Komersialisasi: /ko·mer·si·a·li·sa·si/ n perbuatan menjadikan sesuatu sebagai barang dagangan
Meningkatnya trend traveling dan pendakian, mendorong para pelaku wisata alam beramai-ramai mengais recehan dengan memanfaatkan kawasan gunung menjadi destinasi wisata. Kawasan sekitar gunung didandani dengan cantik, lalu diperjualbelikan. Gunung Indonesia mulai ramai dikomersialisasi.
Isu komersialisasi gunung yang belakangan ramai dibicarakan adalah pembangunan tugu nama atau signage di kawasan Gunung Bromo. Kasus yang sempat memanas ini menarik banyak perhatian para pencinta gunung. Mungkin, kamu pun salah satu di antaranya.
Surat terbuka atas nama Sahabat Bromo dan Masyarakat Fotografi Indonesia dilayangkan sebagai bentuk protes dan kekesalan terhadap pembangunan tugu nama Bromo. Meski sempat menuai pro dan kontra, polemik tugu nama Gunung Bromo ini akhirnya berakhir dengan damai.
Sebelum berbicara tentang komersialisasi gunung, tahukah Kamu apa makna komersialisasi itu? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, komersialisasi diartikan sebagai perbuatan dengan menjadikan sesuatu sebagai barang dagangan. Bisa dibilang, segala hal yang mendatangkan keuntungan komersil disebut sebagai bentuk komersialisasi.
Sedangkan dalam konteks konservasi gunung, menurut Kepala Balai Taman Nasional Gunung Merbabu, Edy Sutiyarto, komersialisasi gunung diartikan sebagai suatu bentuk pemanfaatan eksosistem gunung (Gunung Merbabu khususnya) untuk pengembangan wisata alam. Pemanfaatan ekosistem gunung menjadi wisata alam ini dikelola dalam naungan Balai Taman Nasional Gunung Merbabu. Harapannya, wisata alam memiliki daya tarik dan daya saing sehingga diminati oleh banyak pengunjung, khususnya pengunjung wisata alam atau eco-tourism.
Hanya saja, yang menjadi fokus perhatian adalah sejauh mana ekosistem alam di kawasan Balai Taman Nasional boleh dikomersialisasikan. Dan, semua aturan terkait aspek legalitas pemanfaatan kawasan Taman Nasional dengan tujuan komersil dapat ditemukan dalam peraturan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada No. P73, P86, dan P31.
Masyarakat sekitar boleh saja mengkomersilkan gunung dengan membangun destinasi wisata, membuka jasa porter gunung, atau pun jasa basecamp jalur pendakian, tapi tetap harus memperhatikan peraturan yang ada, bukan sembarang mendirikan usaha jasa atau bangunan fisik.
Semua hal tersebut bisa dilakukan melalui proses perizinan. Sebagai contoh, spot selfie di desa Grenden. Destinasi wisata yang baru akan dibuka November ini terletak di lereng Gunung Merbabu. Untuk melegalkan usaha spot foto ini, pengelola bisa melakukan kerjasama dengan melakukan perizinan pemanfaatan ekosistem taman nasional dalam lingup jaza ke Balai Taman Nasional Gunung Merbabu. Setelah melewati semua perizinan, maka pembangunan spot wisata pun legal dan sah di mata hukum.
Hal tersebut juga berlaku dalam pendirian basecamp pendakian Gunung Merbabu atau pembukaan jasa guide / porter. Semua kegiatan yang berkaitan dengan pemanfaatan ekosistem taman nasional harus melalui proses kerjasama dengan Balai Taman Nasional setempat.
Meski legal, masyarakat tak boleh asal-asalan memanfaatkan ekosistem taman nasional. Terdapat zonasi atau pembagian area yang dilindungi dan yang boleh dikomersialisasikan. Secara umum, taman nasional gunung-gunung di Indonesia membagi daerahnya menjadi 5 zona, yaitu zona inti, zona rimba, zona rehabilitasi, zona pemanfaatan, dan zona tradisional.
Wisata Grenden, spot wisata alam yang ada di Magelang menjadi salah satu dari banyaknya destinasi wisata alam dengan memanfaatkan kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu.
Menurut Kepala Balai Taman Nasional Gunung Merbabu, Edi Sutiyarto, Wisata Grenden akan dijadikan role model atau wisata percontihan dalam hal pemanfaatan wisata alam di kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu. Wisata alam Grenden yang baru akan launching pada akhir November ini telah melalui proses perizinan sesuai dengan aturan. Mereka bekerja sama dengan Balai Taman Nasional dan melalui tahapan proses pendirian pemanfaatan kawasan wisata alam.
Supaya pendirian wisata alam ini tidak mengganggu keseimbangan ekosistem, Edi Sutiyarto menyarankan kepada semua masyarakat untuk memperhatikan kemungkinan terjadinya kerusakan-kerusakan alam saat memanfaatkan kawasan taman nasional untuk tujuan komersil. Salah satu caranya dengan meminimalisir penggunaan bahan buatan manusia dalam pembangunan wisata alam di kawasan taman nasional. Bahan-bahan yang ramah lingkungan seperti kayu, bambu, atau pun jerami bisa dijadikan prioritas utama.
Selain itu terkait dengan penulisan signage atau tugu nama destinasi wisata sebaiknya tidak hanya dibangun dengan bahan yang ramah lingkungan, namun juga harus mempertimbangkan estetika yang ada. Caranya dengan tidak membangun signage dengan berlebihan.