“Masih jauh, ya?”
Seorang teman bertanya kepada saya, dengan napas ngos-ngosan saat kaki mereka mulai lelah dan menapak tak sabar untuk sampai di atas. Di kanan kiri kami, semak belukar, pepohonan kecil dan rimbun menemani perjalanan langkah. Setidaknya, ini pukul lima pagi lebih sekian. Langit berwarna biru gelap, dan matahari masih enggan menampakkan wujudnya. Aneh, meski hawa magis kental terasa, dingin yang seharusnya menggigit—khas pegunungan atau dataran tinggi—tak mampir di tubuh kami. Di depan kami, tiga sampai empat orang berkaus tentara—hijau loreng-loreng hitam—mengajak kami berbincang. Rupanya mereka memang sedang menginap di situ. “Sampai penelitian selesai,” kata salah satu bapak, sambil menggendong beberapa botol air.
Pada waktu itu, lokasi kami berada, Gunung Padang memang sempat mencuri perhatian banyak orang. Apalagi sejak September 2014, ketika warga tanah air digegerkan dengan penemuan artefak mirip kujang dan koin tua. Sebuah penemuan yang tidak tanggung-tanggung. Sebab, diperkirakan kedua temuan itu berasal dari masa 5.200 SM. Itu baru dari satu sisi. Sisi lainnya, para ahli percaya; situs megalitikum ini bahkan lebih tua dari Piramida Mesir; dan mungkin jadi bangunan prasejarah terbesar di dunia!
Pantas saja, beberapa teman yang tahu; atau saya beritahu langsung dengan segera berminat ke tempat ini—tanpa tahu bahwa untuk sampai ke atas pun, pengunjung harus mendaki sekitar 350 anak tangga, plus dengan ketinggiannya yang lumayan curam.
Buat saya, inilah kali ketiga menyambangi tempat ini. Kali pertama, benar-benar murni pelesiran. Sementara sisanya, menjadi guide untuk beberapa teman yang penasaran. Sungguh aneh rasanya, mendatangi satu tempat berkali-kali, padahal menurut orang lain: tempat tersebut biasa-biasa saja.
Tetapi kini, biarkan saya menggambarkan sedikit tentang Gunung Padang: batu-batu panjang dan besar berserakan di mana-mana, sebagian tersusun bertumpuk, atau berdiri sejajar seperti mengkonstruksikan sesuatu, sebagian lagi tidak; lima teras (undakan) yang semakin ke atas, semakin mengecil luasannya; lapis rumput hijau serupa karpet yang menyambut pengunjung, tumpukan gunung batu—belakangan saya tahu, yang paling tinggi terlihat disebut “Mahkota Dunia”, (katanya) titik pusat energi di Gunung Padang, di mana salah satu pembuktiannya: keberadaan sinyal handphone yang sangat kuat di lokasi tersebut; dan pepohonan rimbun, serta lapis gunung yang mengelilinginya, bahkan dari segala arah mata angin.
Gunung Padang sendiri sebenarnya adalah sebuah bukit. Namun, sudah jadi kebiasaan masyarakat setempat untuk menyebut bukit sebagai gunung. Letaknya, di Desa Karyamukti, Campaka, Cianjur, Jawa Barat. Bila dari arah Puncak, sangat mudah dijangkau dengan mengambil jalan ke arah Cianjur. Pastikan untuk selalu melihat ke arah kiri atau berpedoman pada GPS, karena setelah beberapa kilometer, plang bisa langsung dengan mudah terlihat.
Berkunjung ke Rumah Flintstone
Matahari baru saja menampakkan semburat kuning keemasannya saat rombongan kami sampai di puncak. Di teras lima—bagian dasar kompleks bebatuan megalitikum Gunung Padang, terlihat awan putih bergulung-gulung bersama cahaya kuning. Di depan saya, lapis-lapis bukit—bergradasi hijau kebiruan memanjakan mata, indah sekali. Yang paling jauh terlihat, belakangan saya tahu adalah Gunung Gede-Pangrango.
Bebatuan kecil-besar, posisi tegak berdiri hingga terbaring tidur berserakan di depan kami. Rasanya, seperti berkunjung ke rumah keluarga Flintstone. Saya membayangkan, apa jadinya bangunan atau tempat ini pada masanya? Adakah susunan bebatuan ini punya makna? Bagaimana sosok masyarakat setempat pada masa itu? Bagaimana cara mereka menyusun konstruksi Gunung Padang? Apakah suasananya ramai atau justru sepi penuh dengan daya magis?
Pak Nanang, juru kunci Gunung Padang mengatakan, dua buah batu yang berdiri di teras satu, dahulunya berfungsi sebagai gapura atau gerbang masuk. Wajar saja, dahulu Gunung Padang memang difungsikan sebagai tempat ritual, bahkan hingga kini oleh beberapa kelompok orang.
Pak Nanang bercerita, pada zaman dahulu, orang-orang datang membawa sesaji melalui gerbang masuk; menapaki lapisan batu di tanah yang ditata serupa tegel; meletakkan sesaji di meja (batu yang menyerupai meja); diiringi musik gamelan—yang sebenarnya ditabuh dari batu gamelan—sebuah batu yang akan menghasilkan nada tertentu jika dipukul dengan alat pukul semisal kayu atau batu kecil.
Setelah itu, perjalanan ritual akan terus berlanjut hingga teras lima. Masing-masing teras dihubungkan oleh tangga yang menempel pada tumpukan batu serupa benteng, pemisah antara satu teras dengan teras yang lain. Kini, beberapa anak tangga dan konstruksinya sudah hancur dan tak lagi berbentuk. Pinggirannya pun sudah diberi tali—sebagai pengingat, pengunjung tak boleh naik menggunakan tangga tersebut. Sebagai gantinya, pengunjung harus melewati pinggirnya—sebuah jalan setapak, sedikit menanjak, yang sengaja dibuat untuk mengurangi kerusakan.
Gunung Padang dan Segala Pertanyaan yang Tak Terjawab
Perjalanan kami berakhir dengan duduk-duduk santai di wilayah “Mahkota Dunia”, sebuah bagian yang terletak di teras dua; merupakan pusat terbaik dunia yang ada di Gunung Padang. Matahari sudah semakin naik, dan hawa panas mulai terasa dan menjadi terik. Namun, di tempat kami duduk, angin berhembus sejuk sekali. Dari sini, lapis-lapis gunung yang mengelilingi Gunung Padang terlihat lebih jelas, sementara ratusan bebatuan yang terserak di teras satu—berpadu dengan hijau rumput, terlihat indah dari ketinggian. Terlepas dari benar atau tidaknya tempat ini sebagai “pusat dunia”, saya mengakui: ini adalah tempat terbaik untuk menikmati keindahan Gunung Padang, sambil bercakap dan mengobrol hangat dengan sahabat.
Sesungguhnya ada banyak pertanyaan yang saya punya terkait dengan Gunung Padang. Segala misteri yang ada di dalamnya, berikut peradaban Atlantis—sebuah peradaban tinggi, kaya raya, namun musnah karena bencana—yang digadang-gadang berlokasi di Sundaland. Mungkin benar, mungkin juga tidak. Sebab dalam bahasa Sunda, kata “Padang” berarti siang, terang, atau cahaya.
Jika benar tempat ini berasal dari ribuan atau bahkan puluhan ribu tahun silam, tentulah misteri dan kontroversi Gunung Padang sudah merentang pada periode yang sangat panjang. Ada yang mengaitkannya dengan kejayaan Prabu Siliwangi; harta karun yang besar—baik berupa material maupun sisa peradaban masa lalu—yang mungkin akan merubah sejarah dunia; hingga sebuah cerita tentang Atlantis yang hilang. Tetapi benarkah semua pernyataan tersebut? Toh selama ini belum ada penelitian yang benar-benar mampu mengesahkan pernyataan tersebut. Tetapi sebelum berkutat benar atau tidaknya, dan memperdebatkan secara keilmuan, saya rasa kita semua sepakat: sebuah perjalanan pasti punya maknanya sendiri-sendiri. Tak selalu sama, melainkan berbeda bagi masing-masing orang.
***
Sebelum siang merangkak naik, kami memutuskan untuk turun. Lebih dari tujuh jam kami melakukan perjalanan hingga ke tempat ini dan belum sempat beristirahat. Heran rasanya, untuk menikmati pagi yang terlalu dini saja, harus jauh-jauh pergi dan merasakan sensasi Matahari, di tempat yang cukup jauh didatangi. Tetapi toh, setiap perjalanan kadang harus mentok dengan logika. Ia sebuah pengalaman; yang kerap meruapkan rasa senang, bahagia, harus, sedih, marah, kecewa—tanpa kita tahu sebabnya.
Kaki saya melangkah pelan-pelan melalui tangga berbeda; sebuah undakan kira-kira 750 anak tangga, dua kali lipat jumlahnya, terbuat dari semen dan tertata dengan rapi. Tangga ini memang sengaja disediakan bagi para pengunjung, untuk memudahkan pendakian, atau justru mencegah tangga batu asli, rusak. Di sebelah kiri saya, hijau bukit, hutan, maupun semak belukar terlihat memanjakan mata. Cahaya kuning Matahari memantul di atasnya. Indah sekali. Sayang, iklim Cianjur, meski di daerah perbukitan sekalipun, masih terasa terik.
Kami melanjutkan perjalanan absurd ini. Dan Gunung Padang beserta misterinya (yang mungkin masih tak terpecahkan hingga beberapa tahun ke depan) tetap berdiam di sana. Setengah bercanda, seorang teman saya, heran melihat “hanya batu” sebagai destinasi kami—tujuan kami datang jauh-jauh. Tetapi kami semua tahu, ini bukanlah persoalan batu.
Perjalanan memang punya makna berbeda bagi masing-masing orang. Tidak pernah ada yang selalu benar, maupun selalu salah. Seluruhnya tergantung pada bagaimana kita memahaminya.