Sering melakukan perjalanan seorang diri membuat saya sedikit banyak lebih memerhatikan lingkungan sekitar. Berdasar pengamatan, ada hal-hal mencolok yang menjadi pembeda antara turis lokal dengan turis asing. Memang nggak mutlak, tapi kebanyakan dari mereka melakukannya.
Berikut adalah beberapa hal yang lebih sering dilakukan turis asing ketimbang turis lokal, yang mungkin bisa jadi pembelajaran untuk kita supaya lebih total menikmati perjalanan.
Saat sedang makan di resto ataupun di kendaraan, kita lebih senang memainkan gadget atau memeriksa akun jejaring sosial ketimbang berinteraksi dengan teman. Sangat berbeda dengan yang dilakukan para turis asing, saat sedang tak beraktivitas, mereka lebih senang membaca buku.
Saya pernah ditertawakan oleh mantan teman kantor karena membawa buku saat traveling. “Kok, jalan-jalan tapi bawa buku?”
Kalau ingat Jogja, pasti selalu maunya berfoto di Tugu Jogja, plang nama Jalan Malioboro atau segala hal-hal yang sedang tren.
Turis asing mungkin melakukan itu, namun berfoto di tempat ikonik tak pernah menjadi tujuan utama mereka.
Mereka lebih senang berbaur dengan masyarakat, meresapi kearifan lokal, menyusuri perkampungan, sangat antusias untuk melakukan kegiatan tradisional dan tak sekadar mengejar untuk bisa berpose di tempat-tempat ikonik.
“Sendiri aja?”
Pertanyaan ini beberapa kali dilontar ke saya ketika melakukan perjalanan sendirian.
Kita, turis lokal memang identik dengan traveling berjamaah dan jarang traveling sendirian. Malah, kalau jalan-jalan sendirian dianggap aneh. Sangat berbeda dengan turis luar yang menganggap traveling sebagai “me time”.
Keunggulan solo traveling adalah mengharuskan mereka melakukan kontak dengan penduduk lokal dan orang yang tidak dikenal. Secara tidak langsung ini menambah pertemanan, bertemu dengan orang-orang baru dan belajar lebih mandiri.
Pembelajaran lain yang bisa kita dapatkan dari gaya traveling orang luar adalah tinggal di sebuah tempat dalam waktu lama. Alasannya, tentu saja untuk lebih meresapi pengalaman tradisional di sana. Berbeda dengan turis lokal atau kita sendiri lakoni, dalam sebuah perjalanan kita kerap berpindah-pindah supaya dapat memenuhi semua list destinasi.
Terkadang butuh spontanitas untuk menikmati sebuah perjalanan dan ini yang sering kita sebagai turis lokal lupakan. Kita terlalu terpaku dengan list dan destinasi. Berbeda dengan turis luar yang kerap melakukan spontanitas. Ya, mungkin suatu ketika mereka bisa tiba-tiba menjadwalkan akan bepergian ke Jogja atau Ubud selama 10 hari. Ada beberapa tempat yang masuk ke dalam list tapi ada juga hari-hari kosong dimana mereka tidak menjadwalkan apa-apa melainkan menunggu “takdir” akan membawa mereka kemana atau hanya sekadar santai di penginapan.
Yang pertama sering kita lakukan begitu sampai di sebuah tempat wisata adalah update status, selfie serta aktivitas-aktivitas media sosial lainnya. Sadarkah kita, justru hal-hal ini jadi mengurangi esensi dari perjalanan? Kita lebih fokus mengambil angle yang oke untuk pose yang akan ditampilkan di medsos ketimbang menikmati pemandangan di depan mata.
Berbeda halnya dengan turis asing yang benar-benar memaksimalkan sebuah perjalanan.
Oke, gadget memang mereka bawa tetapi bukan sesuatu yang harus terus dipegang selama perjalanan. Turis asing lebih memilih mengabadikan pemandangan lewat mata ketimbang kamera.
Semangat traveling memang jauh membumbung tinggi pada diri turis asing. Bayangkan tak jarang anak kuliahan saja melancong sampai ke negeri tropis! Selain memang mata uang mereka lebih tinggi sehingga jauh memungkinkan namun tetap saja anak-anak kuliah di sana menabung penghasilan part time mereka untuk berlibur.
Bahkan ada yang sengaja jadi volunteer di Indonesia demi melancong. Jadi pengalaman edukasinya dapat, kesempatan untuk mengunjungi negeri lain pun diperoleh. Keuntungan double, bukan?
Sebisa mungkin meminimalkan buah tangan. Bukannya pelit juga sih, tapi secara ada banyak tempat yang mau didatangi, tas yang dibawa hanya carrier, tentu saja mereka berpikir untuk memaksimalkan tas yang seadanya tersebut.
Kemudian, tentu saja uangnya bisa digunakan untuk plesir ke tempat lain ataupun uang untuk penginapan atau makan misalnya. Jadi, biasanya oleh-oleh yang mereka beli memang khas daerah setempat atau sekadar kalung/gelang sebagai pertanda kalau sudah pernah berkunjung ke sana.
Mereka sangat tertarik dengan makanan lokal suatu daerah. Contoh ketika saya bertemu bule di Jogja, mereka sangat antusias bertanya soal angkringan. Mencoba gorengan dan ceker ayam—walaupun mereka terkejut juga kenapa ceker ayam sampai dimakan.
Keberanian dan semangat mencoba makanan lokal dari para turis asing patut kita tiru. Orang luar saja menghargai makanan Indonesia, masak kita justru lebih memilih makanan cepat saji ataupun western food?
Akui saja, kadang kita bisa menjadi lebih “tamu” di negeri sendiri ketimbang para turis asing. Terkadang hal-hal yang kita anggap sedang hit justru menurut para turis luar sudah ketinggalan, mereka lebih up date soal destinasi yang masih jarang dikunjungi ketimbang kita.
Bahkan soal harga penginapan atau oleh-oleh mereka lebih tahu pasti kisarannya berapa. Kelebihan mereka yang lain adalah soal riset mengenai tempat yang akan dituju, nggak hanya googling saja tetapi juga bertanya langsung ke teman-teman yang sudah pernah datang. Jadi informasinya benar-benar akurat.
Pasti sering dengar kan istilah traveling supaya buang galau atau traveling karena patah hati,? Sebenarnya nggak masalah sih, sah-sah aja kok melakukan perjalanan untuk mengobati patah hati. Siapa tahu ketemu jodoh, hahay! Namun, alangkah lebih baik lagi bila kita menjadikan traveling sebagai ajang pembelajaran.
Para turis luar menjadikan traveling sebagai ritual. Mereka benar-benar memanfaatkan libur musim panas ataupun musim dinginnya untuk berjalan-jalan. Liburan memang jadi kebiasaan untuk re-charge supaya nggak stress. Jadi, bukan stress dulu baru traveling.
Turis asing lebih bisa menempatkan diri dimana dia datang. Ke pantai busananya seperti apa, ke gunung bagaimana, ke pasar tradisional, sepedaan mengelilingi desa dan lain-lainnya. Selain tahu menempatkan diri dalam berbusana, mereka juga lebih minim fashion ketika sedang melancong.
Karena memang pada dasarnya tahu tujuannya untuk jalan bukan fashion show jadi seadanya saja. Nggak perlu bawa-bawa pakaian yang ribet berbahan berat yang hanya memenuhi tas dan bikin berat. Lucunya, gaya minimalis para turis luar ini tetap terlihat keren, mungkin soul dan spirit berkelana mereka terpancar ya.
Walaupun secara dari warna kulit dan rambut jelas berbeda namun para turis asing ini berusaha sebisa mungkin berbaur dengan penduduk lokal. Ini yang patut diacungi jempol dan kita tiru, nih! Contohnya, menggunakan tranportasi umum seperti Trans Jakarta/Trans Jogja, bajaj yang walaupun sedikit ribet dan makan waktu mereka dengan rela melakukannya.
Karena memang hanya dengan itulah kita bisa merasakan dan masuk ke kehidupan penduduk lokal dan mengerti kebiasaan mereka. Hal-hal yang nggak bakal ditemui kalau menggunakan kendaraan pribadi.
Saya sendiri kadang merasa malu bila salah mengucapkan lafal ketika bahasa Inggris. Duh, kira-kira saya udah bener nggak nih ngomongnya, ngerti nggak ya si bule? Kelebihan dari para turis luar adalah berani salah dan mau belajar ketimbang nggak mencoba sama sekali. Ya, mereka muka “tembok”.
Mereka dengan semangatnya mencoba belajar bahasa lokal dengan logat yang bagi kita terdengar lucu. Namun semangat inilah yang membuat mereka bisa menyerap banyak bahasa di tempat-tempat yang mereka datangi. Karena apa? Karena mereka mau belajar berkomunikasi dengan bahasa lokal. Patut dicoba nih!