Free souls is rare, but you’ll feel it when you meet them
Untuk CPOC Kamboja,
tawa riang dalam segala kesederhanaan.
***
Suara berisik babi-babi lapar yang menguik di lantai bawah menjadi alarm pembuka mata. Seperti pagi-pagi sebelumnya. Membongkar sleeping bag sembari duduk termenung dilantai, head seat saya sumpalkan di telinga “…the answer my friend, is blowing in the wind, the answer is blowing in the wind”, untaian nada dari Bob Dylan mengalun menemani mengumpulkan nyawa. Di bentangan lantai kayu lebar ini volunteer lain juga sudah sibuk dengan ritual pagi mereka masing-masing seperti biasanya . Julia, traveller asal Jerman melipat-lipat tubuhnya di atas matras, yoga di pagi hari. Louis dari Prancis masih dengan laptop di pangkuannya. Dua traveller dari Polandia nampak berkeringat dengan senam pagi mereka. Volunteer lain masih berserakan terlelap pulas, beberapa sudah pergi ke pasar mencari sesuatu untuk dimakan.
Hari ini Kim meminta kami untuk memulai mengubah lahan gersang di halaman depan, menjadikannya pekarangan tanaman morning glory. Menyandang disabilitas, memiliki kelainan pertumbuhan dan duduk diatas kursi roda, tidak menghalangi Kim untuk menjalankan organisasi ini. Carrying Poor and Orphaned Children ( CPOC ) sesuai namanya, adalah NGO di Kamboja yang bergerak di bidang kemanusiaan. Letaknya di desa Phrey Nheak, Samrong Distric, Provinsi Takeo. Selain sebagai tempat asuh anak yatim piatu, ada pula kelas kursus bahasa inggris dan komputer bagi anak-anak desa setempat.
Semua volunteer adalah para traveller yang sedang berkunjung ke Kamboja. Sebagian besar berasal dari berbagai Negara Eropa dan Amerika. Mereka yang datang biasanya memperoleh informasi dari situs macam Workaway, Helpx atau Couchsurfing. Volunteer dapat membantu operasinal sehari –hari, seperti mengajar kelas kursus bahasa inggris, memasak, cleaning, atau mengerjakan berbagai project. Seperti misalnya project hari ini menggarap lahan kering di halaman depan.
Tempat ini tidak memiliki fasilitas nyaman seperti kasur tebal, AC, TV layar lebar atau makanan berlimpah. Sumber donasi utama dari sukarelawan asing hanya cukup untuk operasional sehari-hari. Sepeda ontel merupakan satu-satunya barang mewah yang dimiliki anak-anak panti, dipakai untuk pergi ke sekolah. Pernah saya diajak Wid bersepeda untuk mengunjungi sekolah mereka. Setiap hari Wid juga anak panti lainnya melewati jalur ini, jalan tanah berdebu lurus membelah desa-desa dan sawah. Di dalam bangunan tua itu, mereka semua terlihat sama, duduk dengan seragam kucel dan sandal jepit di kaki.
Sepulang sekolah, anak-anak menuju dapur membantu Kim dan volunteer memasak makan siang. Kebanyakan dari anak panti masih duduk di bangku SD. Dan hidup tanpa orang tua membuat mereka melakukan segala sesuatu sendiri dari memasak sampai mencuci, hidup mandiri. Menu wajib makan siang sehari-hari adalah sayur sup dan nasi. Meja makan digelar, supaya semua kebagian, satu mangkok sup harus dibagi untuk dua orang. Sesekali volunteer dengan sukarela membeli bahan makanan lain dipasar, seperti daging atau buah-buahan untuk kemudian dimakan bersama.
Hari itu, kami para volunteer menyisihkan sebagian uang untuk menyewa mobil, membawa anak-anak panti liburan ke Pantai Kampot. Seumur hidup, anak-anak panti belum pernah melihat pantai. Hari itu mereka amat antusias, wajah mereka bersinar, bahagia menikmati pantai Kampot yang sebenarnya tampak biasa saja. Berlarian bebas, bergulingan di pasir, berenang penuh canda. Ya, hari itu sangat istimewa bagi mereka, tidak seperti hari-hari biasanya yang diisi dengan mangkuk sup dan tawa kayuhan sepeda.
