Khanduri, Sembelih Sapi Untuk Selesaikan Pertikaian ala Masyarakat Sabang

Perjalanan ke ujung barat Indonesia di Sabang memberi banyak pengetahuan baru tentang kearifan lokal masyarakatnya.

SHARE :

Ditulis Oleh: Ashadi Natha Prasetyo

Foto dari Witaworld

Kapal perlahan mulai bersandar di Pelabuhan Balohan. Hiruk pikuk penumpang sesekali diselingi suara teriakan buruh angkut dan lengkingan peluit kapal menambah suasana ramai sore itu. Matahari mulai berpaling dari keindahan Pulau Weh dan akan berganti dengan terangnya sinar rembulan.

Teksi.. Teksi.. Mau kemana bang? Sini saya antar. Berapa orang?’

Begitulah suara supir taksi berebut penumpang. Saya pun bergegas mengambil HP untuk menghubungi supir yang telah kami sewa. Berperawakan besar dengan kumis tipisnya, sang supir bergegas membawa kami ke dalam mobil dan memacu kendaraannya membelah jalan Kota Sabang.

Selamat Datang di Sabang. Begitulah sambutan yang saya lihat dari banner berukuran cukup besar seakan menyambut wisatawan yang siap menikmati keindahannya.

Tidak banyak percakapan yang bisa saya lakukan dengan sang supir. Lebih baik saya menikmati hutan hijau yang masih perawan dan lapangnya jalan karena letih yang mendera tubuh selama perjalanan.

Peraturan di Sabang memang tidak seketat di Aceh. Ini yang mengundang turis lokal maupun mancanegara untuk menikmati indahnya surga dari barat ini.

Saya pun melangkahkan kaki menuju pasar rakyat yang menjual berbagai jenis hasil alam, toko suvenir, restoran, hingga penyedia jasa penyelaman. Percakapan menggunakan bahasa daerah mulai akrab di telinga saya, walaupun saya tidak tahu artinya.

Bang saya mau keliling Sabang. Bisa antar saya?’

Penasaran nih kata orang kotanya bagus,‘ sambung saya.

Pemandangan sepanjang perjalanan yang tampak hanyalah permadani hijau, jalan yang berkelak-kelok membelah bukit mengitari Sabang yang luas. Mentari tepat di atas kepala. Perut pun mulai bersuara pertanda ingin segera diisi. Saya mengamati hiruk pikuk Kota Sabang.

Bang ini kan kota, tapi kok sepi?’

Iya. Disini kotanya. Disini itu hanya ramai sampai jam 12 siang. Setelah itu orang-orang akan kembali ke rumah untuk beristirahat,’ balasnya dengan logat khas Aceh.

Tampaknya pendatang di Aceh membawa pengaruh cukup besar bagi pertumbuhan warung kopi disini. Hampir setiap warung kopi selalu penuh oleh pemuda-pemudi yang asyik bercengkrama sambil menikmati fasilitas wi-fi untuk berselancar di dunia maya.

Orang Aceh dengan orang Sabang itu hobinya sama, nongkrong di warung kopi sambil makan jajanan pasar,’ kata bang supir.

Mungkin serasa di Starbuck ya kalau nongkrong disini,’ gurauku.

Saya pun melanjutkan perjalan mengelilingi kota ini. Tampak rumah ibadah Masjid dan Gereja berdiri berdekatan. Toleransi di sini nampaknya cukup bagus.

Bang kemarin waktu konflik di Aceh, Sabang kena dampaknya nggak?’ tanyaku dengan rasa penasaran.

Untungnya nggak, Dik. Kami disini aman-aman saja. Nggak terpengaruh apa yang sedang terjadi di Aceh. Kami hanya ingin hidup damai disini,’ sambung si abang.

Saya melanjutkan perjalanan ke Tugu 0 Kilometer. Abang supir mengemudikan mobilnya dengan lincah. Melewati pos militer, membelah rimbun nya pepohonan menuju tapal batas paling barat wilayah Indonesia. Suasana ramai membuat saya tidak bisa berlama-lama disana. Sangat tidak nyaman karena harus berdesak-desakan dengan orang lain untuk mendapatkan spot foto.

Aduh! Mana dompet saya? Bang kiri sebentar,‘ saya panik dompet saya tidak ada di saku dan tas. Muka saya pucat, keringat dingin, tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Saya mencoba mengingat-ingat tempat dimana saya berfoto di Tugu 0 Kilometer.

Dik, dompetnya seperti apa?’ tanya si abang. Saya pun menjelaskan secara detail bentuk dompet tersebut.

Secercah harapan muncul. ‘Dik, dompet ketemu. Nanti kita ke Balohan untuk ambil. Sudah dibawa sama teman saya.’

Gila! Dompet gue nggak ilang! Hari gini masih ada orang yang jujur. Terima kasih Tuhan. Masih ada orang yang baik di bumi ini.’ sahutku takjub.

Adat sembelih sapi untuk selesaikan pertikaian

Pagi sekali saya bangun menikmati udara segar dan hangatnya mentari pagi di selingi kicauan burung yang saling bersahut-sahutan. Saya bertemu dengan guide diving yang sedang duduk santai sambil menikmati kopi.

Pagi pak! Cuacanya cerah ya,’ sapaku.

Iya. Cerah sekali. Enak buat sarapan dan minum kopi,’ sembari menghisap sebatang rokok dari jarinya.

Adik nggak diving?’ tanyanya kepadaku.

Nggak Pak. Saya nggak bisa diving. Cuma bisa snorkeling aja,’ balasku sambil tertawa.

Tiba-tiba pertanyaan ini muncul dalam pikiranku. ‘Pak waktu tsunami, Sabang aman kah? Rusak seperti Aceh enggak?’

Aman Dik. Ya walaupun ada korban yang meninggal, tapi tidak sebanyak di Aceh. Ketika tsunami, air laut sampai ketarik jauh. Ikan-ikan pada klepek-klepek. Orang-orang pada ngambilin tuh ke bawah. Eh nggak tahunya ada tsunami. Berlarianlah kita semua,’ kata si bapak mengingat kisah itu.

Maka dari itu, kita setiap hari malam Jumat pantang untuk pergi ke laut untuk menghormati kejadian tsunami. Pada hari-hari besar nelayan, kita pun dilarang melaut. Dan kita juga tidak boleh menangkap ikan pakai bahan peledak dan zat kimia. Nanti ikan lari dari sini,’ celoteh bapak menjelaskan secara detail.

Lalu Pak kalau ada yang melanggar, sanksi nya seperti apa? Apa langsung ditangkap dibawa polisi atau dicambuk seperti di Aceh?’ tanyaku penasaran.

Si bapak menjelaskan secara perlahan. ‘Sebenarnya penyelesaian masalah disini kebanyakan memakai musyawarah terhadap pelaku dan masyarakat. Kita nggak bisa main hakim sendiri. Ujung-ujungnya dosa. Lagipula tiap-tiap wilayah memiliki pemangku adat yang bisa menyelesaikan masalah dan peran pemangku adat disini sangat besar. Jadi kalau bisa diselesaikan secara kekeluargaan, kenapa harus dibawa ke polisiDisini sikap gotong royong masih dipelihara dengan baik. Setiap penyelesaian konflik dengan kelompok yang berkelahi, akan diadakan acara Khanduri namanya. Biasanya memakai beberapa ekor sapi untuk disembelih oleh beberapa orang yang berkelahiNah di Khanduri ini, orang-orang yang tadinya berkelahi bisa melupakan permasalahan nya. Malah saling membantu proses Khanduri ini.’

Saya pun berpikir sejenak. Benar juga kata bapak. Selama permasalahan bisa diselesaikan dengan baik dan dilakukan secara musyawarah, tidak perlu adu urat, hingga dibawa ke polisi, pasti semua akan beres.

Tapi di kota besar mana mungkin? Yang ada langsung adu jotos!’ timpalku sambil tertawa.

Waktu berjalan dengan cepat, saya terpaksa pamit kepada Bapak karena masih akan melanjutkan jalan-jalan saya di Sabang.

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU