Memasuki era digital, tren traveling atau liburan juga sedikit demi sedikit ikut bergeser. Para pelancong yang sebelumnya memesan tiket, hotel atau paket perjalanan melalui tour travel agent mulai berganti ke online travel agent yang lebih mudah dan praktis. Lewat OTA, para pelancong tak perlu lagi antri lama, membelah kemacetan dengan penuh emosi, menerjang hujan atau bergelut dengan panas matahari.
OTA membuat pelancong mendapatkan semua kemudahan hanya dalam satu genggaman. Lewat perangkat hp canggih, seseorang yang ingin liburan ke suatu destinasi bisa memesan sendiri hotel, tiket pesawat bahkan tiket atraksi. Bayar pun hanya dengan transfer yang juga bisa dilakukan lewat perangkat hp.
Baca juga: Pesan hotel pakai OTA atau langsung?
Dilihat sekilas mungkin akan muncul anggapan bahwa adanya perkembangan diera digital justru menjadi ancaman yang akan menggeser atau menggantikan para travel agen yang masih bertahan dengan sistem konvensional. Namun benarkah anggapan itu? Benarkah bahwa masyarakat sudah mulai beralih sepenuhnya ke OTA, atau justru masih cukup minat pada travel agen?
Joko Suratno, owner Ataya Tour nyatanya berpendapat lain. Baginya era digital hanyalah sebuah sistem yang diperuntukkan untuk mempermudah, bukan menggeser atau menggantikan travel agen konvensional yang sudah ada. Misalnya adanya teknologi digital dapat mempermudah dalam penyampaian detail informasi paket tour pada konsumen tanpa harus bertemu tatap muka.
“Pendekatan digital dalam sebuah travel agen juga pastinya disesuaikan dengan market. Bagi saya sendiri di Ataya Tour market terbesarnya kan di Jawa Tengah, yang mana masih sedikit lambat ketika diajak ke ranah digital. Jadi saya tetap mengutamakan konvensional,”ungkap Joko.
Satria Ramadhani, Manager Nusantara Tour berpendapat hampir serupa.
“Dunia digital merupakan dunia baru yang mempermudah kami untuk mempromosikan produk-produk di market yang lebih besar. Hal ini menjadi kesempatan bagi kami untuk meningkatkan produktivitas kami dalam hal operasional atau promosi.”, jelas Satria.
Meski demikian NUsantara Tour pun masih tetap menjalankan bisnis travel agennya secara konvensional.
Joko kembali menambahkan jika sebuah travel agen memang tidak bisa sepenuhnya beralih mengikuti digital atau beralih ke OTA. Kelebihan travel agen konvensional sendiri mengedepankan hubungan langsung atau sentuhan personal pada pelanggan atau calon pelancong yang akan menggunakan jasa mereka. Berbeda dengan OTA yang memang tidak memiliki sentuhan personal pada penggunanya.
“Sekarang misalnya travel agen dibuat online, nanti tetap saja harus kontak langsung untuk masalah tour leader atau lainnya. Kan itu jadinya nggak full online lagi. Jadi ya sebagai travel agen masih menggunakan metode konvensional, tapi juga tidak menutup diri untuk mengikuti era digital”, tambah Joko.
Sebagian pengelola travel agen yang sudah mulai sadar akan teknologi digital pun sudah mulai memikirkan untuk membuat website. Di mana website ini bisa jadi media bantu bagi para konsumen yang jauh untuk bisa memilih paket perjalanan yang mereka butuhkan. Namun untuk selanjutnya tetap dengan transaksi langsung dengan pihak travel agen. Sehingga meskipun ada peran era digital di dalamnya, namun tidak terlalu banyak.
“Minat masyarakat pada travel agen itu masih sangat tinggi. Kalau dirata-rata memang paling banyak dari government, kadang juga rombongan mereka tapi dana mereka sendiri. Jadi bukan dana dari government,” jelas Joko.
Dalam satu bulan, jika dirata-rata Ataya Tour bisa melayani sekitar 200 orang. Angka ini tentu saja angka rata-rata selama setahun, sebab memang tak selalu travel agen ramai peminat, apalagi di masa-masa low season. Namun angka ini cukup menjadi bukti bahwa peminat travel agen memang masih cukup tinggi. Belum semua orang beralih sepenuhnya ke OTA yang menggunakan sistem serba canggih.
Mayoritas pengguna Ataya Tour memang dari Jawa Tengah, bahkan mencapai 70%. Dari 70% ini mereka melakukan perjalanan domestik (dalam negeri) dan outbond tour (ke luar negeri). Destinasi luar negeri yangmasih menjadi favorit sampai sata ini adalah Thailand, dengan rate Rp5.000.000 untuk perjalanan tour 4 hari 3 malam. Sisanya 30% merupakan wisatawan dari luar Jawa Tengah yang datang ke Jaateng dan menggunakan jasa ataya Tour.
Joko menambahkan jika sebetulnya adanya OTA atau teknologi digital sebetulnya menyasar para pengguna sosial media atau mereka yang aktif di dunia internet. Selain itu peminat OTA biasanya juga anak-anak muda yang lebih senang liburan bebas ala backpacker.
“Kalau OTA itu kan biasanya untuk pesan hotel dan tiket saja. Sedangkan untuk akomodasi di tempat atau destinasi tujuan tidak bisa. Jadi memang selama ini paling banyak peminatnya mereka yang suka liburan dengan cara backpackeran. Mereka jadi lebih bebas mau ke mana-mana tanpa harus terikat rombongan,” pungkas Joko.
Begitupun yang terjadi di Nusantara Tour. Peminat layanan konvensial juga masih tinggi meskipun mereka sudah mulai menerapkan sistem online.
“Sampai saat ini peminat jasa Nusataratour adalah lintas generasi, untuk customer yang memilih tatap muka (offline) berkisar diumur 30 tahun ke atas. Sedangkan customer yang memilih kanal online, berkisar di umur 30 tahun ke bawah”, ungkap Satria.
Baca juga: Dunia Traveling di Era Millenial, Seperti Apakah?
ASITA merupakan kepanjangan dari Association of the Indonesian Tours & Travel Agencies atau Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia. Anggota dari asosiasi ini pastinya adalah perusahaan perjalanan atau travel agen yang sudah terverifikasi status legalnya.
Peran ASITA tidak hanya sebagai wadah berkumpul para pengusaha agen perjalanan, namun juga memfasilitasi para agen perjalanan agar bisa bertahan dan mengembangkan bisnis mereka. ASITA bertugas untuk melaksanakan sesuatu yang menjadi tujuan atau kebutuhan para anggotanya.
“Sebagai contohnya persoalan era digitalisasi dalam dunia agen perjalanan. Banyak sekali anggota yang belum tersentuh digitalisasi ini, padahal persaingan sudah mulai meningkat. Bukan hanya dari sesama anggota saja, tapi juga dari pihak luar non anggota. Maka tugas ASITA di sini adalah membantu agar teman-teman anggota tetap bisa fight dengan usaha mereka yang masih konvensional”, ungkap Joko Suratno yang juga merupakan Ketua ASITA DPD Jateng.
Langkah yang ditempuh misalnya dengan memberikan pelatihan dan edukasi pada para pemilik usaha travel agen konvensional. Mulai dari mengenalkan apa itu OTA, sistem online hingga cara memasuki dunia digital tersebut.
Saat ini setidaknya ada 165 travel agen yang sudah bergabung dalam ASITA DPD Jateng. Joko Suratno menambahkan bahwa keberadaan ASITA ini sebetulnya juga memberikan benefit bagi para pelaku usaha agen perjalanan. Misalnya memberikan perlindungan dan penguatan bisnis, serta melatih daya saing bisnis agar siap di lapangan.
Sayangnya masih banyak juga travel agen yang belum mau bergabung dalam ASITA. Penyebabnya tentu beragam, menurut Joko ada beberapa kemungkinan alasan. Pertama mungkin saja karena mereka belum tahu manfaat apa yang akan didapat jika bergabung dalam ASITA. Kedua, bisa saja karena mereka merasa keberatan dengan peraturan ASITA yang ketat. Ketiga karena adanya beban iuran tahunan yang dimanfaatkan untuk kebutuhan anggota.
Jika banyak kasus penipuan mengatasnamakan travel agent atau agen perjalanan, mungkin itu juga menjadi salah satu keteledoran dari calon pelancong. Memilih agen perjalanan memang tak mudah, harus paham betul apakah agen tersebut terpercaya atau tidak, legal atau tidak.
Sebetulnya kita bisa menyiasatinya dengan melihat status agen travel tersebut dalam keanggotaan ASITA. Paling tidak jika sebuah agen perjalanan sudah terdaftar resmi dalam anggota ASITA, maka data dipastikan bahwa agen tersebut telah berbadan hukum yang sah dan memiliki kantor yang pasti.
“Syarat menjadi anggota ASITA itu harus sudah memiliki legalitas hukum yang sah, harus punya bangunan tetap, dan juga SDM yang memadai. Sebelum diterima jadi anggota kami sudah survey terlebih dahulu. Jadi kalau dibilang terpercaya atau tidak, anggota kami sudah bisa dipercaya”, jelas Joko Suratno.
***
Meski era digital sudah hampir merajai semua lini kehidupan, namun nyatanya bisnis travel konvensional pun masih bisa bertahan dan berkembang. Tanpa harus alergi pada perkembangan teknologi, pelaku bisnis travel konvensional justru menganggap bahwa adanya digitalisasi adalah bagian dari sistem yang bisa membantu mereka dalam operasional bisnis.