Nias memang terkenal sebagai daerah di Indonesia yang memiliki potensi wisata yang luar biasa indahnya tapi tahukah Anda bahwa Nias memiliki sejarah panjang tentang perburuan kepala manusia. Awuwukha adalah nama yang melekat dari perburuan itu.
Awuwukha memiliki arti “jurang yang dalam”, makna yang menyiratkan sosok tangguh dan tidak mudah dikalahkan. Semua hal tentang Awuwukha berawal lima generasi silam.
Dalam kisahnya, Awuwukha tinggal di sebuah desa bernama Botonadu (sekarang termasuk wilayah Kabupaten Nias Selatan, Provinsi Sumatera Utara), merekalah pencetus tradisi mangai binu di Pulau Nias. Ini adalah tradisi memenggal kepala manusia yang dilakukan pada zaman Nias kuno.
Mangai Binu sering disebut dengan möi ba danö, mofanö ba danö, mangai högö, atau möi emali dalam istilah lokalnya. Konon tradisi ini berawal karena pada waktu lampau Ibu dan 7 saudaranya dibakar hidup-hidup di kediaman mereka oleh sekelompok orang dari desa lain. Pengacau itu juga membakar lumbung padi milik Laimba, orang-orang yang paling dihormati di desa.
Ia pun bersumpah akan menuntut balas terhadap orang yang melakukan perbuatan itu. Akhirnya beberapa hari berselang, Awuwukha pulang dengan sebuah karung berisi belasan kepala manusia orang-orang yang membakar rumah dan membunuh keluarganya.
Namun musuhnya makin banyak, namun Awuwukha tak terkalahkan hingga menutup mata karena dimakan usia. Namanya pun menjadi legenda sekaligus diabadikan sebagai gelar yang diberikan untuk orang-orang sepertinya. Sejak saat itulah mangai binu jadi tradisi masyarakat desa.
Meskipun berawal dari sebuah balas dendam tapi kegiatan pemenggalan kepala manusia di Nias tak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Hanya mereka yang memiliki kedudukan sosial yang tinggi, berkuasa, dan kaya lah yang bisa berperan dalam hal ini seperti pesan terakhir sepeninggalan Awuwukha dulu.
“Adalah seorang raja, bangsawan, kepala suku, atau tetua adat yang akan meninggal, ia akan berpesan kepada anak dan keturunannya, Apabila minggal nanti Ia ingin dikuburkan bersama 5 kepala, 8 kepala atau 10 kepala maka anak dan keturunannya wajib memenuhi.” jelas Hezatulö Nduru, seorang kurator di Museum Pusaka Nias, seperti dikutip dari Liputan6.
Sayangnya praktek mangai binu meluas untuk berbagai kepentingan salah satunya adalah pembangunan rumah bangsawan Nias untuk pembangunan rumah. Sebagai rasa syukur para tukang atau Sawuyu kepalanya dipenggal untuk persembahan. Jika dirasa persembahan kurang, maka emali akan berburu kepala di kampung lain.
“Setelah mendapat mandat, para emali ini pun akan bergerilya ke kampung-kampung untuk mencari mangsa. Siapa saja yang ditemuinya, akan dipenggal kepalanya, sekalipun orang itu tidak memiliki dosa,” beber Hezatulo Nduru.
Perburuan itu dilakukan juga oleh kaum pria yang hendak memperistri gadis pilihannya. Keluarga calon mempelain perempuan biasanya meminta sang pria untuk mempersembahkan kepala musuh. Semakin banyak jumlahnya semakin tinggi nilai calon menantunnya itu.
Untungnya, perburuan itu makin memudar seiring misionaris Kristen masuk wilayah Pulau Nias di abad 20. Kini tradisi lompat batu di Nias yang dicetuskan kaum Zending menghapus tradisi perburuan kepala. Kini kemampuan melompati batu adalah penentu kehebatan orang Nias.