“ This place remain me that we don’t need much to life”, kata Julia. Mungkin semua hal itu yang membuat kami betah, tentang kesederhanaan, kebahagiaan dan kebersamaan. Suatu pengalaman otentik merasakan bagaimana hidup mereka membuat kami melihat ke dalam, untuk lebih mengapresiasi hidup ini.
Julia, seperti halnya saya dan volunteer lain di sini memiliki latar belakang cerita sama. Kami semua memulai perjalanan dari Negara-negara berbeda di Asia tenggara, sebelum dipertemukan di sini. Quit from our job, buy one way ticket, have no plan and have no idea when we will come back home. Kenapa? Entahlah. Mungkin karena kami sesama penderita krisis eksistensialisme. Titik dalam hidup di mana manusia menghadapi absurd sebagai lawan tangguh. Pernahkah kamu mengalami fase dihadapkan berbagai pertanyaan mendasar seperti apa artinya hidup? Apa tujuan saya? Apa yang saya cari? Mengapa saya tidak bahagia dengan semua yang ada? Fase itu bisa datang kapan saja, terlebih ditunjang rutinitas dan kehidupan dengan pola sama. Arnold dari Canada, Paul dari Spanyol dan Bono dari Jerman termasuk volunteer yang bukan twenties di sini, usia mereka sudah 30-an. David dari USA lebih tua lagi, mantan SEAL yang pernah disekap Taliban itu sudah berusia 50-an. Mereka berasal dari negara kaya, hidup mereka nyaman dari hasil kerja bertahun-tahun, pacar, teman, keluarga, segala hal berjalan baik, nothing wrong. Sampai kemudian fase itu datang, sebuah titik balik, kini sudah hampir setahun sejak mereka meninggalkan rumah.
Melakukan perjalanan, merenungi kehidupan terdahulu, mencari jawaban baru akan hidup dalam segala ketidakpastian. Aneh bukan? Ini adalah suatu hal personal, tidak semua orang memiliki pertanyaan sama, dan tidak semua orang mau dan menggali ke dalam untuk bertanya. Berbahagialah mereka yang tidak mengalami krisis ekstensialisme itu. Menemukan kebahagiaan dan segala kebutuhan jawaban akan hidup dalam siklus wajar kehidupan normal. Sekolah, bekerja, bayar tagihan mobil dan rumah, menikah, that’s it. Dan tidak ada yang salah dengan itu semua. Setiap orang bebas menentukan hidup mereka, bukan pada ukuran yang dibuat orang lain. Sebab kita bukan orang lain, kita adalah diri kita.
Søren Aabye Kierkegaard adalah seorang filsuf dan teolog dari Denmark. Inti pemikirannya adalah eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang statis tetapi senantiasa menjadi, manusia selalu bergerak dari kemungkinan menuju suatu kenyataan, dari cita-cita, mimpi menuju kenyataan hidup saat ini. Saya sependapat dengan Kierkegaard yang menekankan harus ada keberanian dari manusia untuk mewujudkan apa yang ia cita-citakan, mimpinya atau apa yang ia anggap kemungkinan.
Alan Watts lain lagi, filsuf Inggris itu berpendapat, the meaning of life is being just to be alive, it’s so plain and obvious and simple. And yet, everybody rushes around in a great panic as if it were necessary to achieve something beyond themselves. Terlepas dari itu semua, tentang nanti menjadi sesuatu atau tidak, tentang ada jawaban atau tidak, menurut saya keberanian untuk berproses menjadi hal penting saat ini. Proses bergerak untuk menuju suatu kenyataan, proses untuk menjadi. Untuk berani melakukan apa yang kita cintai, untuk mengikuti passion hidup kita. Dan bagi saya, membuka diri dengan dunia luar adalah sebuah proses yang saya cintai. Sebagai sebuah ladang untuk tumbuh berkembang, memperluas kemungkinan jawaban akan semua pertanyaan.