Bagai Yip Man yang menyembunyikan amarah kala masuk gerbang rumah perguruan silat Hung Chum-nam, dengan tenang dan santai saya melangkah masuk sembari menyilangkan tangan ke belakang. Mengamati pria-pria berpandangan nanar di halaman.
Mereka maju beberapa langkah. Mengepung. Saya berhenti. Ketika hendak menyerang, seorang pria tambun muncul dari pintu. Kibasan kipas dihentikan seraya mengacungkan tangan ke murid-muridnya. Perlahan ia jalan menghadap saya.
“Tiketnya 35 ribu per orang, Bang.”
Suara perempuan itu membuyarkan khayalan saya, yang baru saja tiba di halaman rumah besar dan mewah milik Tjong A Fie. Sebuah mansion berusia 115 tahun. Gerbang ala Dinasti Cina—sebagai pintu masuk pengunjung—menonjol di tepi Jalan Pemuda, Kota Medan. Di antara gedung-gedung peninggalan kolonial Belanda yang sudah beralih fungsi.
Usai membayar tiket masuk di serambi depan, saya selanjutnya dipandu Andri.
Kami masuk ke Galeri Ruang Utama. Andri memulai cerita di hadapan foto perayaan ulang tahun Tjong A Fie yang ke-60.
Tjong A Fie duduk bersama istri ketiganya memangku cucu. Dikelilingi anak-anak dan cucunya yang lain. Mayor Tjong A Fie lahir di Desa Sungkow, Canton, Cina, pada 1860. Tjong Yiaw -nama masa kecil Tjong A Fie- sudah memiliki karakter berbeda dari anak-anak seusianya.
Orangtuanya pensiun dari bisnis saat ia mulai sekolah. Membuat dia sungguh-sungguh dan penuh hasrat dalam belajar sehingga menyelesaikan studinya lebih cepat dari teman-teman sebayanya.
Usai sekolah, ia melanjutkan bisnis orangtua bersama saudaranya. Dia tekun bekerja dan tak terbiasa menghabiskan waktu untuk hal-hal yang tak perlu. Dengan kedisiplinan dan ketekunannya ia menjadi pebisnis sukses dan dihormati oleh Pemerintah Cina yang memanggilnya dengan nama Tjong Fung Nam.
Suatu hari, Tjong A Fie memutuskan untuk keluar dari kampung halamannya. Ternyata punya nama besar dan terkenal tak cukup baginya.
“Dia merasa prestasinya tidak akan meningkat jika terus menetap di desa,” demikian prinsip Tjong A Fie dalam buku biografinya.
Lantas ia merantau ke negara lain untuk mencari peruntungan. Orangtuanya pun sangat mendukung ketika ia berangkat ke Sumatera Utara melalui Deli.
Di tnaah rantau ia kembali sukses. Kedermawanan, keterbukaan, dan keramah-tamahannya membuat ia dihormati oleh Kesultanan Deli.
Setelah mendapat Gelar Chief of The Hakka Laboehan Deli pada 1886, Mayor Tjong A Fie pindah ke Medan yang saat itu masih kota kecil penuh kesenjangan masyarakat sipil. Dia lantas bekerjasama dengan Pemerintahan Belanda untuk memberikan kedamaian bagi warga.
Kata Andri, mansion Tjong A Fie ini pada masanya ialah rumah pertama di Kota Medan yang menggunakan listrik.
Namun, dia tak hanya menerangi rumahnya sendiri. Kota Medan pun ia warnai dengan pengadaan dua kuil dan satu rumah sakit bagi etnis Cina. Pun membiayai pembangunan tiga masjid di Medan, yaitu di Kampung Petisah, Sipirok Tapanuli, dan paling terkenal di Kesawan yaitu Masjid Lama Gang Bengkok. Ia juga membantu asosiasi petani dengan pendanaan melalui Deli Bank, Bank Kesawan, dan Batavia Bank.
Saya lantas dibawa masuk ke Galeri Sultan Deli, ruang tamu umum bagi orang Indonesia dan Eropa, dan ruang tamu khusus orang Cina.
Di balik ketiga ruangan itu, ada Taman Dalam berbentuk persegi. Salah satu sisinya menghubungkan saya ke altar, tempat sembahyang bagi para leluhur keluarga. Di dindingnya ditempeli poster tempat peristirahatan terakhir Tjong A Fie.
“Makamnya di mana?”
