9 Hal yang Akan Membuatmu Merindukan Dataran Tinggi Gayo, Aceh

Pesona Dataran Tinggi Gayo - Aceh, meninggulkan relung rindu mendalam di hati.

SHARE :

Ditulis Oleh: Makmur Dimila

Foto oleh Zyrki Marfandi

Dataran Tinggi Gayo memberikan saya banyak kenangan yang sulit dilupakan. Saya selalu ingin pergi setiap ada kesempatan ke daerah dingin di Provinsi Aceh itu.

1. Bangun pagi lebih cepat dari biasanya

Saya menghabiskan malam pertama di Gayo dengan berbaring di atas kasur yang terasa bagai es batang.

Padahal saya sudah membalut tubuh dengan tiga lapis baju termasuk jaket. Selimut tebal yang diberikan saudara sepupu saya kemudian mampu memejamkan mata saya.

Namun, malam, bukan waktu paling dingin di sini. Subuh adalah waktu paling dingin. Saking dinginnya membuat saya terjaga dari tidur pukul 5 pagi. Lebih cepat dari setelan bunyi alarm. Hal yang langka bila saya tidur di rumah di Banda Aceh.

2. Kopi yang tak pernah panas

Saya keluar rumah menikmati pegunungan di sekitar Gampong Toa, Kayu Kul. Sepupu saya menghidangkan secangkir kopi Arabika Gayo saat saya duduk di balai depan rumah.

Saat bersamaan, kabut mulai turun, membuat saya larut menikmatinya. Menikmati kabut cukup menyenangkan karena saya jarang menemuinya di kota.

Cepat minum, sebelum dingin,’ anjur sepupu saya.

Saya tak langsung menyesap kopi yang menebarkan aroma khas itu.

Saya masih asyik menikmati kabut. Beberapa warga lokal, yang kebanyakan berkulit putih seperti bule, lalu-lalang berkendara..

Ketika meneguk kopi, saya terkejut kopi yang disuguhkan tak lagi panas. Hanya selang beberapa menit setelah sepupu saya mengingatkan untuk segera menyesapnya.

Sekadar saran, jika berkunjung ke daerah ini dan disuguhi minuman panas, segeralah minum. Dinginnya suhu disini membuat apapun minuman panas yang disuguhkan akan segera dingin, sehingga kenikmatan minuman berkurang.

3. Mandi pagi di sungai

Hawa dingin yang tak pernah hilang, membuat saya enggan mandi pada awalnya.

Suatu pagi, sepupu saya bilang, ‘lawanlah dingin dengan dingin.’

Sepupu saya, Boy, mengajak saya mandi di sungai. Saya kira dia bercanda, ternyata tidak. Ia serius!

Sungguh ia menyeret saya ke Sungai Uneng, tak jauh dari rumah saudara.

Saya beranikan diri masuk ke sungai setelah melihat Boy dengan tenangnya menceburkan diri. Rasanya bagai masuk dalam kulkas.

Analisa sok tahu saya, rumus matematika, ‘minus dikali minus sama dengan plus’ berlaku disini!

Meski pada awalnya terasa sangat dingin, namun lama kelamaan air terasa hangat. Ternyata, mandi di sungai tak seburuk yang saya kira.

4. Muniru di malam hari

Warga Dataran Tinggi Gayo yang saya perhatikan selama di Kabupaten Aceh Tengah dan daerah Bener Meriah, hidup bersahabat dengan alam.

Dalam remang malam, beberapa pria paruh baya di Kampung Dedingin, Kute Panang, berjongkok melingkari api unggun. Mereka menyebut kegiatan mereka dengan ‘muniru’.

Mereka telungkupkan kedua tangan ke atas tumpukan kayu yang dilalap api. Saya dipanggil oleh salah satu dari mereka, untuk melakukan muniru agar tak kedinginan.

Sesaat menghadapkan kedua perut tangan ke api unggun, saya menariknya lantas mengusap bagian tubuh saya yang terbuka: leher dan pipi.

Cukup manjur untuk melawan dingin. Saya kembali menjulurkan tangan dan demikian seterusnya, sembari bertukar cerita dengan mereka.

5. Rumah sederhana dengan halaman ditumbuhi palawija

Saat berkendara beberapa kali dalam kampung-kampung di Bener Meriah dan Aceh Tengah, saya baru menyadari jika ternyata gaya rumah warga lokal disini seragam!

Rumah-rumah semi permanen berjejer di lembah-lembah, bukit-bukit, perkebunan kopi dan tebu, maupun persawahan.

Di halaman kebanyakan rumah, tumbuh kopi, jeruk, alpukat, labu jepang (siam), terong belanda, petai, jengkol, atau dan buncis.

6. Masyarakat yang ramah dan setara

Warga Gayo pun tampil sederhana dan setara.

Saya tak menemukan pejabat berpakaian ala pejabat dan masyarakat berpakaian ala masyarakat.

Semuanya sama, kecuali di acara-acara resmi seperti saya lihat di pesta perkawinan atau seremonial even pemerintah. Cuma remaja yang berpenampilan urban.

Di Pasar Pagi, Lut Tawar, suatu pagi tahun 2014, sulit saya bedakan mana pembeli atau penjual bila dilihat dari cara mereka berpakaian. Semua kenakan jaket bertopi, mengalungkan sarung di badan, dan bertopi kupluk.

7. Joki cilik pacu kuda

Bocah-bocah cilik mencambuk kuda yang ditungganginya agar berlari kencang.

Tiba-tiba kuda melaju secepat kedipan mata saya, ketika suatu kali saya menyaksikan balapan kuda tradisional dengan berdiri di pagar lintasan pacuan kuda Lapangan Belang Bebangka, hanya menyisakan kepulan debu.

Saya harus menunggu putaran selanjutnya untuk kembali menikmati kecepatan bocah itu memacu kuda, bahkan, tanpa menggunakan pelana.

Seorang warga bilang, joki usia belasan tahun itu sengaja tak pakai pelana agar tak terseret kuda seandainya terjatuh.

8. Anjing menggonggong, malam berlalu

Saya selalu disambut gonggongan anjing saat masuk ke kampung-kampung. Anjing piaraan yang menatap saya dari halaman rumah majikannya.

Saat malam tiba di Gayo, saya sulit memejamkan mata. Bukan karena takut, namun memang karena tak bisa tidur akibat gonggongan anjing yang tak henti-henti.

Begitu pula saat pagi, beda dengan di kampung halaman saya, dimana biasanya kokok ayam menandakan pagi datang, gonggongan anjinglah suara pertama yang saya dengar saat bangun pagi.

9. Asyiknya berburu baju monja

Usai memenuhi kerjaan kantor, saya paksa kawan untuk menunjukkan Pasar Monja.

Senangnya saya begitu tiba di deretan lapak pakaian impor, letaknya di sela-sela pasar pakaian di Kota Takengon.

Jaket dengan merk-merk ternama digantung dan ditumpuk di dalam toko dengan suasana kumuh.

Seorang penjual merelakan saya mengubek baju-baju yang masih tersimpan dalam karung besar. Saya mencari baju outdoor merk terkenal semisal Columbia, Rei, Marmot, dan juga TheNorthFace, atas saran kawan saya yang lama berkecimpung di dunia travel.

Saya tersenyum puas begitu mendapati TheNorthFace, meski ternyata setelah saya keluar dari toko tersebut saya mendapati sebuah lubang cukup besar di salah satu sisinya.

Keesokan hari saya datangi Pasar Monja di Asir-asir. Di sana, di pinggir jalan kecamatan, beberapa toko tampak lebih bersih.

Baju beragam model dan merk memenuhi seisi toko. Tapi akhirnya saya hanya berhasil mendapatkan kemeja Tom motif kotak-kotak merah tua, kemeja Ralph Lauren putih-biru berlogo pemain polo, dan satu baju anti-hujan ringan dengan brand BMW.

Macam pengusaha kamu pakai baju Polo itu, beli di mal ya Rp 500.000,-?‘ tanya seorang teman kantor.

Enggak, ah. Cuma Rp 100.000,- saya beli di Pasar Monja, Takengon.’

activate javascript
SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU