Bubur Asyura menjadi kuliner yang tak pernah lepas dari Perayaan Tahun Baru Islam pada Bulan Muharram di Indonesia. Namun tradisi bubur Asyura kian ditinggalkan karena kehidupan yang kian modern.
Meskipun begitu, tradisi bubur asyura masih dilakukan oleh masyarakat tradisional di daerah-daerah. Seperti di Jawa yang selalu menyambut kedatangan bulan Muharram atau biasa disebut Sasi Suro dengan pembuatan bubur Asyura atau dalam bahasa Jawa, Bubur Suro di malam sebelum tahun baru Islam tersebut.
Banyak yang mengira Bubur Suro mengandung elemen animistik, namun sebenarnya bukan. Ini adalah cara masyarakat Jawa menyambut bulan Muharram yang telah dilakukan secara turun-temurun selama berabad-abad seperti halnya dalam tradisi dan budaya lainnya.
Di Aceh sendiri bubur khas bulan Muharram ini dimasak ketika puasa Asyura di mana bubur akan disajikan sebagai salah satu menu spesial untuk berbuka puasa Asyura, puasa di hari kesepuluh bulan Muharram yang dipercaya dapat menghapuskan dosa selama setahun penuh.
Tampilan bubur penyambut bulan Muharram di berbagai daerah di Indonesia ini ternyata berbeda-beda. Meskipun nama dan tujuan pembuatannya hampir sama, tapi ternyata bahannya cukup berbeda.
Di Jawa, Bubur Suro dibuat dari beras, santan, garam, jahe, dan serai. Rasanya gurih nuansa asin dan sedikit pedas dengan toping serpihan jeruh bali dan bulir buah delima serta tujuh jenis kacang yakni kacang tanah, mede, kacang hijau, kedelai, kacang merah, kacang tholo, kacang bogor sebagian digoreng dan sebagian lagi direbus. Tak lupa irisan ketimun dan beberapa lembar daun kemangi.
Sedangkan di Aceh bahannya berupa kelapa, pisang, nagka masak gula mera, beureune atau sejenis sagu yang butirannya keras, kacang hijau, ubi, dan labu kuning. Rasanya dominan ke manis.
Tradisi memasak bubur Asyura ini juga dilakukan umat muslim di negara tetangga seperti Malaysia dan Brunei Darusalam. Namun rasanya beragam, ada yang terbuat dari umbi-umbian yang manis, namun adapula yang gurih karena mengandung rempah dan daging-dagingan.