Gema selawat jamaah shalat Subuh baru saja berhenti terdengar dari toa masjid di Kota Banda Aceh. Namun ayam masih berkokok. Di teras, saya mengencangkan tali sepatu sport. Pagar rumah masih berembun saat saya membukanya. Jalan lorong lengang. Saya mulai berlari-lari kecil.
Saya tak memutar musik dari smartphone yang saya selipkan dalam tas kecil. Mendengar alam bernyanyi itu lebih sehat dan menyenangkan. Burung pingai, bondol haji, pipit, dan swallow, berkicau dari pucuk-pucuk pohon di tepi jalan lorong, hingga saya mencapai bantaran Krueng Lamnyong. Pun jangkrik yang diam-diam beroskestra dari semak-semak di tepi jalan.
Dari halaman rumah-rumah, pembantu atau mungkin seorang ibu rumah tangga, menyeret sampah dengan sapu lidi.
Di kejauhan, anjing mengaum. Hanya satu ekor saja, tidak seperti pagi yang saya lalui di Dataran Tinggi Gayo.
Giliran saya tiba di bantaran Krueng Lamnyong, ikan menyundul permukaan sungai di tepi trek yang saya lalui, menghasilkan bunyi gelepar.
Angin bertiup, bersiul, sepanjang saya berlari atau berjalan. Hal yang mungkin tak saya dapat jika tak joging sebelum matahari muncul.
Langit jingga biasa saya pandang saat matahari tenggelam di barat Kota Banda Aceh. Di timur kota ini, kanvas berwarna kulit jeruk itu juga tergelar sehabis Subuh. Saya memilih jalan kaki ketika warnannya merekah. Menikmati pantulan cahayanya di permukaan Krueng Lamnyong yang lebar, dengan satu-dua lampu bangunan di seberang sungai masih menyala.
Saya terus berjalan kaki di atas trek tanah padat namun basah oleh embun. Tatapan terus menoleh ke timur hingga beberapa menit.
Saat seperti ini, saya kadang berhenti untuk memotret dengan smartphone atau duduk di atas rumput lembap untuk melayangkan pandang ke cahaya kuning di ufuk timur. Menatap puncak Gunung Seulawah Agam diselimuti kabut di selatannya.
Pada momen seperti ini pula, berkelompok bangau putih terbang di atas permukaan sungai. Bermigrasi menuju arah selatan. Mereka mulai beraktivitas bahkan saat kebanyakan manusia belum keluar rumah.
Hangat sinar mentari mengusap sepasang mata saya yang tertutup. Saya mulai mengingat salah satu meditasi sederhana ala Adjie Silarus dalam bukunya Sejenak Hening.
Saya tarik nafas dalam-dalam. Kedua bahu ikut terangkat. Kemudian tersenyum dan menahannya. Meresapi angin yang bertiup dari sekeliling, kicau burung dari pohon cemara di belakang saya, dan kendaraan yang mulai berderu di Jembatan Lamnyong dan Jembatan Krueng Cut. Perlahan saya keluarkan nafas sementara kedua bahu ikut turun.
Saya mengulangnya beberapa kali. Di sesi akhir, menjelang membuka mata, saya mendongak. Gugus awan menyebar di langit biru. Saya tersenyum, bahagia. Bersyukur karena Allah masih izinkan saya menjalani hidup pagi ini.
Matahari bersinar, saat itu pula flora dan fauna mulai menggeliat. Pepohonan cemara berjejer di tepi trek joging, seperti kumpulan pohon natal di luar negeri. Pun trembesi dengan daun-daun kecilnya yang hijau dan kuning.
Di antara pepohonan itu, bertengger dua kelompok burung. Saya cuma kenal jenis pipit. Satu kelompok lagi, yang hinggap di cemara agak gersang, ada burung yang tampaknya seperti bondol haji dengan kepala putih tapi bertubuh lebih besar. Biarlah ahli burung datang ke sini untuk melihatnya.
Di bawah, ada banyak spot yang disinggahi burung gereja alias pingau. Mereka selalu terbang saat saya dekati. Jelas saya bukanlah pawang burung.
Beda sekali ketika saya duduk berlama-lama di antara tanaman Mimosa pudica. Saya menyentuh dedaunannya yang mekar sempurna. Seketika menjadi kerdil, menyatu dengan tangkai.
Saya mulai larut dengan tanaman berdaun aneh itu, Putri Malu. Namun di balik ‘sifat malu’, tanaman yang batangnya berduri itu juga mengeluarkan bunga yang anggun: bunga bulat seukuran ujung jari dengan bulu-bulu warna merah jambu.
Saya meninggalkan jogging track di bantaran Krueng Lamnyong dengan memotong jalan kota yang belum macet. Jangan sampai larut dalam kenikmatan pagi, karena kehidupan masih berlanjut. Alasan inilah yang menyebabkan saya kemudian lebih suka joging sebelum pagi.
Dengan begitu, saya tiba rumah saat orang lain mungkin sedang mandi dan sarapan–sebelum memulai aktivitas. Bahkan kawan saya masih tertidur saat saya masuk rumah.
Saya benar-benar mencapai klimaks dari aktivitas ini, ketika keringat lantas berhenti keluar dari pori-pori tubuh, sementara jiwa saya mengeluarkan semangat untuk menikmati hidup.