Manusia purba dapat didefinisikan sebagai kelompok manusia yang hidup pada Kala Pleistosen sekitar 2.580.000-11.700 tahun yang lalu. Pada saat itu, manusia purba belum mengenal tulisan atau aksara, sehingga disebut juga manusia prasejarah (Prehistoric People). Secara morfologi, fisik manusia purba memiliki banyak perbedaan dengan karakteristik manusia modern.
Berdasarkan catatan sejarah, manusia purba pertama hidup dan bermukim di daratan Benua Afrika. Setelah membentuk kelompok yang lebih kuat, sebagian dari mereka mengembara ke seluruh penjuru dunia, termasuk di Indonesia. Setidaknya terdapat delapan jenis manusia purba yang pernah menjalani kehidupan di Indonesia dari setiap periode di Kala Pleistosen Awal, Pleistosen Tengah, dan Pleistosen Akhir.
Enam dari tujuh spesies manusia purba di Indonesia ditemukan di Pulau Jawa, tepatnya di Situs Sangiran yang berada di Kubah Sangiran yang menjadi bagian dari Depresi Solo di kaki Gunung. Dari penemuan fosil manusia purba di tempat ini terungkap serangkaian benang merah sejarah yang sangat terperinci. Tidak hanya fosil manusia purba saja, berbagai peralatan dan fosil hewan purba berusia jutaan tahun juga ditemukan.
Semua fosil yang ditemukan disimpan dan dirawat dengan baik di Museum Purbakala Sangiran yang berlokasi di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Oleh UNESCO, museum ini telah ditetapkan sebagai Warisan Dunia sejak tahun 1996. Saat ini Museum Purbakala Sangiran banyak dikunjungi sebagai destinasi wisata edukasi dan area penelitian tempat penelitian kehidupan prasejarah terlengkap di Asia, bahkan dunia.
Situs Sangiran sangatlah luas, mencapai 56 km² yang meliputi wilayah Gemolong, Plupuh, dan Kalijambe di Sragen serta Gondangrejo di Karanganyar. Karena kawasan Situs Sangiran terlalu luas, selain Museum Purbakala Sangiran juga dibangun empat klaster museum lainnya. Diantaranya adalah Museum Sangiran Klaster Ngebung, Museum Sangiran Klaster Dayu, Museum Sangiran Klaster Bukuran, dan Museum Sanguran Klaster Krikilan.
Homo floresiensis menjadi fosil manusia purba yang paling terakhir digali di wilayah Indonesia. Homo floresiensis ditemukan pada tahun 2004 oleh tim arkeologi dari Australia dan Indonesia di sebuah gua yang terletak di Liang Bua, Flores. Bentuk tubuhnya pendek, hanya setinggi 100 cm saja. Konon Homo floresiensis bisa sampai di Flores dengan berlayar langsung dari Benua Afrika.
Hal yang membuat manusia purba ini begitu kontroversial ini adalah umur fosilnya yang tergolong muda. Kajian mendalam menghasilkan bahwa Homo floresiensis hidup diantara rentang 94.000-13.000 tahun lalu, yang mana manusia modern sudah hidup dan menempati Flores. Penelitian ini sangat mencengangkan karena berarti dahulu pernah ada masa dimana Homo floresiensis dan manusia modern hidup berdampingan.
Hidup jauh dari wilayah gunung berapi dan selalu terisolir membuat Homo floresiensis diduga mampu bertahan dari kepunahan global kelompok manusia purba. Para ahli memperkirakan, Homo floresiensis yang pernah hidup bersama dengan manusia modern di Flores kemudian menciptakan mitos tentang Ebu Gogo. Konon Ebu Gogo adalah manusia pendek yang berjalan kikuk dan telinga menjulur. Beberapa kesaksian menuturkan Ebu Gogo mampu menirukan ucapan manusia.
Banyak pertanyaan yang menanyakan tentang kenapa tidak ada satupun fosil dari spesies dinosaurus yang ditemukan di Indonesia. Jawabannya sederhanya, saat masa kejayaan dinosaurus di bumi, daratan Indonesia belum terbentuk. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa daratan Indonesia terbentuk sekitar 30 juta tahun lalu, sedangkan dinosaurus punah sekitar 65 juta tahun lalu.
Pada masa pembentukan benua di Kala Mesozoikum, daratan Indonesia masih berada di bawah laut. Hal ini dikuatkan dengan penemuan fosil yang sumuran dengan dinosaurus di Indonesia, yaitu Ichttyosaurus ceramenis yang ditemukan di Pulau Seram dan Mixosaurus timorensis di NTT. Kedua makhluk purba tersebut adalah spesies yang menghuni lautan.
Hanya wilayah Kalimantan yang sudah muncul ke permukaan pada masa dinosaurus hidup. Saat itu, Pulau Kalimantan masih bersatu dengan Eurasia atau Benua Gondwana. Namun dari hasil studi menjelaskan, dinosaurus sangat menghindari wilayah ini karena berada di wilayah ekuator atau khatulistiwa yang memiliki suhu cukup panas dan kering. Ditambah lagi dengan tingkat karbon dioksida tinggi yang sering menyulut kebakaran hutan alami.