“Di Pulau Brayan. Sekitar 10 km dari Kota Medan.”
Pulau Brayan, juga salah satu lokasi kegiatan sosial Tjong A Fie. Disana, dibuatnya satu kuil selain membantu penyembuhan orang-orang yang menderita penyakit malaria.
Saya berpindah ke kiri altar. Memasuki kamar tidur utama Tjong A Fie dan istrinya. Perabotan di kamar ini seperti lemari dan tempat tidur didatangkan dari Yunani. Di dinding, Tjong A Fie muda dan istri ketiganya Lim Koei Yap yang berbalut pakaian Timur Tengah menatap saya.
Suasananya dingin dan sepi. Lekas saya keluar.
Andri kemudian membawa saya ke ruang makannya keluarga Tjong A Fie. Meja panjang bertaplak merah dikelilingi bangku-bangku kayu. Dipenuhi piring, mangkuk, cangkir, dan sendok berwarna-warni motif bunga. Semua terbuat dari keramik, kecuali sumpit. Dan satu yang harus pengunjung ingat adalah semua barang di sini tak boleh disentuh.
“Peralatan ini semua dibersihkan setiap hari, ya, setiap saat?”
Andri mengangguk.
Sejauh ini, saya disuguhi benda-benda peninggalan keluarga Tjong A Fie yang bersih, rapi, dan utuh. Begitupun saat memasuki dapur dan ruangan-ruangan di lantai dua.
Di dapur, saya terkesan dengan kayu-kayu bakar tertata di tungku api. Di lemari, tersaji cangkir-cangkir keramik kecil. Dekat sumur, tergeletak dua gilingan batu untuk buat tepung, tahu, dan bumbu. Ada pula dua pasang bakiak berwarna merah, sandal kayu yang belakangan sering saya lihat untuk ambil wudhu di surau-surau.
Di lantai dua, saya masuk ke Galeri Ruang Eropa. Ruang yang dipakai untuk pesta dansa keluarga Tjong A Fie dengan tamu-tamu Eropa saat itu. Lampu-lampu besar yang menggayut di plafonnya didatangkan dari Austria.
Dari ruang Eropa, saya melihat-lihat ruang perpustakaan. Ada satu lemari buku.
“Buku itu masih bisa dipakai?”
“Masih. Tapi itu peninggalannya anak Tjong A Fie dan dalam Bahasa Belanda.”
“Pengunjung bisa baca?”
“Bisa saja, kalau paham bahasa Belanda”
“Buku ini kebanyakan tentang apa?”
“Novel.”
Saya geser ke hadapan dua lemari dipenuhi piala-piala.
“Kalau ini piala siapa?”
“Cucu-cucunya. Kebanyakan dari juara balap mobil. Juga dari tenis, golf, dan bowling,” cerita pemandu.
Pentingkah semua itu? Bisa jadi, sangat membantu dalam memotivasi anak-cucu Tjong A Fie untuk berkarya selama hidup, sebagaimana yang telah dilakukannya.
Saya pikir sepulang dari sini saya akan mulai menghitung, berapa piala yang sudah saya koleksi di rumah.
Di ruang galeri keluarga di lantai satu, saya dapat melihat jelas silsilah keluarga Tjong A Fie. Ia rupanya anak keempat dari tujuh bersaudara. Dari tiga istrinya, ia sudah dikaruniai 11 orang anak. Semua nama cucunya pun disebutkan.
Sebuah foto besar Tjong A Fie yang dijepret menatap kamera, seakan-akan ia selalu melihat ke mana pun saya bergerak di ruang ini.
Di sisi dinding yang menghadap silsilah keluarga, dipajang lembaran “Testament”. Wasiat Tjong A Fie kepada keturunannya, yang diucapkan setahun sebelum ia hembuskan nafas terakhir pada tahun 1921.
Di seberang Ruang Galeri Keluarga, ada ruang kerja Tjong A Fie dan ruang tunggu bagi tamunya. Ini juga ruangan terakhir saya dipandu. Andri kemudian pamit dan persilakan saya untuk eksplor dan foto-foto sendiri.
“Kalau bisa tripodnya jangan dipakai di dalam rumah ini.”
“Kenapa?”
“Nanti keluarganya marah. Biasanya yang pakai tripod akan kena charge lagi sebesar 100 ribu rupiah.”
Saya hanya tersenyum dan kelak menuliskan di kolom saran buku tamu agar bebaskan tripod bagi yang ingin memotret.[]