Supir Truk yang Menguliahkan Putrinya Keluar Negeri

Pertemuan dengan seorang supir truk di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi mengajarkan tentang arti perjuangan. Usaha keras tak akan mengkhianati.

SHARE :

Ditulis Oleh: Shabara Wicaksono

Suasana sangat kacau. Semua orang saling dorong. Orang yang turun berpapasan dengan gelombang penumpang yang akan naik kapal.

Jangan dorong, woi!’ Terdengar teriakan-teriakan diikuti nama-nama binatang.

Tak ada lagi tata krama, sopan santun, aturan atau apa pun saat ini. Yang muda mendorong yang tua, yang tua memaki yang muda, anak kecil menangis, saya pindahkan ransel ke depan dan memeluknya erat. Saat seperti ini sangat rawan copet.

Di depan saya seorang bapak tua bertubuh kurus mengangkat kardus besar seukuran hampir setengah tubuh di bahunya terlihat sangat kewalahan. Saya perhatikan jalannya sempoyongan. Tiba-tiba dia terhuyung mulai kehilangan keseimbangan. Sigap saya menopang punggung di bapak tua sebelum terpeleset.

Terima kasih, Mas,’ si bapak tersenyum sembari membetulkan posisi kardusnya.

Melihatnya saya langsung teringat dengan bapak saya di rumah. Saya tawarkan untuk membantu mengangkat kardusnya sampai bawah tangga.

Si bapak sempat ragu, mungkin curiga pada saya yang tiba-tiba menawarkan membawakan barang. Agar yakin, saya berikan ransel saya yang hanya berisi baju untuk dibawakannya. Tanpa menunggu respon dari si bapak saya langsung merebut kardusnya dan mengangkatnya karena suasana semakin kacau. Si bapak membawakan ransel saya.

Setelah sampai bawah, hujan turun. Kami berlari menuju warung makan kecil yang nampak di kejauhan.

Terima kasih banyak, Mas,’ si bapak memberikan beberapa lembar tisu untuk sekadar mengeringkan wajah dan kepala saya.

Karena lapar, kami sekalian memesan makan dan teh manis hangat.

Bapak mau kemana?’ saya membuka pembicaraan.

Surabaya, Mas ke kos putri saya. Dia mau wisuda, dan segera berangkat ke Belanda minggu depannya. Saya mau mengantar barang-barangnya yang tertinggal di rumah,’ si bapak menyesap teh hangatnya.

Kenapa nggak pakai jasa antar barang saja, Pak?’

Saya mau sekalian ketemu Mas, nanti di sana sekalian mau memasakan ayam kecap favoritnya. Katanya harus saya yang masak, kalau yang lain rasanya beda,’ jawabnya sambil terkekeh.

Saya tersenyum kagum. Tak banyak pria paruh baya pintar dan mau memasak. Si bapak terlihat sederhana, cara bicaranya sangat lugu. Dia bercerita panjang lebar tentang putrinya yang bisa berkuliah di luar negeri tanpa mengeluarkan sepeser uang pun. tak ada kesan angkuh samasekali di nada bicaranya. Sehari-harinya si bapak  bekerja sebagai supir truk. Dia sengaja mengambil cuti 1 minggu dan rela gajinya dipotong demi bisa bertemu dengan putrinya tercinta.

Tiba-tiba dia mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sebuah jas yang nampak masih baru.

Bagus nggak, Mas? Kalau wisuda pakai jas seperti ini bagaimana?’ si bapak bertanya dengan lugunya.

Bagus, Pak, gagah!’ saya mengacungkan jempol.

Si bapak kembali terkekeh. Saya suka kekeh tertawanya, polos dan lepas.

Saya takut kalau malu-maluin putri saya, Mas. Dulu pernah cerita kalau temannya ada yang anak pejabat, makanya saya pesan jas yang bagus ke penjahit tetangga saya. Masa saya datang pakai kemeja lusuh begini,‘ si bapak mengepak kembali bajunya.

Saya masih diam mendengarkan. Si bapak berkata dirinya tak menyangka bisa menyekolahkan anaknya hingga selesai, bahkan sampai keluar negeri.

Putri saya itu dulu bandel minta ampun. Mau saya sekolahkan malah sempat nangis nggak mau, katanya nanti mau bayar pakai apa, malu juga katanya. Saya ini memang orang bodoh, nggak pernah sekolah, tapi saya tahu pendidikan itu penting, karena itu mau bagaimana caranya dia harus sekolah,’ si bapak bercerita sembari terus melahap pisang goreng yang tersaji didepannya.

Saya diam. Bukan tak tahu harus membalas apa, namun kata-kata yang tersusun sangat susah keluar dari tenggorokan haru mendengar cerita perjuangan si bapak menyekolahkan putrinya.

Dulu saya juga nggak tahu bagaimana dapat biaya buat menguliahkan putri saya, saya cuma mikir yang penting usaha dulu, pasti ada jalan. Nggak nyangka bisa selesai juga Mas.

Pemilik warung mengantarkan mi rebus pesanan kami.

‘Mari Mas, makan dulu, saya yang bayar tenang,’ kembali si bapak terkekeh.

***

Hanya karena membantu membawakan kardus saya mendapatkan banyak pelajaran berharga.  Untuk mendapat pengalaman baru di jalan, terkadang kita hanya perlu “mau” mendengarkan.

Saat kamu berbicara, kamu hanya mengulang sesuatu yang kamu tahu, saat kamu diam dan mau mendengar, kamu akan mendapat hal yang mungkin tak pernah kau tahu.

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU