Secanggih-canggihnya peralatan videografi, tanpa cahaya yang baik akan sulit untuk menghasilkan video yang spektakuler, terutama untuk video landscape. Cahaya pagi saat matahari terbit dan cahaya sore saat matahari terbenam, tidak dapat dipungkiri adalah cahaya alami yang bisa membuat gambar berkali-lipat lebih indah. Ini adalah waktu yang paling saya nikmati, menunggu warna langit berubah dari biru, menjadi jingga. Saatnya eksplorasi kreatifitas, bermain dengan siluet, ray of light, dan bayangan.
Video-video pemandangan alam yang indah memang menyejukan mata, tetapi juga bisa menjadi hampa dan kurang berbicara apa-apa, terkadang saya merasa perlu menyisipkan manusia di dalamnya. Ritual dan Festival yang berhubungan dengan adat dan kebudayaan setempat merupakan momen yang sangat baik untuk diabadikan. Saya bisa menangkap energi semangat, kekhusyukan, dan ekspresi kegembiran yang tidak bisa saya dapatkan di hari-hari biasa ketika tidak ada festival/ritual.
Baca juga, 8 pembelajaran saat perjalanan menuju Kawah Ijen
Jika Saya ingin pergi ke suatu lokasi. Saya selalu mencari informasi mengenai festival/ritual apa yang dapat saya temukan di sana, dan kapan festival/ritual tersebut dilaksanakan. Saya akan memilih mengunjungi Bali di saat Hari Raya Nyepi, atau Hari Raya Galungan – Kuningan, atau mungkin di saat sedang diadakannya perayaan Ngaben. Karena hanya di saat-saat itu saya bisa menangkap “jiwa” Bali yang sesungguhnya.
Sebagai videografer dalam posisi turis, saya selalu berpegang kepada kalimat “siapa cepat, dia dapat”. Beberapa lokasi saya ketahui pasti akan ramai didatangi pengunjung, terlebih jika sedang ada event khusus. Saat seperti itu merupakan tantangan bagi semua videographer untuk mendapatkan gambar yang baik. Satu-satunya cara untuk mendapatkan posisi terbaik dalam mengambil gambar adalah datang seawal mungkin, sebelum pengunjung penuh sesak, jika sudah mendapat tempat yang bagi saya “good spot”, maka saya tidak akan beranjak hingga saya mendapat gambar yang saya inginkan.
Saya ada pengalaman ketika syuting Grand Parade Gion Festival di Jepang. Orang-orang Jepang selalu mulai menempati posisi sejak 2-4 jam sebelum acara dimulai, mau tidak mau, untuk mendapatkan posisi terdepan, saya harus standby 5 jam sebelum acara dimulai. Duduk di bawah terik matahari musim panas demi mendapatkan gambar terbaik. Tetapi hasil yang didapat, cukup memuaskan hati.
Terkadang saya merasa semua peralatan videografi harus saya bawa ke lokasi syuting, yang artinya saya harus membawa beban berkilo-kilo di punggung saya, tetapi ternyata itu bukan lah cara yang efektif, apalagi jika saya datang sebagai turis, yang artinya saya bukan lah kru khusus untuk syuting yang segalanya sudah dipersiapkan. Kegiatan rekam-merekam sendiri sudah menghabiskan banyak energi, baik itu pikiran atau pun fisik.
Sebelum berangkat ke lokasi syuting, saya berpikir matang-matang gambar seperti apa yang akan saya butuhkan. Dengan begitu, saya bisa memilih perlatan yang benar-benar akan saya pakai saja. Dan meninggalkan peralatan yang saya kira hanya akan memberatkan. Dengan bawaan yang ringan, saya bisa lebih gesit dalam mengambil gambar.
Smartphone adalah asisten saya yang sangat cerdas. Saya selalu mendayagunakannya dengan maksimal, mencari lokasi dengan Google Maps, memprediksikan cuaca dengan AccuWeather, melihat pergerakan bintang (termasuk posisi matahari terbit dan tenggelam) dengan Google Sky Map. Teknologi yang ada bisa sangat membantu proses pengambilan gambar.
Baca juga, 7 trik memotret menggunakan smartphone yang tak pernah Anda bayangkan sebelumnya
Saya sering menemukan teman-teman videografer jika sudah di lapangan menjadi terlalu ambisius mengejar gambar-gambar cantik, terkadang lupa bahwa kita sudah melampaui batas, mengganggu pengunjung lainnya, atau lebih parahnya menganggu objek yang kita ambil gambarnya.
Salah satu pengalaman buruk ini saya rasakan saat menghadiri sebuah event carnaval di Jember, saat itu banyak teman-teman fotografer dan videografer yang ‘terpaksa’ melanggar aturan, mereka melompati pagar pembatas, mendekati peserta carnaval dalam jarak kurang dari 1 meter. Akibat ulah tersebut, jalur peserta carnaval menjadi terganggu, pengunjung lain pun pandangannya terhalang, dan saya hanya mendapati punggung para fotografer dan videografer dalam frame kamera.