Kuteguk secangkir cappucino panas didepanku. Minuman yang berasal dari Austria ini merupakan salah satu minuman favoritku, selain cokelat panas tentunya.
Wanginya sangat khas, seolah memberi usapan hangat menenangkan dipunggung, apalagi ketika diminum saat hujan seperti sore ini. Siapa sangka minuman seenak ini pernah disebut minuman setan saat zaman perang salib dulu.
Ketika kuletakan kembali cangkirku diatas meja kayu tua kebanggaan ayahku ini, baru kusadari ketika ada sepasang mata menatapku, dengan raut muka seperti ingin berkata “benar apa kataku”.
Putri, seorang teman yang kerap bertandang ke rumahku sekedar untuk berbagi cerita ini memasang raut muka penuh kemenangan.
“Tebakanku benar, lagi-lagi tadi kamu mengawali ceritamu dengan kalimat,’saat aku berada di..’,” senyumnya mengembang, lesung pipitnya muncul.
Apa salahnya, pikirku.
“Kamu udah ketagihan traveling,” katanya dengan mantap.
Aku terdiam. Dalam hati sebenarnya aku membantah ucapannya, aku hanya seorang yang suka bepergian, mencari suasana baru, berkenalan dengan orang-orang baru, dan menurutku tak sampai hingga tahap disebut ‘ketagihan’.
Kalaupun memang benar aku ketagihan traveling, menurutku itu bukan sesuatu yang buruk.
“Dan bagaimana dengan dirimu? Kamu lupa siapa yang sering menemaniku traveling?” Putri memang sering menjadi teman perjalananku saat traveling.
“Aku tak se-addict dirimu,” Putri berkilah sambil menyeruput kuah mi rebus panasnya.
Menurut Putri, berdasarkan pengamatannya pada diriku, yang menurutku hanya berdasar pada kesoktahuannya, ada 7 tanda seseorang ketagihan traveling.
Seringnya bepergian dalam waktu yang lama memang membuatku jarang berada di rumah. Seperti saat agenda backpackingku ke wilayah Indonesia Timur belum lama ini. Aku sampai tak pulang ke rumah selama hampir 2 bulan. Bukan aku tak rindu dengan kedua orangtuaku, hanya saja aku merasa jika hasratku ke suatu tempat belum kutuntaskan, aku akan terus merasa gelisah. Mungkin Putri benar, tapi paling tidak aku punya prinsip, sejauh apapun kau melangkah, kau akan kembali ke tempat awal kau berasal, yaitu keluargamu.
Tak ada salahnya bukan? Aku memang selalu mencari informasi sedetail mungkin saat akan bepergian ke suatu tempat, karena rencana yang matang itu penting.
“Kau melakukannya seolah sedang membaca sebuah novel fantasi super tebal, halaman yang sama kau baca berulang kali, kau bahkan sering mengindahkan ucapanku saat kau sibuk berkutat dengan buku panduan,” Putri bicara berapi-api. Baiklah, aku tak menemukan alasan yang tepat untuk membalas argumennya.
“Kau ingat saat kita menunggu bus pulang dari kampus dan mengobrol dengan seorang pria berpenampilan parlente di halte, dimana biasanya seseorang akan bertanya kemana arah pulangnya,atau dimana tempat kerjanya, kau justru tiba-tiba bertanya darimana asal negaranya dan pria itu kebingungan?” Putri berbicara panjang lebar sembari menahan tawa geli karena kebiasaanku itu. Oke, aku cukup bisa menerima poin satu ini. Mungkin karena terbiasa berkenalan dengan orang baru saat bepergian jauh, hal ini terbawa saat aku kembali ke rumah.
“Apa kau tak ingin memasang poster artis idola atau pemain sepakbola di kamarmu seperti halnya yang dilakukan orang lain?” Putri bertanya dengan nada heran. Ya, paling tidak dengan sering memandang peta dunia dimana jarak antar negara nampak tidak terlalu jauh akan menguatkan niatku bahwa traveling keliling dunia bukan hal mustahil.
Aku memang sengaja selalu menyisakan beberapa alat bantu penting saat diperjalanan di tas ranselku agar tidak terlalu repot ketika harus bepergian lagi.
“Baiklah aku bisa memahami alasanmu, tapi kau tak perlu membawa gps saat kekampus,” Putri menimpali.
Apa yang salah dengan ini, berhemat tentu kebiasaan yang baik. Lagi-lagi Putri menyanggah alasanku, “Bedakan hemat dengan pelit, ingat kau tak perlu dan tak akan bisa menawar di minimarket, kau melakukannya seolah kau akan kehabisan bekal uang, kau lupa saat melakukan hal itu kita sedang berada di minimarket kompleks rumah?” Putri menjelaskan sambil tertawa terbahak-bahak. Aku hanya tersenyum malu saat teringat kejadian konyol itu.
Sebenarnya bukan niatku untuk menghafalkannya, semua hanya karena aku sering bepergian menggunakan jasa pesawat terbang, tentu setelah berburu tiket promo. Sekali lagi,bukan karena aku yang berniat menghafalkannya. Putri hanya mengangguk-anggukan kepalanya mendengar pembelaanku.
***
Kembali kuteguk cappucino hangatku. Putri masih sibuk dengan mie rebusnya. “Jadi, kau menerimanya, jika kusebut kau seorang pecandu traveling?” Putri mengerling kearahku.
Aku tertawa lepas, memang semua penjelasannya masuk akal. Aku sendiri hanya menganggapnya sebagai obrolan pengisi waktu luang menunggu hujan reda. Aku menyukai traveling, dan aku akan terus melangkahkan kakiku menjelajah dunia baru.