Saya dan pasangan kebetulan dua orang yang menyukai petualangan di alam bebas, terutama gunung. Perkenalan kami pun terjadi ketika kami sama-sama mendaki Gunung Gede.
Sebagai sesama pendaki, kami sudah sangat sering mendengar pendapat yang mengatakan bahwa sifat asli seseorang bisa dilihat begitu berada di ketinggian 3000-an mdpl. Entah benar atau tidak, tetapi selama pendakian, kamu dapat mengamari cara dan usaha pasanganmu dalam menjaga dirimu.
Kenapa sejauh ini saya masih tidak percaya diri untuk menyebut diri saya sebagai pendaki? Salah satunya karena saya ini pendaki yang payah. Persiapan fisik yang kurang membuat saya tertatih-tatih di tanjakan pasir Mahameru yang memang terkenal ekstrim. Pasangan saya yang awalnya begitu menyemangati tanpa lelah sepertinya mulai kehabisan semangat juga.
“Kamu duluan saja” saya berujar pasrah pada akhirnya. Matahari sudah terang menyala, dan saya tahu sebentar lagi jonggring saloka akan meniupkan asap beracunnya ke arah para pendaki di atas sana. Dia yang sudah bersabar menemani saya berjibaku dengan debu dan pasir Mahameru selama hampir 8 jam penuh, rasanya tidak adil kalau terpaksa ikut menyerah hanya karena mental saya yang mulai melemah.
Meskipun puncak terlihat sudah dekat, tetapi saya sudah tidak kuat. Begitu saya kembali mengulang kalimat saya, anehnya dia tetap saja bergeming di tempatnya. Enggan beranjak dan malah kembali menyemangati saya. Bukankah seseorang yang tetap bersikeras mendampingi meski kita sudah merelakannya pergi adalah sosok yang kesetiaannya layak diapresiasi? Dan Alhamdulillah, akhirnya kami berhasil juga menjejakkan kaki di puncak tertinggi tanah Jawa setelah hampir saja menyerah.
Gunung Rinjani memang terkenal cantik, tetapi trek panjangnya benar-benar menguras energi. Terlebih 7 bukit penyesalannya yang membuat saya nyaris menangis penuh sesal karena harus melewatinya. Ditambah lagi cidera otot telapak kaki kanan yang semakin memperparah kondisi saya. Alhasil, 12 jam waktu yang saya habiskan dari Pos Sembalun hingga tiba di camp Plawangan Sembalun. Tetapi saya bersyukur karena pasangan saya tetap bersabar menahan langkahnya demi membersamai saya.
Di depan tenda sebelum istirahat, rombongan kami yang terdiri dari 14 orang berkumpul untuk membahas siapa saja yang ingin menuju puncak dini hari nanti. Pasangan saya cuma bilang begini,
“Saya terserah dia, kalau dia ikut summit, saya juga ikut,” katanya sambil menatap saya.
Jujur saja, saya sempat mengernyit tidak percaya. Salut pada kebesaran hatinya. Saya tahu puncak Rinjani adalah salah satu puncak impian yang menjadi ambisinya. Dan ketika sudah di depan mata, dia masih bersedia mempercayakan pilihannya pada saya yang kondisinya memang sedang tidak baik-baik saja. Meskipun itu berarti kami terpaksa gagal mencumbui puncak Rinjani, tetapi dia berhasil membuktikan kualitas kesetiaannya terhadap pasangan.
***
Saya setuju dengan orang-orang yang bilang bahwa gunung memang menjadi salah satu taman bermain yang akan mengajarkan kita tentang banyak hal, termasuk kesetiaan. Jadi bila pasanganmu termasuk lelaki petualang yang hobinya menjelajah hutan dan menapaki gunung-gunung tinggi, cobalah sesekali ikut bersamanya. Jangan hanya mempertanyakan kesetiaannya yang kerap kali menghilang ketika malam minggu datang. Kamu bisa membuktikan sendiri bagaimana setianya ia dari caranya menjagamu selama pendakian.