Ngayau atau kayau adalah tradisi berburu kepala yang dilakukan suku Dayak, Kalimantan. Dalam bahasa Dayak sendiri kayau memang berarti musuh. Dengan kata lain, ngayau berarti berburu kepala musuh.
Sebuah buku karya Carl Bock, berjudul The Head Hunters of Borneo yang diterbitkan di Inggris pada tahun 1882 menyumbang pengetahuan bagi warga dunia tentang Suku Dayak yang ternyata malah menumbuhkan citra buruk Suku Dayak sebagai ‘orang-orang pemburu kepala’.
Awal pembuatan buku tersebut memang terinspirasi dari data lapangan pada masa itu. Miller salah satu penjajah Indoneseia juga pernah menulis dalam Black Borneo tentang hal ini. Namun, perburuan kepala ini hanya dilakukan saat Suku Dayak merasa terancam atau saat musuh mengganggu mereka.
Menurut Carl Bock dalam buku yang ditulisnya dengan judul The Head Hunters of Borneo, dulu jika ada orang asing yang memasuki hutan kekuasaan suku Dayak tanpa izin akan diburu kepalanya. Penebasan kepala musuh sendiri dilakukan karena mereka percaya cara ini akan menghindarkan dari gangguan roh jahat yang ada di dalam diri musuh.
Tak semua suku Dayak melakukan tradisi berburu kepala, hanya suku tertentu saja seperti Suku Dayak Ngaju, Kenyah, dan Iban.
Tradisi ngayau bagi Suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah dilakukan untuk kepentingan upacara Tiwah. Ritual tiwah sangat sakral dan penting dalam mengantar jiwa seseorang ke tingkat kehidupan selanjutnya. Masyarakat Dayak Ngaju percaya apabila mereka belum melakukan prosesi tiwah bagi keluarganya, arwah orang yang meninggal akan tetap berada di dunia dan tidak dapat menuju ke tempat asal.
Itu sebabnya, bagi masyarakat Dayak Ngaju, mengadakan ritual tiwah wajib hukumnya, terutama apabila almarhum masih menganut kepercayaan Kaharingan. Mereka yang melakukan ritual ini biasanya mengincar lelaki adat yang kuat berkelahi. Konon, semakin kuat buruannya, ritual Tiwah akan berlangsung dengan lancar.
Sedangkan untuk Suku Dayak Kenyah, tradisi ngayau berkaitan dengan tradisi Mamat. Para prajurit yang telah kembali dari perburuan dan kalahkan musuhnya disambut dengan tradisi Mamat Bali Akang yang amat keramat. Dengan iringan alat musik tradisional seperti sampe, gambangan kayu, para perempuan suku dayak Kenyah menyambut para pahlawan itu dengan tarian penyambutan Datun Julud.
Sedangkan untuk Suku Dayak Iban, tradisi berburu kepala disebut Gawai. Upacara ini tidak hanya bersifat religius, tetapi juga melibatkan pesta besar-besaran dengan minum-minuman dan bersenang-senang.
Meski demikian, tradisi mengerikan dari beberapa suku Dayak ini sudah lama ditinggalkan. Di tahun 1874, Damang Batu, Kepala Suku Dayak Kahayan berhasil mengumpulkan sub-sub Suku Dayak untuk mengadakan musyawarah bernama Tumbang Anoi.
Pada perjanjian tersebut, semua suku Dayak sepakat untuk mengakhiri tradisi ngayau karena dianggap menimbulkan perselisihan diantara suku Dayak. Namun, setelah sekian lama dilupakan, ritual Ngayau menggegerkan Indonesia pada Februari 2001 di Sampit, Kalimantan Tengah.
Kala itu, Suku Dayak bentrok dengan pendatang Madura di Sampit, golongan yang dipandang menguasai sumber daya ekonomi dan hidup eksklusif. Di puncak kemurkaan mereka, tradisi kayau atau penggal kepala lahir kembali.
Hasilnya, ratusan korban tanpa kepala berjatuhan tanpa pandang bulu. Ribuan pendatang Madura di Kalimantan Tengah tak henti diburu nyaris sepanjang tahun. Situasi diperburuk dengan keahlian khas Suku Dayak yang konon, mereka bisa mengenali aroma tubuh orang Madura yang disebut-sebut mirip bau sapi.
Kini, tradisi ini bisa dilakukan kembali atas permintaan khusus namun mengganti perburuan kepala manusia dengan memenggal kepala hewan seperti babi.