Ada masanya ketika bepergian adalah hal yang sulit bagi perempuan. Persis seperti yang dialami Jeanne Baré, perempuan yang tercatat sebagai perempuan pertama yang berhasil mengelilingi dunia bersama tim ekspedisi yang diadakan Louis Antoine de Bougainville pada periode 1766-1769.
Lalu, di mana sulitnya? Di masa itu, di sekitar abad 18, Baré harus berperan sebagai “lelaki” untuk kemudian diikutsertakan dalam ekspedisi di kapal La Boudeuse dan Étoile, kapal angkatan laut Prancis. Baré harus berpura-pura menjadi “Jean”.
Perempuan Pertama yang Berkeliling Dunia
Bagaimana Baré bisa naik kapal angkatan laut? Jeanne Baré adalah perempuan kelahiran Loire Valley, 27 Juli 1740, yang pandai mengidentifikasi tanaman untuk mengobati luka dan penyakit. Ia adalah seorang botanikus.Ia kemudian bertemu lelaki bangsawan bernama Philibert Commerçon, duda yang berprofesi sebagai seorang naturalis yang kemudian jadi kekasihnya.
Pada tahun 1766, Pemerintah Prancis berencana bakal melepas dua kapal angkatan laut mereka keliling dunia untuk ekspedisi. Mereka membutuhkan botanikus di kapal tersebut. Commerçon dapat pekerjaan itu, dan jelas-jelas membutuhkan asisten.
Orang pertama yang Commerçon ingat dan tentu saja inginkan adalah kekasihnya sendiri, Jeanne Baré. Masalah utama mereka adalah Angkatan Laut Prancis melarang tegas perempuan di kapal ekspedisi tersebut. Ini yang menyebabkan Baré mesti menyamar menjadi lelaki bernama Jean. Rencana gila, tetapi berhasil.
Lebih dari dua tahun, Baré bepergian di atas kapal angkatan laut Prancis dengan perban linen yang membungkus rata bagian dadanya. Ia juga bekerja keras seperti laki-laki di atas kapal, seperti mengangkat karung yang berat atau membawa alat-alat. Ia juga mengeksplorasi tanaman di darat dengan “perkasa”.
Lepas bahwa akhirnya identitas Baré ketahuan sebelum ekspedisi selesai dan ia harus meninggalkan kapal sebelum tiba di Prancis (banyak versi yang mengatakan kenapa ia harus meninggalkan kapal, salah satunya karena ia diperkosa, hamil, dan dengan sadar, Baré bersama Commerçon memilih tidak ingin kembali ke Prancis, tetapi hidup di Mauritius; negara kepulauan di Samudera Hindia), tetapi Baré sudah tercatat menjadi perempuan pertama yang telah mengelilingi dunia.
Petualangannya yang berani dan berbahaya seolah jadi pengingat untuk perempuan zaman sekarang untuk bersyukur. Saya salah satu perempuan yang patut bersyukur itu.
Kini, perempuan bisa bertualang tanpa larangan, tanpa takut-takut. Mulai dari mengarungi laut, keliling pulau, sampai mendaki gunung api sekalipun.
Bicara gunung, saya seperti sedang dalam mood yang baik untuk berbagi perjalanan saya dan beberapa kawan ke Gunung Tambora, gunung berapi setinggi 2.851 mdpl di Nusa Tenggara Barat.
Saya mengingat Baré selintas-selintas saat itu. Di pesawat yang membawa saya ke Mataram, di kapal feri yang membawa saya ke Pulau Sumbawa Besar, sampai di atas jeep tua sewaan yang terguncang-guncang ketika berupaya keras sampai di Pos III Tambora.
Betapa hidup kadang-kadang begitu sulit untuk sebagian orang tapi mereka tetap bersyukur, dan hidup sebagian yang lain merasa begitu dimudahkan tetapi mereka lupa bersyukur.
Ekspedisi di Gunung Tambora
Saya pergi ke NTB di bulan Oktober. Saat itu, seluruh pulau kecokelatan. Rumput-rumput mengering. Puncak hidung dan paha seperti ditusuk-tusuk matahari, saking teriknya. Tanah-tanah pecah berkerak-kerak.
Ada beberapa jalur yang bisa dipilih untuk mendaki Gunung Tambora. Yang paling sering disebut adalah Desa Pancasila dengan jalur hutan dan tanaman gatalnya, atau Doroncanga yang jalurnya dipermudah karena bisa naik jeep sampai ke Pos III, pos terakhir untuk berkemah.
Saya dan kawan-kawan karena saat itu membawa peralatan berat yang banyak karena mendaki Tambora untuk keperluan tidak hanya rekreasi, tetapi juga mendokumentasikan perjalanan memilih jalur Doroncanga.
Di jalur Doroncanga, kita akan tiba di titik awal bernama Gerbang, tepat di tepi jalan raya yang sangat mulus dan panjang tetapi kosong. Beberapa kerbau kadang-kadang kelihatan berjalan santai di tengah jalan aspal.
Bukan kendaraan yang terlalu banyak, tetapi kerbau-kerbau itulah yang kerapkali menjadi penyebab kemacetan di Sumbawa. Banyak pohon hanya menyisakan ranting-ranting, sementara daun-daun mereka sudah lama gugur karena kering.
Mengingat-ingat Baré, saya lalu mengingat Prancis, tanah kelahirannya. Lalu, saya mengingat Eropa. Gunung Tambora pernah meletus sampai berskala 7 Volcanic Explosivity Index (VEI) pada tahun 1815. Jika dibanding-bandingkan, letusan vulkanik itu 10 kali lebih besar dibandingkan letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883, dan 100 kali lebih kuat dibandingkan letusan Gunung St. Helens di Amerika Serikat pada tahun 1980.
Baré sudah meninggal pada 5 Agustus 1807. Jadi, ia jelas tidak pernah tahu kalau letusan dari sebuah gunung di Indonesia menyebabkan Eropa, termasuk Prancis, dan sebagian wilayah Amerika Utara, mengalami musim dingin setahun penuh, tanpa ada musim panas, pada tahun 1816. A year without summer. A little ice age, katanya.
Dua jeep Toyota tua lalu muncul dari jalan yang semula kosong, dan memarkirkan diri di tanah lapang. Barang-barang kami yang semula ada di Avanza, dipindahkan ke jeep-jeep itu. Tidak berlama-lama, selagi belum terlalu siang, jeep-jeep ini mulai menderu.
Dari dalam jeep, saya bisa merasakan angin yang hangat bercampur debu menepuk-nepuk pipi. Jika melalui Doroncanga, kita akan melewati kawasan padang savana tepat setelah Gerbang. Padang savana ini juga sedang kecokelatan dan kering. Jeep yang tanpa kaca jendela dan penutup atap, membuat debu-debu merayap-rayap sampai ke sela tersudut jeep.
Dari keseluruhan tujuh orang, ada dua perempuan dalam kelompok ini, termasuk saya. Hingga kini duduk di kursi depan salah satu jeep, saya tidak mendapati larangan atau nyinyiran apa pun.
Selama bertahun-tahun melakukan perjalanan pun belum pernah ada kesulitan berarti yang berkaitan dengan jenis kelamin saya.
Saya mencoba membayangkan wajah Baré dari lukisan dirinya di internet, dan segala sesak yang mesti ia rasakan karena perban ketat di dadanya selama ekspedisi Bougainville itu.
Titik tertinggi mulai kelihatan dari kejauhan. Padang savana mulai tertinggal di belakang. Jeep-jeep tiba di jalan sempit yang kanan-kirinya diapit pepohonan tidak terlalu besar, tapi cukup rindang. Tambora mulai menghijau ketika memasuki Pos II. Saya dan kawan-kawan turun sebentar dari jeep, dan duduk-duduk di gazebo Pos II. Meski sebentar, tapi lumayan menenangkan bokong yang bergetar-getar selama perjalanan.
Clive Oppenheimer, peneliti dari Universitas Cambridge, pernah mengatakan, Tambora sebelum letusan tahun 1815 adalah gunung tertinggi di Hindia Timur. Richard Stothers dari NASA memperkuatnya dengan mengatakan, tinggi Tambora mencapai 4.300 mdpl. Dulu, Tambora ternyata lebih tinggi dari Gunung Rinjani yang tingginya 3.726 mdpl.
Matahari sudah lewat dari atas kepala. Angin mulai kencang ketika kami meninggalkan Pos II. Pepohonan tinggi sudah tidak ada. Hanya dataran luas dengan rumput yang jarang-jarang dan tanah berwarna cokelat tua di sana. Juga, tercetak jalur ban dari jeep-jeep yang sejak lama sudah hilir-mudik. Rupanya, jalur Doroncanga semula adalah jalur pemburu yang biasa memburu babi hutan, dan hewan lainnya.
Di tengah suara jeep yang mengerang karena dipaksakan menanjak terus-menerus, pikiran saya melanglang buana. Periode 1816-1817 adalah masa yang gelap untuk Eropa, termasuk Prancis. Perang pecah di mana-mana. Karena musim dingin yang berkepanjangan, banyak panen yang gagal. Bahan makanan jadi sulit didapat. Terjadi kelaparan.
Kabarnya, Eropa mengalami masa kelaparan terburuk sepanjang abad 19. Lalu, terjadilah apa yang disebut “First Flood”. Yaitu, migrasi besar-besaran orang-orang Eropa, kebanyakan ke Amerika Serikat dan Rusia. Jumlahnya sampai puluhan ribu orang.
Hari mendadak sudah sore. Semburan senja menerangi sedikit padang luas Tambora yang berumput cokelat. Bisa dibayangkan kengerian letusan gunung ini dulu, di tahun 1815, yang kedengaran seperti ledakan meriam. Gemuruhnya terasa sampai Makassar yang berjarak 380 km, Jakarta yang berjarak 1.260 km, hingga Ternate yang berjarak 1.400 km dari Tambora.
Belum lagi abu-abu vulkanik yang mengudara hingga ke Pulau Sulawesi, Maluku, Kalimantan, dan Jawa. Angin kencang kabarnya membentuk tsunami dan menumbangkan pepohonan dan benda-benda lain di sekitarnya. Bima sampai gelap gulita kurang lebih seminggu.
Segala vegetasi dan satwa di Tambora hancur karena letusan besar itu. Korban yang jatuh begitu banyak, terhitung sampai 71.000 orang dengan 11.000-12.000 di antaranya meninggal karena dampak langsung letusan tersebut.
Abu dan asap letusan membumbung hingga mencapai stratosfer, dengan ketinggian lebih dari 43 km. Sebagian jatuh kembali, tapi sebagian partikel lagi tetap berada di atmosfer hingga bertahun-tahun. Angin kemudian menyebarkan partikel abu itu ke seluruh dunia. Inilah yang menyebabkan Eropa dan Amerika Utara mengalami “a year without summer”.
Ketika tiba di Pos III, langit sudah gelap. Sekitar lima jam kami di jalan. Angin semakin kencang, bahkan untuk mendirikan tenda saja sulit. Pos III adalah area yang biasa digunakan untuk berkemah, dengan ada satu gazebo. Tidak ada pohon. Maka, angin begitu bebas merubuhkan tenda-tenda kita yang tidak berpenjaga.
Situasi di Tambora memang kadang-kadang tidak bisa diprediksi. Tapi, jarang-jarang pula terjadi angin yang nyaris mendekat badai seperti malam itu—yang berlangsung bahkan hingga pagi hari. Membuat kami yang semestinya berangkat muncak sekitar jam 3 dini hari, harus memundurkan jadwal menjadi jam 7 karena angin.
Esok harinya, angin sudah mereda. Saya dan kawan-kawan mulai mendaki ke titik tertinggi Gunung Tambora pagi-pagi. Butuh 3 jam dari Pos III untuk sampai ke puncak Tambora, ke kaldera yang mengagumkan itu.
Di sepanjang jalan menuju puncak, daratan masih minim pohon tinggi. Barangkali hanya satu-dua pohon cemara yang menantang langit. Sisanya, hanya rerumputan, ilalang, serta beberapa bunga liar yang sedang mekar-mekarnya.
Saya lalu teringat lagi pada Jeanne Baré. Perempuan ahli botani itu mungkin akan dengan mudah mengenali atau memberikan nama-nama pada bebungaan liar dan tanaman-tanaman yang saya lihat sepanjang perjalanan saya menuju bibir kaldera.
Di Titik Tertinggi Tambora
Ketika kaldera sudah ada di hadapan mata sekitar 3 jam kemudian, lutut saya bergetar minta diistirahatkan. Lalu, saya hanya terduduk begitu saja menghadap kaldera itu. Kaldera ini terbentuk akibat letusan dahsyat Tambora pada tahun 1815. Kaldera seukuran diameter 6-7 km dengan kedalaman 1-1,5 m. Entah mengapa, begitu magis, begitu misterius.
Saya dan kawan-kawan hanya sampai di bibir kaldera. Kami duduk meresapi kegagahan Gunung Tambora yang sempat melumatkan negeri di Eropa dan Amerika Utara, sembari merayakan lebih dini 200 tahun letusan Tambora yang jatuh pada April 2015.
Saya pribadi menambahkan selipan rasa syukur karena bisa sampai di puncak setinggi ini sebagai perempuan, tanpa harus menyembunyikan identitas saya, seperti Baré.