Perjalanan ke Museum Rumah Cut Nyak Dhien, Saat Sejarah Mulai Terlupakan

Apakah Cut Nyak Dhien, pahlawan dari tanah rencong ini mulai terlupakan?

SHARE :

Ditulis Oleh: Idrizal

“Sebagai perempuan Aceh, jangan meneteskan air mata atas orang yang syahid!” Begitulah beliau berkata kepada anak perempuannya Cut Gamblang yang sedih melihat jasad ayahanda syahid di medan perang. Entah terbuat dari apa jiwa perempuan tua tersebut karena mempunyai jiwa yang begitu kuat. Adalah Cut Nyak Dhien, seorang pejuang dari kaum perempuan yang berasal dari tanah rencong. Beliau pernah menjadi pemimpin perlawanan terhadap pasukan Belanda.

Museum Cut nyak dhien tampak dari samping. Foto merupakan dokumentasi penulis

Siapa yang tak kenal dengan beliau, sosok perempuan yang dengan kegigihannya melawan penjajah dan mampu menyurutkan perlawanan dari pasukan Belanda pada masanya dulu. Bahkan tidak itu saja, beliau juga sangat disegani oleh musuh-musuh nya.

Pada penghujung tahun 2015, saya mendapat kesempatan untuk mengunjungi tanah kelahiran Ibu Purba itu. Aceh, adalah daerah yang beberapa tahun silam pernah dilanda bencana alam Gempa dan Tsunami yang menimbulkan banyak korban, kerugian, dan juga membuat hampir keseluruhan daerah di Aceh ini porak poranda.

Di sana, hal yang pertama kali ingin saya lakukan adalah, pergi berkunjung ke rumah kediaman Cut Nyak Dhien yang pada tahun 1964 beliau ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional. Rumah itu kini telah dijadikan museum oleh pemerintah setempat yang memajang benda-benda yang dekat dengan keseharian beliau di beberapa waktu lampau. Saya ingin tahu, bagaimana kehidupan seorang perempuan pemberani yang pada masanya dulu, namanya, sangat dikenal seantaro nusantara ini hingga sekarang.

Mulanya, saya pikir tidak akan sulit  menemukan lokasi kediaman beliau dulu karena menurut saya, Cut Nyak Dhien adalah orang yang sangat terkenal di nusantara ini, apalagi di tanah kelahirannya sendiri. Tentu tidak akan sulit mencarinya jika saya mau bertanya kepada setiap orang yang tinggal di Aceh ini.

Namun, setelah saya mulai mencari di mana museum rumah beliau, saya sedikit kecewa karena pertama kali saya bertanya pada seorang ibu yang sedang bersama anaknya, saya mendapatkan jawaban yang sangat tidak saya harapkan. “Kalau museum rumah Cut Nyak Dhien, ibu kurang tahu dek, yang ibu tahu cuma museum rumah aceh.” Itulah jawaban dari ibu dan anaknya tersebut. Saya berpikir positif saja, mungkin ibu tersebut bukan warga asli Aceh.

Karena saya belum mendapatkan di mana lokasi museum rumah Cut Nyak Dhien tersebut, saya memutuskan untuk minum kopi sejenak, kebetulan tak jauh dari tempat saya bertanya sebelumnya saya melihat ada sebuah warung kopi. Sekalian saya mau mencoba kopi Aceh yang oleh para penikmat kopi bilang, jika berkunjung ke provinsi Aceh, akan menyesal jika tidak mencoba bagaimana nikmatnya kopi Aceh. Memang, dari banyak sumber yang saya dengar, kopi Aceh telah terkenal bahkan sampai keluar negeri.

Saya memasuki warung kopi itu.  Susunan meja dan kursi seperti semua warung minum pada umumnya, tidak ada perbedaan yang mencolok menurut saya, kecuali, percakapan orang di sini yang sedikitpun tidak saya mengerti. Namun, saya menemukan sebuah pemandangan yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Itu adalah, cara pembuatan kopi di sini.

Di daerah asal saya, mencampurkan beberapa sendok kopi dan gula ke dalam cangkir, kemudian diisi dengan air panas, begitulah cara membuat kopi yang biasa saya lihat selama ini. Namun, yang saya lihat di warung kopi Aceh kala itu, sangat berbeda. Kopi di sini dibuat seperti membuat teh tarik.  Dengan cara begitu, kopi yang dihasilkan memang sangat berbeda dari kopi yang pernah saya minum selama ini. Tidak ada sedikitpun bubuk kopi yang tersisa di dalam cangkir. Kita bisa menghabiskan kopi di sini sampai isi cangkirnya benar-benar kosong. Dan jika bertanya soal rasa, tidak lah salah yang orang bilang bahwa kopi Aceh sangat nikmat, dan wajar kopi Aceh disebut-sebut terkenal sampai keluar negeri.

Setelah saya menghabiskan secangkir kopi tadi, saya berniat untuk melanjutkan pencarian kediamannya Cut Nyak Dhien kembali.

Sambil membayar minuman tadi, saya mencoba bertanya pada pemilik warung kopi tersebut, “Mau tanya bang, museum rumah Cut Nyak Dhien arah mana ya bang? Mereka tampak bingung, saling memandang, dan saling berbicara dalam bahasa Aceh. Saya tidak mengerti sedikitpun apa yang sedang mereka bicarakan, namun, dari gerak-gerik mereka saya bisa menebak bahwa merekapun tampak kebingungan di mana letak museum itu. Beberapa saat kemudian, “duh, kami kurang tahu juga dek, di sini museum yang kami tahu cuma museum rumah Aceh.” Mendengar jawaban itu, saya kembali kecewa. Oh Tuhan, ada apa dengan orang di sini, kenapa susah sekali menemukan museum rumah Cut Nyak Dhien. Saya teringat akan kata-kata Soekarno “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa pahlawannya”. Sayang, yang terjadi di depan saya sekarang malah sebaliknya. Jangankan pejuang-pejuang dari daerah lain, seorang pejuang besar yang tanah kelahirannya di sinipun masih ada yang tidak mengenalnya, alangkah malangnya nasib bangsa ini.

Pada saat bersamaan saya mendengar seorang bapak, sekitar 60 tahunan, berkata, “Anak mau pergi ke rumah Cut Nyak Dhien? Pergilah ke daerah bernama Lampisang, kemudian tanya pada warga di sana di mana rumah beliau, kamu tidak akan susah mencarinya, karena rumah beliau berada tepat di pinggir jalan.” Sungguh melegakan! Ternyata masih ada yang tahu. Tapi, apakah hanya orang yang sudah tua yang kenal sejarah di sini? Besar harapan saya, selain orang yang telah saya tanyai sebelumnya tadi, semua tahu akan sejarah yang telah diperjuangkan oleh pejuang mereka sendiri.

Setelah bertanya-tanya, sampai jugalah saya ke rumah yang menjadi tempat lahir dan besarnya seorang perempuan yang bernama Cut Nyak Dhien. Benar, museum tersebut tepat berada di pinggir jalan, di daerah Lampisang. Pada saat itu, saya melihat ada orang lain yang juga berkunjung ke sini. Tidak terlalu ramai memang, hanya beberapa rombongan keluarga.

Ruangan depan. Foto merupakan dokumentasi penulis

Rumah tersebut terlihat sangat bersih dan kokoh, tidak ada kayu-kayunya yang terlihat lapuk. Terdapat banyak ruangan dan kamar di dalamnya. Juga, terdapat beberapa jenis senjata tajam yang dulunya pernah digunakan oleh keluarga Cut Nyak Dhien.

Saat tengah asyik mengamati, seorang bapak menghampiri saya, pak Fahri namanya. Beliau ini adalah petugas yang bekerja untuk menemani tamu yang datang ke museum ini. Sambil melihat setiap ruangan yang ada, pak Fahri menceritakan apa saja fungsi dari setiap ruangan yang ada.

Pak Fahri, selalu sabar memandu tiap tamu. Foto merupakan dokumentasi penulis

Menurut pak Fahri, rumah Cut Nyak Dhien pada dulunya memang berdiri tepat di atas tanah ini, namun bangunan yang berdiri sekarang adalah bangunan replika ulang. Karena, bangunan yang aslinya telah dibakar oleh pasukan belanda pada masa pemberontakan dulu. Akan tetapi, replika rumah ini, dibuat persis sama dengan bentuk aslinya, tidak ada yang dirubah, ditambah, dan dikurangi, semua dibuat berdasarkan yang aslinya. Oleh karena itulah rumah ini terlihat sangat kokoh dan bersih.

Kamar Cut Nyak Dhien. Foto merupakan dokumentasi penulis

Setelah puas berkeliling dan melihat-lihat. Saya izin pamit.

Matahari mulai muncul di ufuk barat. Rona jingga dan keemasan mulai tampak. Saya berencana untuk pergi membagi sore ini di Pantai Lampuuk, karena kata pak Fahri, tidak jauh dari sini,  tinggal lurus terus akan sampai di pantai tersebut.

Pembelajaran menarik saya dapat hari itu. Sebuah pengingat bagi diri saya pribadi, untuk terus belajar mengenal sejarah negeri ini lebih tekun.

Baca juga:

 

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU