Sejak kecil saya punya fisik lemah. Pelajaran olahraga yang mengharuskan berlari keliling lapangan beberapa putaran adalah sebuah siksaan bagi saya. Saat kelelahan, mata langsung berkunang-kunang seperti ingin pingsan.
Setelah saya mengenal dunia traveling beberapa tahun lalu, keluhan tersebut sudah berkurang. Daya tahan tubuh menjadi jauh lebih kuat.
Berjalan kaki berkilo-kilo meter, terpapar teriknya matahari, mendaki gunung ataupun berenang di laut, serangkaian aktivitas yang saya lakukan selama traveling, membuat tubuh ini terlatih dengan berbagai aktivitas berat. Sebuah manfaat yang tak saya sadari sebelumnya.
Sebagai seorang pejalan, hasrat ingin menjelajah dunia begitu kuat.
Untuk saat ini misi saya masih berkeliling Indonesia dan beberapa negara di Asia. Kedepannya saya berharap bisa menginjakkan kaki di benua Eropa, kepuasan tersendiri bila dapat berfoto di depan menara Eifel.
Demi mewujudkan mimpi itu saya mulai mencoba menghemat beberapa pengeluaran harian. Membatasi shopping ke mal, mengurangi pengeluaran untuk ke salon, sering kali menolak ajakan teman nongkrong di cafe atau makan di luar, bahkan untuk membaca buku saya memilih untuk mengunduhnya dari Google.
Selain itu, penghematan pada saat melakukan perencanaan perjalanan juga tak kalah penting. Saya biasa berburu tiket pesawat jauh-jauh hari.
Biasanya maskapai penerbangan memberikan promo tiket murah untuk penerbangan 6 bulan kedepan. Salah satunya, saya pernah mendapatkan tiket pulang pergi Jakarta – Medan dengan harga tiga ratus ribu-an saja. Harga yang sangat murah mengingat harga tiket penerbangan ke Medan pada hari-hari normal berkisar pada rentang Rp 800.000 – Rp 900.000,-.
Lakukan riset pengeluaran sebelum perjalanan, susunlah rencana biaya perjalanan mulai dari penginapan, logistik, dan tiket masuk ke objek wisata. Tujuannya untuk menentukan seberapa banyak uang yang akan saya bawa agar tidak overbudget.
Saat itu, saya dan beberapa teman bersiap akan traveling ke Belitung selama beberapa hari. Saya yang tinggal di Bekasi, berangkat 3 jam lebih awal karena takut terlambat sampai di Bandara Soekarno-Hatta. Teman saya yang tinggal di Tangerang datang lebih lambat, bahkan sangat mendekati waktu penerbangan.
Ketika saya mencoba menghubungi mereka lewat telpon seluler jawaban mereka simpel “Tenang Put, kita nggak akan telat kok”.
Alhasil mereka datang terlambat karena menyepelekan waktu. Sesampainya di loket check-in mereka ditolak oleh petugas loket dengan alasan batas waktu check-in sudah habis. Mereka harus merelakan tiket pesawat hangus begitu saja akibat kelalaian mereka sendiri. Ya mau tidak mau mereka akhirnya membeli tiket pengganti yang lebih mahal dari tiket mereka sebelumnya.
Seorang pejalan yang baik sangat menghargai waktu, karena jika meleset sedikit dari jadwal yang ditetapkan akan fatal akibatnya. Maka jangan heran jika kita sering melihat backpacker dengan tas ransel besarnya rela tidur di bandara atau stasiun. Selain untuk menghemat biaya penginapan, alasan yang paling utama adalah agar mereka tidak terlambat mengejar waktu keberangkatan.
Ada sebuah ungkapan, backpacker jangan pernah takut tersesat. Pernyataan itu bisa jadi benar. Terkadang dari kejadian tersesat justru banyak membawa hikmah, salah satunya saya menjadi lebih mahir dalam membaca peta.
Bagi saya yang hobi menjelajah kota, peta menjadi sesuatu hal yang penting. Mulai dari peta mencari penginapan yang sudah saya booking, peta jalur transportasi seperti MRT, bus atau kereta, peta lokasi tempat wisata atau peta lainnya yang berhubungan dengan perjalanan saya.
Saat saya traveling ke Singapura, saya hanya mengandalkan peta Singapura yang saya unduh dari Google untuk mendatangi tempat-tempat wisata disana. Saya harus mempelajari jalur-jalur MRT yang terdiri dari beberapa warna line, seperti misal, jika ingin ke Sentosa Island, cukup cari jalur MRT berwarna ungu untuk kemudian turun di stasiun Harbour Front. Ilmu yang saya dapatkan di jalanan.
Selain peta, terkadang saya mengandalkan GPS,. Ada sebuah aplikasi GPS offline yang ingin saya coba pada perjalanan berikutnya yaitu aplikasi Navitel Navigator. Saat saya bersama seorang kawan traveling ke Nepal, kawan perjalanan saya menggunakannya. Kami sangat terbantu dengan aplikasi ini karena di Nepal petunjuk jalan sangat minim.
Saya selalu ingat pesan orang tua saya ketika masih duduk di bangku sekolah “kalau ada yang ajak ngobrol di bus atau orang gak dikenal nggak usah diladenin ya, takutnya kamu dihipnotis”.
Sebenarnya wajar jika orang tua khawatir, apalagi saya anak perempuan. Tapi apakah semua orang yang tidak dikenal itu orang jahat? Setelah saya menjadi backpacker pemikiran saya berubah. Saya yakin masih banyak orang baik di dunia ini.
Ditiap perjalanan saya sering bertemu orang baru yang baik hati dan ikhlas menolong saya.
Pengalaman yang belum lama saya alami ketika saya bepergian seorang diri ke Pulau Samosir. Saya tiba terlalu larut sekitar jam 10 malam. Saya sudah memesan penginapan di daerah Tuktuk, sementara penyeberangan paling malam hanya sampai ke Tomok. Jarak dari Tomok ke Tuktuk sekitar 30 menit jika naik ojek, namun karena sudah terlalu malam sehingga tak ada ojek sama sekali.
Saya hanya bisa berdoa semoga ada yang bisa menolong. Doa saya dikabulkan. Ada seorang bapak tua yang saya temui di kapal penyeberangan.
‘Adik mau kemana? Kapal ini cuma sampai Tomok saja. Kalau adik mau bisa ikut saya, kebetulan rumah saya di daerah Tuktuk, saya bawa kereta (sepeda motor).’
Antara yakin dan tidak, tapi entah kenapa nurani saya berkata bapak tua itu tulus ingin menolong. Benar saja dia mengantar saya sampai ke penginapan dengan selamat tanpa minta biaya sepeser pun.
Saya tidak menyarankan untuk mudah percaya begitu saja dengan orang yang baru dikenal.
Setidaknya kita bisa menganalisa dengan bijak mana orang yang berniat baik mana yang berniat jahat karena saya yakin pada dasarnya semua orang itu baik.
Dengan seringnya berinteraksi dengan orang baru membuat intuisi saya makin terasah.
***
Pergilah ke tempat yang kau inginkan, maka kau akan menemukan siapa dirimu sebenarnya