Gunung Merapi merupakan gunung paling aktif sekaligus berbahaya di dunia. Secara rutin setiap 2-5 tahun sekali, dipastikan gunung berapi ini akan mengalami erupsi. Catatan erupsi Gunung Merapi telah diketahui sejak 3.000 tahun lalu. Salah satu yang terdahsyat dan fenomenal terjadi pada tahun 1006 M yang konon mengubah sejarah peradaban Jawa.
Catatan dari Prasasti Pucangan yang ditulis pada masa Raja Airlangga dari Kerajaan Kahuripan mengungkapkan terjadinya bencana besar di Mataram Kuno pada tahun 928 Saka atau 1006 M. Kerajaan Mataram Kuno atau yang disebut juga Mataram Hindu merujuk pada Kerajaan Medang yang berada di sekitar wilayah Yogyakarta kemudian di Kedu, dekat Temanggung.
D.H Labberton dalam bukunya berjudul Oud Javaanesche Gegevens Omtrent de Vulkanologie van Java (1992) menjelaskan bahwa bencana besar yang dimaksud adalah kejadian vulkanik Gunung Merapi. Hal ini didukung oleh R.W. van Bemmelen melalui The Geology of Indonesia (1949). Menurut Bemmelen, erupsi Gunung Merapi di tahun 1006 telah memaksa Mataram Kuno memindahkan pusat pemerintahannya ke wilayah Jawa Timur.
Sri Maharaja Rakai Hino Sri Isana Wikramadharmotunggadewa atau Mpu Sindok merupakan penguasa Kerajaan Mataram Kuno yang memutuskan perpindahan tersebut. Sontak, peradaban Hindu di Yogyakarta serta Jawa Tengah perlahan hilang dan terlupakan. Candi Prambanan dan Borobudur yang megah pun runtuh sebelum ditemukan kembali oleh Hindia Belanda.
Bukan tanpa alasan, erupsi Merapi pada tahun 1006 M telah mengganggu pemerintahan. Lahar dingin pasca erupsi Gunung Merapi membuat Sungai Progo terbendung dan membentuk Perbukitan Gendol yang berada di sisi barat Gunung Merapi. Gempa vulkanik dan erupsi dahsyat Gunung Merapi juga telah membuat kondisi Candi Mendut serta Borobudur rusak parah.
Candi Sambisari yang terletak di Kalasan, Kabupaten Sleman juga terkena dampak erupsi ini. Candi Sambisari terkubur dalam lahar dingin setinggi 6,5 meter di bawah tanah. Diduga, lahar dingin dari erupsi Gunung Merapi pada tahun 1006 M yang berupa batu, pasir, dan tanah telah menimbun candi Hindu yang tidak jauh dari Candi Prambanan dan Kalasan tersebut.
Karena kondisi alam yang tidak stabil inilah, Mpu Sindok memutuskan untuk memindahkan pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno dari Yogyakarta dan Jawa Tengah ke Jawa Timur, tepatnya di sekitar daerah Jombang sekarang. Meskipun begitu, masih banyak perdebatan dan pro-kontra terkait keabsahan dari fakta sejarah erupsi Gunung Merapi ini.
Pendapat Labberton dan Bemmelen menuai kontroversi. Boechari lewat risetnya Some Consideration of The Problem of The Shift of Mataram’s Center of Goverment from Central toE ast Jawa in The 10th Century A.D pada tahun 1976 membantah bahwa erupsi Gunung Merapi terjadi pada tahun 1006 M. Menurut Boechari terdapat salah tafsir dalam membaca Prasarti Pucangan.
Bencana besar yang dimaksud baru terjadi tahun 1016 M ketika masa Raja Dharmawangsa berkuasa (991-1016 M). Itu juga bukan disebabkan aktivitas vulkanik, tapi diserang oleh kerajaan lain yang sekaligus mengakhiri era Kerajaan Mataram Kuno. Berdasarkan Prasasti Anjukladang dan Candi Lor, Mpu Sindok diketahui berkuasa tahun 929-947 M. Ini berarti tahun 1006 M saat erupsi Gunung Merapi, Mataram Kuno memang sudah pindah.
Belum bisa dipastikan versi mana yang benar. Namun begitu, fakta bahwa erupsi Gunung merapi di tahun 1006 M memang berdampak besar serta mempengaruhi kehidupan masyarakat Mataram Kuno. Terdapat tiga alasan yang mungkin menyebabkan perpindahan pusat pemerintahan Mataram Kuno, yaitu intensitas Gunung Merapi yang tinggi, menghindari serangan dari Sriwijaya, atau mencari lokasi pusat pemerintahan yang strategis.