Saya bukan penulis handal. Jika mau dibandingkan, ada ribuan orang yang dapat menulis jauh lebih baik dari saya.
Saya tak memiliki latar belakang karir jurnalistik panjang. Saya mengetahui tentang secuil penulisan berita di pers kampus selama 3 tahun.
Saya hanya seorang pecinta buku yang gemar bepergian. Saya buta tentang teknik menulis, namun setidaknya, kesukaan saya membaca buku jenis apapun membuat saya paham mana tulisan bagus dan tidak.
Di Indonesia, saat orang mendengar tentang ‘travel jurnalis’ yang muncul dalam gambaran adalah seorang yang bepergian sangat jauh, menembus hutan seorang diri layaknya Indiana Jones ke Machu Pichu di Peru, menggunakan jaket dan topi safari, sepatu hiking, ransel besar di punggung dan alat tulis siap sedia di saku.
Saya mempunyai seorang kawan yang hobi berkeliling ke banyak tempat, meski masih dalam lingkup sekitar kotanya.
Saya bertanya mengapa tidak dia tuliskan saja cerita perjalanannya.
‘Tempat yang saya kunjungi baru sedikit, itupun hanya sekitar kota, tak ada yang menarik,’ jawabnya cepat.
Saya menghela nafas. Jawaban yang sering saya dengar.
Travel jurnalistik bukan tentang destinasi.
Seorang travel jurnalis adalah seorang pengamat yang baik. Seseorang tak akan bisa menulis jika tak mengamati, eksternal ataupun internal.
Travel jurnalis tak sekadar membuat catatan kronologis perjalanan seperti misal, “saya berangkat menuju tempat A menggunakan bus B, saya menempuh perjalanan 3 jam. Biaya yang saya habiskan adalah sebesar X rupiah.”
Salah satu hal paling penting bagi seorang travel jurnalis adalah bagaimana memilah informasi mana yang menarik disampaikan, mana yang tidak.
Jurnalis kawakan menyebutnya sebagai ‘penentuan angle berita.’
Hal menarik, sekecil apapun itu, tuliskan. Hal itulah yang memberi perbedaan.
Rumah berwarna mangga matang di pinggir jalan Banyuwangi, motif pedestrian yang mirip pola crop circle di sepanjang Jalan parangtritis Jogja, hal-hal semacam itu.
Buat pembaca merasakan apa yang kita rasakan. Gambarkan itu, tak hanya menunjukan.
Kalimat ‘anak kecil membantu seorang kakek tua menyeberang’ tak memberi gambaran apapun pada pembaca. ‘Anak kecil berambut merah, dengan layangan yang dikalungkan di leher, menuntun seorang kakek tua berpeci hitam dan sarung motif kotak menyeberang jalan’, itulah menggambarkan.
Menurut Stanley Stewart dalam artikel vagabondish mengenai “Bagaimana menulis perjalanan yang baik”, sangat banyak orang yang percaya bahwa sebuah perjalanan pasti akan menghasilkan sebuah tulisan perjalanan yang baik.
Kenyataannya, begitu banyak orang bepergian ke Bromo, namun hanya ada sekelumit cerita tentang Bromo.
Banyak orang sanggup traveling, namun tak semua orang mau menuliskannya.
Dalam salah satu tulisannya, Windy Ariestanty, seorang penulis buku yang hobi traveling mengungkapkan cara menjadi seorang penulis perjalanan yang baik adalah ‘terus traveling, terus menulis dan terus membaca.’
Seorang travel jurnalis, akan terus mendapat ide tulisan dengan terus traveling. Selain itu, kesukaan untuk membaca adalah hal mutlak. Kesukaan membaca akan sangat membantu mengembangkan kemampuan menulis.
Dan terakhir, hal yang harus dilakukan selain membaca dan bepergian, tentu kita harus menuliskannya.
Seorang penulis, tak akan pernah disebut penulis jika tak pernah menulis. Saat tak menulis, kau hanya akan disebut sebagai seorang traveler yang hobi membaca.
Terus tulis, hal apapun itu, orang baik yang ditemui dijalan, pos polisi yang penuh coretan lucu, kumpulan bocah SD yang berlarian ditepi jalan mengejar angkutan umum, tuliskan semuanya.
Seperti kata Brian Clark, ‘ write, write more, write even more, write even more than that!’