Film 127 hours menjadi fenomena tersendiri di kalangan pencinta film dan traveling. Di balik fenomena itu, ada kisah nyata film 127 hours yang belum banyak orang tahu. Kisah mengerikan Aron Ralston yang harus menghadapi situasi hidup mati di tengah alam bebas.
Setahun sebelum kecelakaan besar yang merenggut lengan kanannya, Aron Ralston adalah seorang teknisi di perusahaan terkemuka dunia, Intel. Dia memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dan bertekad mendaki ke semua gunung yang menjadi bagian Colorado’s Fourteeners, gunung-gunung di Colorado dengan ketinggian lebih dari 14.000 kaki.
Aron Ralston memulai pendakiannya dengan menjelajahi bebatuan merah dan berpasir di Taman Nasional Canyonlands di bagian tenggara Utah. Perjalanan kali ini bukan lah yang pertama. Karena bagi Ralston, Canyonlands National Park merupakan “rumah” keduanya.
Perjalanannya ke Canyonlands National Park dilakukannya seorang diri. Tak ada yang tahu keberadaannya waktu itu. Bahkan orang terdekat seperti ibu nya pun tak mengetahuinya.
Dengan menggendong ransel kecil berisi seliter air, dua potong burrito, beberapa potong coklat, peralatan multifungsi Leatherman murahan, P3K, dan alat panjat tebing, dia dengan percaya diri ingin mendaki Canyonlands National Park. Tak lupa, dia membawa headphones untuk menemani perjalanannya dan kamera video untuk merekam segala aktivitasnya. Tapi sialnya, dia tak membawa handphone saat terjebak di dalam ceruk Bluejohn Canyon.
Naas, perjalanannya kali ini tak semulus biasanya. Dia terperosok jatuh ke dalam ceruk setinggi 65 kaki. Menurut pengakuan Aron Ralston, rasa sakit saat terjerembab di dalam ceruk sangat luar biasa. Seratus kali lipat dari sakitnya jari tangan saat terjepit pintu.
Terjebak di dalam ceruk tebing Bluejohn Canyon sendirian selama 127 jam membuatnya dihantui kematian yang diam-diam memburunya. Kondisi makin buruk dengan bekal logistik yang habis, suhu udara hanya 3 derajat celcius, dan parahnya lagi, Ralston mengalami halusinasi. Saat malam-malam terakhirnya, dia melihat seorang anak laki-laki berusia tiga tahun sedang bermain-main dengan lengan kanannya. Menurut pengakuan Aron Ralston, anak kecil itu adalah bayangan anaknya kelak.
Tak banyak pilihan, membuat Ralston punya pikiran untuk memotong lengan kanannya agar tetap hidup atau mati perlahan. Bukan hanya fisik, emosi dan mental Ralston diuji saat itu. Lalu, keesokan harinya, dengan kemarahan yang memuncak, dia melemparkan tubuhnya pada batu besar.
Saat itu jugalah, Ralston mengeluarkan alat multifungsi Leatherman murahan miliknya untuk mengiris daging lengannya. Dalam kisah nyatanya, dia membutuhkan waktu hampir satu jam memotong lengannya menggunakan pisau tumpul.
Ralston mengaku merasakan dua hal secara bersamaan ketika mengamputasi lengannya. Satu sisi, rasa sakit terus menyiksanya dan di sisi lain, amarahnya mendorong dia untuk segera mengakhiri penderitaan dan kembali pulang ke rumah.
Namun, adegan pemotongan lengan Ralston menjadi momen paling mengerikan bagi para penonton film. Melansir dari huffingtonpost.com, banyak penonton yang pingsan dan muntah saat menyaksikan adegan tersebut.
Dalam kisah nyatanya, Ralston memakan waktu kurang lebih 10 jam untuk mendapatkan pertolongan dari para medis. Dia bisa saja mati karena kehabisan darah, namun dengan peralatan pendakiannya, dia bisa meloloskan diri dari tebing setinggi 65 kaki.
Saat itu, dia ditemukan oleh tiga turis Belanda yang sedang dalam liburannya. Turis tersebut memberinya air mineral dan membantunya sebelum akhirnya helikopter penyelamat yang dikirim keluarganya menemukannya.
Kecelakaan yang hampir merenggut nyawan Ralston telah memberikan pencerahan pada kehidupan spiritualnya. Setelah kejadian itu, dia telah berubah menjadi seorang yang mencintai keluarganya dan dekat dengan Tuhannya. Karena tanpa keluarga dan Tuhan, dia belum tentu bisa hidup sampai sekarang.