Selain pariwsata, Yogyakarta juga memiliki sisi gelap yang entah mengapa menjadi daya tarik tersendiri bagi turis lokal maupun mancanegara. Pasar Kembang atau lebih dikenal dengan Sarkem merupakan wilayah lokalisasi yang secara administratif terletak di RW Sosrowijayan Kulon, Kecamatan Gedong Tengen. Sejarah Pasar Kembang Jogja diketahui telah ada sejak 125 tahun lalu, sehingga memiliki nilai historis tinggi.
Julukan Pasar Kembang atau Sarkem muncul di tahun 1970-an saat masih banyak pedagang bunga sebelum akhirnya dipindah ke Jalan Ahmad Jazuli Kotabaru, Yogyakarta. Sedangkan untuk keberadaanya telah ada sejak tahun 1818 ketika kolonialisme Hindia Belanda masih berkuasa di tanah nusantara. Konon tempat ini sengaja didirikan sebagai tempat “jajan” para pekerja proyek pembangunan rel kereta api.
Licik, Pemerinah Hindia Belanda sengaja membangun area lokalisasi ini agar upah yang dibayarkan kepada para pekerja proyek dapat menjadi pemasukan lagi dengan membebankan pajak kepada pelaku tunasusila. Setelah Indonesia merdeka, Pasar Kembang pun seolah menjadi kawasan lokalisasi di Yogyakarta. Pembubaran area ini menjadi sulit karena tanpa disadari membawa dampak ekonomi kepada masyarakat sekitar.
Berulang kali pemerintah setempat memberikan penyuluhan kepada para tunasusila agar bersedia beralih ke profesi lain. Sayang dampak ekonomi dari sistem mata pencaharian masyarakat sekitarnya membuatnya jadi sangat sulit. Banyak berbagai jenis usaha yang turut berkembang berkat adanya lokalisasi Pasar Kembang, misalnya hotel, rumah makan, hingga toko retail yang menunjang kehidupan masyarakat.
Lokasi Pasar Kembang yang berada di jantung kota Yogyakarta dan tidak jauh dari pusat pariwisata Jalan Malioboro membuatnya menjadi daya tarik tersendiri. Entah sejak kapan, kawasan ini menjadi begitu terkenal hingga seluruh Indonesia bahkan dunia. Meskipun demikian, Pasar Kembang tidak akan pernah dijadikan sebagai kawasan wisata karena tidak ingin mengangkat citra negatif kota Yogyakarta.
Pihak Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat sebenarnya lebih menghendaki Pasar Kembang lebih diangkat sebagai sentra oleh-oleh Jogja. Jika turis penasaran dengan lokasi ini dapat melihat sejarah Pasar Kembang dari sisi historisnya. Jika Pasar Kembang lebih diangkat sebagai destinasi wisata prostitusi tentu saja akan meninggalkan kesan yang tidak baik bagi Yogyakarta. Namun demikian upaya penutupan juga sulit.
Odam Asdi Artosa dalam makalahnya yang berjudul “Pekerja Migran dan Ekonomi Informal Ilegal (Prostitusi) di Wilayah Pasar Kembang Yogyakarta menyebut bahwa perkembangan Pasar Kembang telah menyita perhatian pemerintah daerah sejak masa pascakolonial hingga saat ini. Upaya yang dilakukan mulai dari melahirkan produk kebijakan pemerintah hingga yang bersifat kultural seperti penyuluhan penyakit menular seksual.
Penutupan wilayah lokalisasi ini justru dianggap akan menimbulkan resiko sosial yang lebih besar karena pekerja seks akan bertindak liar sehingga sulit diamati pola-pola aktivitasnya, dan oleh karena itu berpotensi untuk menimbulkan kerentanan baru dalam masalah sosial. Sedangkan jika terus dibiarkan dapat berpotensi menumbuhkan konflik sosial yang dapat terbuka menjadi praktik kekerasan bahkan kriminalitas.