Terhitung sudah lebih dari dua bulan seluruh tempat wisata di Indonesia berhenti beroperasi karena wabah virus corona (Covid-19). Penutupan ini sengaja dilakukan untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19 agar tidak semakin meluas. Meskipun demikian, penutupan ini seharusnya bisa menjadi momen untuk menata ulang tempat wisata di Indonesia sehingga saat dibuka siap untuk menyambut wisatawan.
Setelah masa pandemi Covid-19 ini selesai, diprediksi akan ada perubahan tren pariwisata. Dilansir dari kompas.com, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) menyebutnya dengan era New Normal. Dalam era tersebut, wisatawan akan lebih memperhatikan protokol wisata terkait kesehatan, keamanan, kenyamanan, sustainable and resposible tourism, authentic digital ecosystem, dan lainnya.
Dinukil dari kompas.com, Staf Ahli Bidang Pembangunan Berkelanjutan dan Konservasi Kemenparekraf, Frans Teguh menyebutkan penataan ulang tempat wisata tersebut terkait dengan pariwisata berkelanjutan. Frans menjelaskan bahwa pedoman untuk membangun pariwisata berkelanjutan sudah terdapat dalam panduan yang dikeluarkan oleh Global Sustainable Tourism Council (GSTC).
Indonesia sendiri juga telah membentuk Indonesia Sustainable Tourism Council (ISTC), hasil dari koordinasi aktif antara Indonesia dan UNWTO. Pemerintah melalui Kemenparekraf memiliki pedoman dan penerapan pariwisata berkelanjutan dalam Permenpar Nomor 14 tahun 2016 tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan. Usaha ini diharapkan dapat menumbuhkan Sustainable Tourism Destination di berbagai daerah.
Pariwisata berkelanjutan adalah konsep mengunjungi suatu tempat wisata dan berusaha membuat dampak positif terhadap lingkungan, masyarakat, dan ekonomi. Yang mencakup pariwisata berkelanjutan dalam hal ini yaitu transportasi utama ke lokasi umum, transportasi lokal, akomodasi, hiburan, rekreasi, makanan, dan belanja. Pariwisata dapat dikaitkan dengan perjalanan untuk liburan, bisnis, dan VFR (mengunjungi teman/kerabat).
Tanpa adanya perjalanan maka tidak akan ada pariwisata. Oleh karena itu konsep pariwisata berkelanjutan erat kaitannya dengan konsep mobilitas berkelanjutan. Pertimbangan yang relevan saat ini adalah ketergantungan pariwisata pada bahan bakar fosil dan dampak pariwisata pada perubahan iklim. 72 persen emisi karbon dioksida dari pariwisata berasal dari sektor transportasi, 24 persen dari akomodasi, dan 4 persen dari kegiatan lokal.
Jawabannya satu, pariwisata berkelanjutan adalah kunci dari pariwisata massal. Pariwisata berkelanjutan tidak hanya penting untuk lingkungan dan masyarakat lokal saja. Sebab dari hasil survei Booking.com pada April 2019 lalu diketahui bahwa 72 persen wisatawan percaya harus mulai bergerak dan memilih wisata berkelanjutan. Terdapat 55 persen wisatawan global lebih memilih wisata berkelanjutan namun terkendala informasi.
Dengan kata lain, mengusung konsep pariwisata berkelanjutan terlebih setelah pandemi Covid-19 yang menjadi momok selesai, tidak hanya akan menjaga lingkungan, sosial dan budaya, serta dampak ekonomi lokal saja, namun juga dampak ekonomi yang lebih besar berskala nasional. Jika Indonesia menolak melakukan penataan ulang ini, bukan tidak mungkin kalah dengan negara lain dan menjadi tidak diminati.