Pandemi Virus Corona (Covid-19) telah memaksa beberapa negara di dunia menerapkan sistem lockdown di wilayah negaranya. Lockdown dilakukan dengan menutup akses keluar-masuk serta menghentikan semua aktivitas di luar rumah. Tujuannya adalah untuk menekan angka penyebaran Covid-19 agar tidak semakin meluas. Tercatat 23 negara telah memberlakukan lockdown, berikut daftar lengkapnya.
Lockdown merupakan pilihan yang sangat teramat berat, oleh karena itu hingga saat ini Pemerintah Indonesia belum berani untuk mengambilnya. Penduduk Indonesia begitu besar, tersebar di seluruh kepulauan dari Sabang hingga Merauke yang sangat luas. Bukan hanya menutup akses keluar-masuk, lockdown juga berarti menghentikan semua lini sektor kehidupan, mulai dari pasokan bahan makanan pokok, bisnis, pendidikan, dan sebagainya.
Jika lockdown diberlakukan di Indonesia, maka dampak ekonomi yang timbul akan sangat besar. Hal ini ditegaskan oleh Kepala Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Yose Rizal Damuri. Menurutnya lockdown selama dua minggu akan menurunkan 0.5% PDB nasional, 1% jika berlangsung satu bulan. Angka 0.5% bernilai Rp 75 triliun, hampir setara dengan APBD DKI 2020 berkisar Rp 88 triliun.
Selain itu, masalah sosial baru juga bisa saja muncul dan memperburuk situasi di tengah lockdown, misalnya kesiapan suplai bahan pangan. Saat ini pasokan bahan pangan Indonesia belum cukup jika harus digunakan untuk memenuhi masyarakat Indonesia yang berjumlah ratusan juta yang tersebar di seluruh penjuru tanah air yang begitu luas.
Lockdown di Jakarta akan menghambat pasokan bahan pangan karena akses yang tertutup. Selama ini Jakarta selalu menggantungkan pasokan bahan pangan dari luar daerah. Sehingga jika diberlakukan lockdown dipastikan akan terjadi kelangkaan dan kenaikan harga. Tidak berhenti sampai disitu, arus distribusi barang jelang Ramadhan juga terganggu, akibatnya inflasi diatas 6% terjadi dan daya beli masyarakat turun.
Jika lockdown benar-benar diberlakukan di Indonesia dipastikan kegiatan ekonomi akan terhenti. Seperti yang diketahui, sebagian besar masyarakat Indonesia bekerja di sektor informal. Lockdown jelas dipastikan akan semakin menyengsarakan kehidupan masyarakat. Dari perhitungan yang dilakukan oleh Sekolah Tinggi Ilmu Lingkungan UI dengan skema simulasi khusus, total kerugian yang dialami masyarakat mencapai Rp 72 triliun dari hilangnya penghasilan.
Kerugian kehilangan penghasilan tersebut terjadi pada hari ke-240 jika locdown total diberlakukan. Secara terperinci, kerugian ekonomi secara sektoral tidak mengalami perbedaan berarti. Kerugian ekonomi sektoral pada hari ke-220 akan mencapai Rp 8.25 triliun. Sedangkan untuk kerugian pengobatan dapat ditekan pada hari ke-240 karena kasus baru akan nihil.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Eksportir Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno mengaku sama sekali tidak siap jika Indonesia memberlakukan lockdown, apalagi jika dalam jangka waktu lama. Menurutnya para pengusaha yang memiliki usaha di pasar non-goverment belum tidak akan siap karena belum tahu kompensasi income yang hilang dari mana, sementara kewajiban outcome sudah jelas dan tidak bisa ditunda.
Kompensasi yang diberikan oleh pemerintah memang bisa membantu, namun jelas tidak bisa mengubah kondisi fundamental karena dampak lockdown. Semua perusahaan memiliki ketahanan yang berbeda-beda, namun jika berlangsung hingga dua bulan atau lebih maka dipastikan gulung tikar. Pemutusan Kontrak Kerja (PHK) massal tak terhindar lagi.
Benny menjelaskan, saat ini satu-satunya cara yang dapat dilakukan oleh para pengusaha adalah mengelola arus kas untuk membayar gaji para karyawan dan cicilan pada bank. Selebihnya pengusaha terus memutar otak untuk menunda pembayaran kepada vendor atau pemasok bahan baku. Sejumlah vendor pun memahami kondisi ini dan sedikit memberi kelonggaran pada pengusaha.
Gloria Guevara dari World Travel Council (WTC) menyebutkan, setidaknya 50 juta pekerja di sektor pariwisata harus kehilangan pekerjaannya karena PHK sejak pandemi Covid-19 berlangsung pada akhir tahun 2019 lalu. Awal tahun 2020, industri pariwisata mengalami penyusutan hingga 20% dan terus naik seiring dengan belum meredanya pandemi ini.
Sektor penunjang pariwisata seperti maskapai penerbangan, hotel, retail, dan restoran mengalami dampak besar. Nilai okupansi hotel di Indonesia mengalami penurunan hingga 50%, hal ini tentu saja sangat berbahaya bagi kelangsungan bisnis perhotelan di Indonesia. Jika sampai April, pandemi ini belum juga berakhir maka dipastikan akan banyak hotel yang akan mengalami gulung tikar.