Pandemi Covid-19 yang tengah manjangkiti seluruh negeri di dunia telah menimbulkan berbagai permasalahan berat. Tidak hanya sektor kesehatan, lingkungan hidup kini juga mulai terancam seiring meningkatnya jumlah limbah infeksius Covid-19. Kemeterian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memprediksi terjadi lonjakan 30 persen limbah medis infeksius sejak kasus Covid-19 mulai meningkat tajam di Indonesia.
Dilansir dari National Geographic Indonesia, Deputi Ilmu Pengetahuan Bidang Teknik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Agus Haryono menjelaskan bahwa limbah medis infeksius adalah golongan limbah B3 yang memiliki potensi untuk menularkan penyakit dan mengganggu pelayanan kesehatan ke Masyarakat. Agus menyarankan, perlu dilakukan langkah antisipasi atas dampak negatif tersebut.
“Di sungai atau di pantai yang tadinya tidak ada limbah masker namun sekarang ditemukan. Di sinilah diperlukan peran kita untuk meringankan beban masyarakat dan negara dalam penanganan Covid-19,” ujar Agus dalam diskusi Hari Bumi pada 22 April 2020 lalu.
KLHK telah mengeluarkan surat edaran yang berisi Pengeololaan Limbah Infeksius (Limbah B3) dan Sampah Rumah Tangga dari Peanganan Covid-19. Dalam suratnya, KLHK mengkategorikan limbah infeksius selain dari fasilitas kesehatan. Kategori tersebut berasal dari rumah tangga yang terdapat Orang Dalam Pemantauan (ODP), Pasien Dalam Pemantauan (PDP), serta sampah rumah tangga dan sejenis sampah rumah tangga.
Berdasarkan kategori tersebut, sampah masker maupun sarung tangan sekali pakai tidak hanya akan mencemari lingkungan, namun juga mengancam 300 ribu petugas persanpahan dan 600 ribu pemulung. Oleh karena itu dibutuhkan pengelolaan sampah tersendiri dengan standar tertentu agar tidak menjadi permasalahan baru kelak dikemudian hari.
Berbeda dengan jenis limbah rumah tangga pada umumnya, limbah medis infeksius cukup sulit dikelola, apalagi di tengah kondisi pandemi yang masih melanda di Indonesia. China sebagai negara maju mengaku kesulitan dan kewalahan dalam menangani limbah infeksius yang dihasilkan selama puncak pandemi kemarin. Padahal China memiliki tekonologi pengelolaan limbah yang terbilang maju dan canggih.
Teknologi paling baik untuk mengelola limbah B3 adalah autoclave karena tidak menimbulkan emisi atau dioksin meskipun dengan suhu rendah. Tapi di Indonesia umumnya teknologi yang digunakan yaitu insinerator. Butuh penanganan lanjutan jika limbah B3 diolah dengan alat ini karena masih dimungkinkan adanya emisi atau dioksin yang timbul setelah proses pemusnahan di tahap pertama.
Ketersediaan insinerator juga masih sangat terbatas. Di seluruh Indonesia hanya ada 100 rumah sakit yang memiliki insinerator sesuai standar yang telah mengantongi izin operasi. Padahal pengelolaan limbah B3 saat ini sangat penting. Kendala utamanya adalah tidak adanya lahan dan terlalu dekat dengan lingkungan masyarakat, sehingga dikhawatirkan emisi yang dihasilkan akan mengganggu.
Telah disebutkan di awal, bahwa limbah B3 telah mencemari sungai dan pantai yang selama ini menjadi destinasi wisata alam. Tidak hanya akan membuat kotor lingkungan, limbah B3 juga akan membuat kawasan wisata alam tersebut berbahaya bagi manusia dan pengunjung karena berpotensi menjadi perantara yang dapat menularkan berbagai jenis penyakit, terutama Covid-19. Kehidupan flora dan fauna juga terancam karena kandungan kimia berbahaya dalam limbah B3 cukup mematikan.