Di Suatu Tempat Bernama Pulau Muna

Pulau Muna, pulau tak terjamah wisatawan di Sulawesi Tenggara. Banyak fakta-fakta menarik Pulau Muna yang akhirnya tersibak setelah berkunjung ke sana

SHARE :

Ditulis Oleh: Azhari Fauzi

Foto oleh Azhari Fauzi

Corak layang-layang yang terdapat di Goa Sugi Patani (masih satu kawasan dengan Kabori dan Metanduno) ternyata digambar sejak empat ribu tahun silam. Ini berarti, orang Muna telah mengenal dan bermain layang-layang jauh sebelum bangsa Tiongkok, yang selama ini dikenal sebagai tempat layang-layang berasal

 

Tiga puluh tiga jam berlayar di perairan Teluk Bone, akhirnya kami kembali melihat daratan. Enam September pagi itu, kapal yang saya tumpangi merapat ke Pelabuhan Nusantara di Raha.

“Mas Ade ya? Saya Umar, La Umara Hadi,” sapa seorang berpakaian PNS sembari menjabat akrab. Umar memang telah menunggu kedatangan kami. Beberapa waktu sebelumnya, atas rekomendasi seorang teman, saya mengontak pegawai Kecamatan Towea ini untuk menjadi local guide di Pulau Muna. Umar merupakan alumnus IPDN Jatinangor tahun 2007. Setidaknya, dia sudah cukup terbiasa berinteraksi dengan anggota tim yang kebanyakan berdarah Bandung ini.

Umar mengajak berteduh ke sebuah warung di area pelabuhan sekalian membincangkan rencana pergerakan. Sambil meluruskan badan yang lumayan pegal dihoyak gelombang, Umar mulai menjelaskan potensi daerahnya. Dari yang berada di sekitar Raha (Ibukota Kabupaten) hingga ke wilayah yang harus ditempuh menyeberang selat.

Jujur, karena mepetnya pemberitahuan keberangkatan, riset awal yang dilakukan pun terbilang minim. Sehingga, cerita-cerita yang disampaikan Umar menjadi sangat menggugah ketertarikan. Terbayang keeksotisan sebuah pulau yang tak jamak dikenal oleh para lifestyle traveller yang mendadak ramai akhir-akhir ini. Tak menunggu lama, begitu menandaskan segelas saraba (minuman hangat khas Sulawesi Tenggara, diolah dari jahe-jahean), kami melesat meninggalkan area dermaga.

Motor bebek mengarah ke selatan melalui jalan kabupaten yang sedang terik. Sambil terus mengendarai motornya, Umar bercerita mengenai pertumbuhan yang terjadi di kampung halamannya itu. “Prasarana jalan yang cukup lebar dan mulus ini mulai dikembangkan pada masa pendudukan Belanda. Pemerintah kolonial melakukannya untuk memperlancar jalur distribusi jati, kopra dan kapuk yang persediannya melimpah di Muna,” terang Umar.

Konon, akibat aktivitas pelayaran dan niaga ini pulalah Muna telah menjadi kota pantai yang ramai sejak awal abad 20. Pada masa itu, kapal penyeberangan Hindia Belanda, KPM (Koninklijk Paketvaart Maatschappij) dan NHM (Nederlandsche Handel Maatschappij) sudah memasukkan pulau yang terletak antara Kabaena dan Buton ini sebagai titik persinggahannya.

Setelah 15 menit melintas jalan berkontur naik turun, aspal mulai berganti jalan tanah berbatu. Di kiri kanan menjulang bukit karang dengan ketinggian bervariasi. Beberapa kali motor bebek yang kami tunggangi kandas menghantam batu, dan meraung karena tanjakan lumayan curam.

Perjalanan semi-offroad ini berakhir di sebuah lapangan terbuka dengan beberapa pondokan kayu. “Selamat datang di Liangkabori,” ujar Umar sumringah. Objek pertama yang kami datangi ini berupa goa alam selebar 30 meter. Kabori merupakan jenis goa horizontal sedalam 50 meter, sehingga tak dibutuhkan perlengkapan atau teknik khusus penelusuran goa untuk mengeksplorasinya.

Sebelum memasuki goa, Umar mengajak sowan ke rumah sang juru kunci terlebih dahulu. Seperti kebanyakan “penjaga” di situs-situs berbagai pelosok nusantara, juru kunci Liangkabori ini juga seorang bapak berusia lanjut, 73 tahun. Pak La Ode Samady, menerima kedatangan kami dengan wajah yang terlihat masih segar dan enerjik.

Beberapa saat menjelaskan maksud kedatangan, bertiga kami kemudian berkeliling ke goa-goa yang ada. Eureka! Begitu memasuki mulut goa, saya dibuat terkesima dengan suguhan visual yang tersaji di hadapan. Stalagtit dan stalagmit menjulur-julur, beberapa diantaranya masih ditetesi air. Yang lebih membuat takjub lagi, goa yang terbentuk pada masa Neolitik ini dihiasi banyak sekali lukisan cadas di dinding dan langit-langitnya.

Ingatan saya menerawang pada foto-foto tim ekspedisi Tondoyan Wanadri 2012 yang banyak menyajikan imaji serupa. Tiga tahun lalu tim ini melakukan pemanjatan first ascent setinggi 1.071 meter ke Ilas Tondoyan dan pendataan goa-goa prasejarah di sekitar Hulu Bengalon, Sangkulirang, Kalimantan Timur.

“Gambar-gambar ini menceritakan kehidupan masa lampau orang Muna. Motifnya beragam. Perahu, binatang ternak, tapak tangan, juga layang-layang,” papar Pak Samady menerangkan lokasi yang telah puluhan tahun dijaganya itu. Tak terbayang, teknik apa yang digunakan manusia berabad silam untuk membuat karya seni yang berada di ketinggian empat hingga dua puluh meter itu. “Untuk proses pewarnaan, dulu nenek moyang kami melarutkan darah hewan bersama beberapa bahan yang tidak diketahui pasti komposisinya,” timpalnya lagi menjelaskan mengenai corak monochrome kemerahan yang menjadi warna utama pada 130 gambar prasejarah di Kabori ini.

Foto oleh Azhari Fauzi

Usut punya usut, ternyata ancient-rockart dengan jumlah lebih banyak justru berada di Metanduno, 150 meter dari Kabori. Di Metanduno terdapat 330 lukisan yang telah diinventarisir. Dalam buku “Southeast Sulawesi: Island of Surprises”, Judyth Gregory-Smith mencatat bahwa leluhur Muna menjadikan goa sebagai tempat berlindung pada masa 3.000 hingga 200 tahun yang lalu. Sehingga, karakter pada berbagai corak yang ada di lukisan cadas ini dimungkinkan mengisahkan mengenai pola kehidupan yang mereka jalani pada masa itu.

Yang tak kalah menarik, merujuk sebuah hasil penelitian pada tahun 1997, corak layang-layang yang terdapat di Goa Sugi Patani (masih satu kawasan dengan Kabori dan Metanduno) ternyata digambar sejak empat ribu tahun silam. Ini berarti, orang Muna telah mengenal dan bermain layang-layang jauh sebelum bangsa Tiongkok, yang selama ini dikenal sebagai tempat layang-layang berasal. Guna mempertahankan tradisi, sekelompok perajin di desa Waara Katobu, Lawa dan Tongkuno masih terus mempertahankan pembuatan ”kaghati kolope” (nama lokal layang Muna) ini. Walau persediannya di alam sekarang jauh berkurang, penggunaan bahan dasar daun gadung, bambu dan rotan masih tetap dijaga.

 

Danau Jernih Berair Asin

Foto oleh Azhari Fauzi

Bergerak sedikit ke selatan, kami menyusur jalanan berbatu gamping yang permukaannya tandus hingga tiba di suatu lokasi yang tampak seperti danau. Napabale namanya, berada antara desa Wabantinggi dan Lohia. Airnya yang transparan kebiruan bertabur pulau-pulau karang berdiameter tidak begitu besar. Saking jernihnya, kita bisa melihat dasar danau berkedalaman sekitar lima meter itu dari atas permukaan.

Uniknya, air danau ini ternyata asin. Saya baru mafhum ketika diberitahu bahwa sebenarnya di sisi utara Napabale terdapat lorong kecil yang terhubung ke laut lepas. Pada saat air surut, lorong sepanjang 30 meter itu dapat dimasuki dengan menumpang “pincara” (perahu dengan dua platform) yang banyak disewakan warga di pinggir danau.

“Orang sini percaya bahwa dari Napabale lah peradaban Muna bermula,” celetuk Umar sembari mendampingi kami berjalan di sisi-sisi danau. Cerita turun temurun yang beredar, pada abad 15 seorang raja menemukan putri yang terapung pada sebuah talam di pulau ini. Tak disangka, ternyata sang perempuan (kemudian dikenal bernama Wa Tandi Abe) tersebut merupakan istri sang raja yang telah lama terpisah. Bersatunya pasangan ini diyakini menjadi cikal bakal berkembangnya masyarakat Muna.

Perjalanan di Pulau Muna sore itu berakhir di sebuah rumah apung suku Bajo di Desa Renda. Baru saja tiba di serambi rumah setelah turun dari perahu yang mengantar, tuan rumah tenyata sudah menyiapkan beberapa kelapa muda untuk pelepas dahaga. Segar sekali rasanya menyesap kelapa yang baru dipetik itu, apalagi setelah terpapar matahari seharian lamanya.

Beberapa menit berselang, tuan rumah mempersilakan masuk ke rumahnya. Tak dinyana, ternyata di meja makan mereka telah menghidangkan aneka panganan laut yang tampak begitu menggiurkan. “Ini semua segar, baru saja kami pancing tadi siang. Ayo mari disantap.”

Tentu ini kesempatan langka yang tak boleh dilewatkan begitu saja. Di kota besar, cakalang, kepiting kenari, udang dan cumi seperti yang tersaji ini merupakan jenis makanan yang cukup “bergengsi”. Tapi, disini, di kampung Bajo Muna kami bisa menyantap sepuasnya tanpa harus berpikir panjang mengenai harga. Ya, semuanya kami peroleh secara gratis. Sebagai penghormatan untuk kedatangan tamu, katanya. Ah, pulau ini memang penuh kejutan, sekaligus bersahaja!

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU