Sejarah Suku Tidung yang Dikira Cina, Sub-Etnis Suku Dayak yang Muslim

Sejarah Suku Tidung Tarakan berkaitan erat dengan Kesultanan Bulungan besar yang pernah berdiri di daerah utara Kalimantan.

SHARE :

Ditulis Oleh: Taufiqur Rohman

Suku Tidung dari Kalimantan Utara belakangan ini menjadi perbincangan hangat setelah salah satu pakaian adatnya yang tampil dalam uang baru pecahan Rp 75.000 menuai polemik karena mirip dengan bangsa Cina. Suku Tidung merupakan sub-etnis Dayak yang bermata sipit, namun bukan dari Cina. Tidak selalu yang bermata sipit adalah Cina, banyak suku bangsa di Indonesia yang nyatanya memiliki mata sipit.

Suku Tidung adalah sub-etnis dari Suku Dayak Murut, salah satu dari tujuh suku besar yang mendiami wilayah utara Kalimantan bagian timur. Enam suku lainnya yaitu, Ngaju, Apu Kayan, Iban, Klemantan, Punan, serta Ot Danum. Suku Tidung sendiri masih terbagi dalam sepuluh suku lainnya. Mereka bermukim di kawasan pesisir utara dan menganut agama Islam.

(okezone.com)

Kata tidung dalam Suku Tidung berasal dari tiding atau tideng yang berarti bukit atau gunung. Ini menggambarkan bahwa kelompok suku ini berasal dari daerah pegunungan di wilayah Kalimantan di sebelah timur laut. Suku Tidung memiliki pergerakan yang dinamis, berpindah dari pedalaman Kalimantan di Kabupaten Tanah Tidung hingga ke Malaysia, Malinau, mendekati pantai di Nunukan, Tarakan, dan Berau.

Sifat dinamis dari Suku Tidung inilah yang membuat mereka mendapatkan banyak pengaruh dari luar, terutama dari pelaut dan pedagang muslim. Sehingga kini hampir sebagian besar masyarakat Suku Tidung menganut agama Islam. Hal ini jelas kontras sangat berbeda dengan Suku Dayak lainnya di Kalimantan Utara yang sebagian besar menganut agama Kristen.

Bagian dari Suku Dayak

Sebenarnya mata sipit masyarakat Suku Tidung diturunkan dari leluhur mereka yang berasal dari Suku Dayak. Suku Tidung telah meninggalkan tanah kelahirannya sejak 100 tahun lalu melalui Sungai Sesayap atau Sungai Malinau ke daerah hilir, kemudian mendiami daerah pesisir timur Kalimantan dan pulau-pulau kecil lainnya. Hidup sebagai nelayan dan menjalin hubungan dengan para pelaut dan pedagang muslim.

Oleh karena itu, banyak cerita tutur yang terputus. Salah satunya, Suku Tidung tidak memiliki mitos atau legenda yang berkaitan dengan asal-usul nenek moyangnya sebagaimana masyarakat Dayak. Meskipun demikian, masih ada sisa tradisi pra-Islam yang masih tersisa di masyarakat Tidung yang menjadi bukti hubungan kekerabatan dengan Dayak.

(taldebrooklyn.com)

Meskipun telah menganut Islam, masyarakat sangat percaya pada roh leluhur seperti halnya Suku Dayak. Sebagian masih melakukan ritual yang kaitannya dengan tradisi nenek moyangnya, terutama dalam memaknai tempat-tempat keramat. Kepercayaan terhadap roh leluhur menjadi konsep megalitik yang masih dikenal oleh Suku Tidung hingga kini.

Beberapa ritual kuno yang masih sering dilakukan oleh Suku Tidung yaitu pemanggilan arwah di Batu Lumampu, membayar nazar di Batu Lumampu dan Batu Kelangkang, serta prosesi pengobatan Badewa oleh tokoh-tokoh adat. Tradisi yang masih berlansung hingga kini ini menunjukkan bahwa Suku Tidung dahulu memiliki kepercayaan yang sama dengan Suku Dayak Agabag, Tahol, dan Tenggalan di wilayah Kalimantan.

Pernah Menjadi Sebuah Kesultanan

Sejarah Suku Tidung Tarakan berkaitan erat dengan Kesultanan Bulungan besar yang pernah berdiri di daerah utara Kalimantan. Kesultanan ini lahir dari aktualisasi hagemoni yang berasal dari komunitas masyarakat Suku Tidung. Secara formal, Islam hadir saat Kesultanan Bulungan berdiri. Hal ini ditandai dengan datangnya seorang ulama Arab dari Demak, Said Abdurraham Bil Faqih yang melakukan islamisasi pada masyarakat Tidung.

Hal ini dapat dilihat dari makam penyiar agama, Said Ahmad Maghribi di Desa Salim Batu, Kecamatan Tanjung Palas, Kabupaten Bulungan. Letaknya di lereng tebing, di sebelah barat aliran Sungai Pimping yang bermuara di Teluk Sekatak. Berdasarkan angka yang tertulis di dalam nisan, diketahui bahwa ulama ini meninggal pada tahun 1832 M.

(indonesia.go.id)

Setelah Indonesia merdeka, Kesultanan Bulungan mendapatkan status sebagai daerah swapraja atau daerah istimewa dalam level yang setara kabupaten otonom. Keluarga kesultanan berperan aktif di pemerintahan. Hingga akhir 1950-an hingga 1964, Bulungan berubah menjadi kabupaten. Namun kursi bupati masih diberikan kepada trah kesultanan.

Hak-hak istimewa Kesultanan Bulungan terhadap wilayah warisan leluhur hilang sepenuhnya pada 1964-1965, dicabut oleh Pemerintah Pusat melalui proses yang tidak bisa dianggap damai. Konon melibatkan propaganda pihak komunis yang menunggangi isu landreform yang diamanatkan UU Agraria 1960. Kesultanan Bulungan dituduh tidak mendukung politik konfrontasi Dwikora terhadap Malaysia, bahkan main mata untuk bisnis.

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU