Sebuah Tanya dari Lembah Ramma, Sulawesi Selatan

Setelah semua yang alam berikan untuk kita, apa yang kita perbuat untuk alam? Sebuah perenungan untuk pribadi masing-masing.

SHARE :

Ditulis Oleh: Afif Ucok Alhariri

Tebing Bawakaraeng yang Perkasa. Foto oleh Afif Ucok Alhariri

“Masih jauh?” terdengar sebuah pertanyaan yang timbul tenggelam di antara desahan nafas. Sebuah pohon besar melintang di tengah jalur, memperlambat perjalanan kami. Rahmi terduduk di atas rumput. Di punggungnya tergantung sebuah ransel 60L berwarna biru muda, menyender ke pohon yang tumbang. Keringat sebesar biji jagung singgah manis di ujung hidungnya yang mungil. Diambilnya sebuah botol, dibuka dan dituangkan ke dalam mulut. Melepas dahaga

Di sekeliling tempat kami beristirahat, yang ada hanya warna hijau. Pepohonan hijau, rumput hijau bahkan batu juga berwarna hijau. Diselimuti lumut – lumut hingga di lantai hutan.  Kalian tahu, mungkin lumut terlihat kecil dibandingkan dengan tumbuhan lain. Bahkan dianggap parasit. Tetapi lumut memiliki kegunaan yang luar biasa. Tentu saja bagi pendaki, lumut menjadi petunjuk tentang mata angin. Bagi pohon sendiri, lumut menjadi alternatif penyuplai air ketika musim kemarau tiba. Lumut adalah perintis. Ia bisa hidup saat tumbuhan lain enggan. Bahkan, kalian tahu? Tumbuhan pertama di bumi ini adalah para lumut!

Setelah cukup beristirahat saya menggandeng tangan Rahmi, mengajak kembali berjalan, menuju Lembah Ramma.

Lembah di tengah pegunungan

Pemandangan Lembah Ramma dari Puncak Tallung. Foto oleh Afif Ucok Alhariri

Lembah Ramma adalah sebuah lembah hijau yang terletak di kaki Gunung Bawakaraeng di Sulawesi Selatan. Meski bernama lembah, bukan berarti untuk mencapainya dapat dilakukan dengan mudah. Sebab kita harus naik turun bukit dan menyeberangi empat sungai. Dengan waktu tempuh tiga hingga empat jam. Kalau boleh dikatakan ini adalah versi mini dari Danau Segara Anak Rinjani dimana kita harus melewati tujuh bukit penyesalan dan puncak kemudian turun ke danau.

Keluar dari hutan lumut kami langsung dimanjakan dengan sensasi yang menyejukkan. Angin bertiup sepoi – sepoi, suara gemericik air terdengar samar – samar di telinga, beradu dengan suara tonggeret yang saling bercerita. Udara cukup dingin.

“Ini namanya Puncak Tallung. Di depan itu deretan Pegunungan Bawakaraeng – Lompobattang. Di bawah kita itu, lembah hijau yang luas, yang ada titik – titik warna – warni, itu lembah yang akan kita tuju. Coba perhatikan disana yang ada atap seng, itu rumah Tata Mandong.” Ketiga teman perjalanan saya memperhatikan tempat – tempat yang saya tunjuk.

Rahmi yang pertama kali mendaki ini, terhipnotis dengan pemandangan yang disajikan. Pelan – pelan matanya terpejam seperti mencoba menikmatinya dengan lebih dalam, dengan hati. Ia semakin cantik dengan rambut yang terurai dan flanel merah.

Ramahlah Kepada Penduduk Lokal

Bercengkrama dengan penduduk lokal. Foto oleh Afif Ucok Alhariri

Kami bercanda dengan kehangatan segelas kopi. Wicu, salah seorang teman perjalanan kami yang satu – satunya ahli hisap, menjauh untuk menikmati kepulan asap – asapnya.

Seorang bapak tua melintas sendirian dari arah lembah. Kami menegur dengan sopan dan mengajak beliau meneguk secangkir kopi.

Bertegur sapa kepada penduduk lokal merupakan salah satu hal yang wajib saya lakukan ketika melakukan sebuah perjalanan. Bersikap ramah tidak memiliki kerugian, justru mendatangkan keuntungan.

Pada dasarnya setiap orang ingin dihormati. Terlebih lagi bagi seorang pendatang yang sedang mengunjungi suatu tempat. Melalui sikap ramah yang ditunjukkan, secara tidak langsung terbentuk sebuah rasa kekeluargaan. Dimana rasa kekeluargaan itu akan menjadikan perjalanan terasa lebih bermakna dan menjadi salah satu alasan untuk berkunjung kembali.

Dengan secangkir kopi dan angin sepoi – sepoi, kami saling bercerita. Beliau berkisah tentang kejadian tanah longsor yang pernah terjadi tahun 2004.

“Takut sekali ka nak itu hari. Itu Bawakaraeng bunyi-na seperti Guntur mami. Orang – orang teriak – teriak longsor ki Bawakaraeng. Langsung ka tarik istri sama anak – anakku pergi mengungsi. Sekitar 30 orang meninggal itu hari, nak.” Dengan logat Makassar yang kental, beliau mengisahkan pengalamannya. Sesekali ia menyeruput kopi yang mulai agak dingin.

Bekas – bekas longsoran Gunung Bawakaraeng masih terlihat sampai sekarang. Ia seperti luka berwarna coklat yang mengelupas di permukaan gunung yang hijau. Melihatnya saja saya sudah merinding apalagi membayangkan kejadian longsor yang pernah terjadi.

Panjang lebar kami bercerita dengan bapak tersebut. Setiap orang punya kisah. Dan di setiap kisah selalu ada pelajaran berharga.

Berhubung matahari telah berada di ujung cakrawala, menyisakan rona merah di langit, kami berpamitan kepada bapak tersebut dan melanjutkan perjalanan menuju lembah. Jalur yang curam memaksa kami harus ekstra hati – hati agar tidak terperosok. Ujung kaki dan lutut yang menjadi tumpuan utama bekerja lebih keras. Sesekali kami harus berjalan duduk karena jalur yang licin.

Sesampainya di lembah kami langsung disambut Tata Mandong yang sedang mencuci kaki di sungai yang membelah Lembah Ramma menjadi dua.

Tata Mandong, Sang Penjaga Bawakaraeng

Tata Mandong dan Wicu. Foto oleh Afif Ucok Alhariri

Pria itu selalu tersenyum kepada siapa saja yang datang. Keriput – keriput di wajahnya menandakan usianya yang telah lanjut. Dipertegas dengan rambut putih yang menyembul dari balik peci hitam yang selalu ia pakai. Sebatang rokok lintingan terselip di mulutnya. Menghembuskan aroma tembakau setiap kali berbicara.

Tata Mandong tinggal sendiri di tengah Lembah Ramma sejak tahun 2003. Awalnya ia bersama sang istri, Maniah, hidup di desa. Namun di tahun 1986, Maniah pergi meninggalkan Tata Mandong seorang diri akibat himpitan ekonomi. Untuk menemani hari – harinya Tata Mandong ditemani anjing hitam yang diberi nama La Bolong. Bahasa Makassar yang artinya si hitam. Karena memang anjing milik Tata berwarna hitam.

Untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari, Tata Mandong harus berjalan ke pasar terdekat sejauh dua jam perjalanan. Menyusuri sisa – sisa longsoran yang merupakan sebuah sungai. Pendaki – pendaki yang kebetulan memiliki kelebihan logistik juga akan memberikannya kepada Tata Mandong.

Beliau bekerja dengan sepenuh hati menjaga kondisi hutan Gunung Bawakaraeng. Ketika ditanya mengapa ia mau tinggal sendiri di tengah hutan, ia menjawab menggunakan bahasa Makassar yang artinya bahwa ia telah dipesankan oleh kedua orang tuanya untuk menjaga Bawakaraeng dan selain itu ia ingin agar musibah longsor yang pernah terjadi tidak terulang lagi.

Di balik kesederhanaan sosok Tata Mandong, ada sebuah kekuatan luar biasa. Ia berusaha menjaga keseimbangan alam dengan segenap tenaga dan harta yang dimiliki. Saya jadi teringat ucapan Gilang, teman perjalanan kami, saat di hutan lumut, sudah sejauh manakah konstribusi saya kepada alam? Apalagi sebuah label sebagai pencinta alam tertempel di baju organisasi yang saya ikuti. Dan kesibukan sebagai pencinta alam ini didominasi dengan mendaki dari satu gunung ke gunung yang lain. Tetapi Tata Mandong, yang sederhana, yang selalu ramah, tak pernah menegaskan dirinya dengan label pencinta alam. Sebab bukan pujian yang ia harapkan. Perbuatannya didasari oleh cinta sejati kepada alam. Bukan cinta yang semu.

Setelah berbincang – bincang dengan beliau dengan Bahasa Indonesianya yang terbata – bata, kami meminta izin pamit dan mencari tempat berkemah. Dengan takzim saya mencium tangan beliau yang terasa kasar di telapak. Urat – urat menyembul tegas. Memberikan penghormatan yang sederhana kepada sosok yang luar biasa ini.

Pendakian yang sudah entah keberapa kali buat saya ini menyisakan sebuah tanya:

Apa yang sudah saya lakukan untuk alam?

 

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU