Tradisi Omed-Omedan Bali, Bukan Sekedar Ciuman Masal

Tradisi omed-omedan sering diidentikan dengan acara ciuman masal pemuda pemudi Bali. Ada makna yang lebih dalam daripada itu.

SHARE :

Ditulis Oleh: Ade Setiawan

photo from kemanajaboleh.com

Diagnosaku Bali sedang tak sehat.

Gerakan menolak reklamasi Bali begitu gencar. Timeline dipenuhi status mengenai plin-plannya pemerintah, akal bulus pengusaha, aktifis lingkungan yang diteror. Selalu ada pro kontra.

Gerakan menolak reklamasi Bali yang awalnya dimulai oleh hanya segelintir orang yang turun kejalan, sekarang makin masif. Setidaknya tiap aksi ada sekitar ratusan orang yang memperjuangkan kelangsungan lingkungan hidup mereka.Sekarang ini bahkan tak hanya aktifis lingkungan yang turut menyuarakan gerakan menolak reklamasi. Gabungan para seniman, musisi, budayawan serta warga sipil biasa turut serta mengkampanyekan gerakan ini.

Sayang, sekencang apapun teriakan mereka, telinga para pemangku kebijakan mungkin tak selebar orang-orang pada umumnya. Uang telah menyumpal lubang telinga mereka.

Lupakan semua itu. Bali, sebuah pulau dengan panorama yang indah luar biasa dan keanekaragaman budayanya tak ingin terlihat sedang sakit.

Senyum ramah mereka tetap menyambutku. Sebuah kehangatan yang ingin ditunjukan tuan rumah pada para tamunya bahwa rumah mereka baik-baik saja. Semua bekerja keras untuk menunjukan bahwa tak kan ada yang berubah dari rumah mereka.

Tentu aku tahu Bali baik-baik saja. Sinar matahari masih sehangat biasanya. Tempat ini masih “luar biasa”.
Masyarakat Banjar Kaja selalu bisa membuat tamunya betah.

“Anggap saja rumah sendiri”. Kali ini aku benar-benar bisa mengamini ungkapan khas Indonesia tersebut.

Masyarakat Banjar Kaja Kelurahan Sesetan selalu menggelar tradisi unik yang dikenal dengan “Omed-omedan”. Tradisi ini digelar setiap tahun saat Ngembak Geni yaitu sehari setelah Nyepi.

Omed-omedan dilakukan oleh pemuda dan pemudi asli Banjar Kaja Sesetan. Mereka melakukannya dengan cara tarik-tarikan hingga berciuman. Semuanya dilakukan sebagai wujud kebahagiaan di saat Ngembak Geni.

Di luar sana, bagi seorang awam, tradisi Omed-omedan identik dengan ciuman antara Pemuda Pemudi. Cap itu tak terlalu disukai Masyarakat Banjar Kaja.

Sesuai dengan kamus besar, Omed-omedan memiliki arti tarik-tarik menarik. Masyarakat Banjar Kaja menolak keras tudingan atau kesan bahwa Omed-omedan identik dengan ciuman. Omed-omedan hanya sebagai bentuk luapan kebahagiaan Pemuda-Pemudi saat melakukan Omed-omedan usai melakukan perayaan Nyepi sehari penuh.

“Dalam pelaksanaan omedan-omedan kali ini sejumlah pemuda-pemudi mengalami kerauhan atau kesurupan dalam istilah Bali usai melaksanakan tradisi Omed-omedan. Hal ini dianggap sebagai bentuk restu dari yang menaungi Pura Banjar Kaja”

Proses omed-omedan diawali dengan memisahkan pemuda dan pemudi menjadi 2 kelompok. Mereka semua mengenakan pakaian adat Bali. Peserta omed-omedan minimal berusia 13 tahun dan belum menikah.

Suasana begitu riuh dan ramai. Tak mendapat tempat bagus membuatku harus sedikit berjinjit.

Pemuda-pemudi diarak kemudian saling tarik-menarik. Beberapa di antara mereka saling berpelukan dan berciuman. Kebanyakan peserta wanita nampak malu-malu. Peserta pria justru nampak begitu antusias sehingga terkadang memancing tawa penonton.

Saat itu Raja Puri Oka sakit keras dan tak kunjung sembuh. Di luar para warga yang telah selesai merayakan nyepi mengadakan omed-omedan sehingga membuat suasana gaduh. Raja merasa terganggu dan segera keluar. Ajaibnya setelah menyaksikan acara omed-omedan tersebut sang raja justru sembuh dari penyakitnya. Sejak saat itulah raja menitahkan agar omed-omedan digelar secara rutin.

Dulu tradisi ini sempat dihentikan karena dianggap tak sesuai dengan norma ketimuran, namun saat dihentikan saat itu muncul 2 ekor babi yang berkelahi dan ketika didekati 2 babi ini tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Warga percaya hal tersebut tanda akan datangnya petaka. Karena itulah omed-omedan terus digelar hingga saat ini.

Terserah kau berteriak “Hei itu tak pantas, kita menganut budaya ketimuran!”

Kita bebas beranggapan apapun. Aku pun tak selalu dapat menerima adat budaya suatu daerah yang kukunjungi.

“Banyak adat kadang tak sesuai dengan nurani. Saat hal tersebut belajarlah berdamai dengan nurani. Jangan menunjukan gelagat tak suka. Diam dan saksikan”

Baca juga : Tradisi Sabung Ayam Bali yang Mulai Melenceng Dari Adat

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU