Telah 7 tahun aku melakukannya. Perjalanan panjang menyusuri jalanan Pulau Jawa. Dari panasnya pantura, berlikunya perbatasan Jawa Tengah-Jawa Barat, sedikit tertinggalnya daerah Banten selatan, ramahnya jalanan Jogja, sampai dengan menembus jalan berliku dan sepi menuju Pacitan.
Sometime the road you travel does’t lead to the destination you had hoped for. But if you can look back on the trip and smile, then it was worth it
Aku telah merasakannya. Perjalananku di mulai ketika harus menembus jalanan Temanggung-Wonosobo untuk mengunjungi kawasan Dataran Tinggi Dieng. Berharap untuk memangkas jarak sejauh 45 KM, aku memutuskan untuk melalui jalur Temanggung-Parakan-Candiroto-Tambi kemudian Dieng.
Awalnya motor bebek yang aku pakai aman saja mengatasi jalanan tanjakan pembuka. Saat melewati sebuah tanjakan berliku membentuk huruf S dengan elevasi kurang lebih 60 derajat, memaksa aku harus menurunkan teman yang aku bonceng. Lepas dari tanjakan mematikan itu, ada sebuah desa yang terlihat tentram. Suhu dingin khas pegunungan membuatku nyaman, ditambah segarnya udara pegunungan dengan pemandangan kebun teh. Saat itu sekitar jam 8 pagi, cahaya matahari yang masih perawan hanya muncul dari punggung gunung Sindoro.
Pacitan, juga termasuk korban perjalananku. Hanya bermodal informasi di Pacitan terdapat pantai berpasir putih tanpa tahu namanya, aku meluncur kesana tanpa pikir panjang. Dalam perjalanan, aku mengubah jalur untuk dilalui. Seharusnya lewat Solo lebih cepat. Tapi aku memutuskan untuk mengunjungi Jogja. Sekedar untuk say hello dan makan nasi kucing di Alun-alun Kidul yang ternyata lebih mahal dari pada makan di warteg. Menyusuri jajaran Pantai Wonosari yang waktu itu belum begitu terkenal. Mulai dari Baron, Kukup, Sundak, hingga Siung (pantai favorit bagi para pemanjat tebing). Menembus perbatasan Wonogiri-Pacitan melalui jalur alternatif. Jalanan kecil, sepi, menanjak di tambah hujan yang cukup lebat.
Oke ini Pacitan, kutanyakan dimana letak pantai paling dekat dari pusat kota. Kami pun menuju Pantai Teleng Ria-info dari orang yang aku tanya. Sepertinya ini bukan pantai yang aku cari, pantai ini mempunyai pasir sedikit gelap. Tidak seperti info yang aku dapat, pantai dengan pasir putih, bersih dan tidak begitu ramai. Pantai ini sangat berbeda dengan info sebelumnya. Berbekal penasaran akhirnya kami menemukannya. Hidden paradise, Pantai Klayar.
Perjalanan menuju Bandung masih menjadi rekor terlama yang belum terpecahkan lagi. Hampir satu minggu aku melahap jalur tengah Jawa Tengah, menembus jalan berliku perbatasan Jawa Tengah – Jawa Barat, dan menyusuri jalur Pantura untuk kembali ke Semarang.
Di Ciamis, seorang polisi berhasil merayu kami untuk mengambil jalur memutar Tasikmalaya-Garut-Bandung. Padahal dari Ciamis bisa langsung menuju ke Bandung, hanya karena sebutan “Priangan Timur” akhirnya kami menuruti saran dari beliau. Akhirnya aku tahu dimana itu tanjakan Nagrek, daerah yang selalu menghiasi liputan mudik lebaran.
Di daerah ini kami menemukan sebuah warung makan Lamongan. Perjalanan lebih dari 12 jam mengendarai sepeda motor dari Purbalingga berhasil mengubah cara pandangku tentang apa itu nikmat. Tiga piring nasi uduk dengan lauk bebek goreng habis dalam waktu 10 menit.
Terkadang kenikmatan tidak selalu berbanding lurus dengan kemewahan, namun rasa syukurlah selalu menjadi kunci seberapa besar nikmat itu ada.
Menelusuri sisi selatan Banten sedikit memberi gambaran ternyata tidak semua daerah di Pulau Jawa itu mempunyai akses transportasi yang baik. Sepanjang jalur Pelabuhan Ratu-Bayah-Malimping-Rangkas Bitung-Lebak hingga menuju kawanan Taman Nasional Ujung Kulon.
Desa wisata Sawarna adalah tempat yang kami tuju. Sebuah desa dengan potensi wisata yang sangat besar, namun akses umum untuk kesana sangat kurang. Ada beberapa pantai yang aku kunjungi di desa wisata ini, menembus hutan untuk sampai di Pantai Sawarna yang terkenal sebagai tempat surfing. Sedikit menyusuri garis pantai, kami bertemu dengan Tanjung Layar. Sebuah tebing batu di pesisir pantai berbentuk seperti layar. Menembus bukit terjal yang tidak layak di lalui motor, kami memaksakan diri hanya untuk melihat sunrise di pantai Teluk Legon Pari. Menikmati kelapa muda, sambil berjalan menuju Pantai Karang Taraje dengan deburan ombaknya yang khas. Sepanjang perjalanan aku hanya sekali mengisi bahan bakar di pom bensin, selain itu penjual bahan bakar eceran menjadi pelarian agar motor tetap bisa jalan mengantarku pulang.
Perjalanan ini masih belum selesai, aku masih harus berkeliling Indonesia. Tinggal tunggu waktu yang tepat. Kenapa aku lebih memilih Jawa dulu? Aku berprinsip kenali dulu daerah mu dan jadilah duta untuk tempat tumbuh besarmu. Setelah itu kenali negerimu dan jadilah duta untuk bangsamu.