Saat kita menyebut sesuatu sebagai terbaik, tentu karena kita memiliki sesuatu untuk dibandingkan. Kita tak bisa menyebut A operator seluler terbaik jika belum pernah mencoba operator lain. Kita pun tak bisa menyebut kekasih kita adalah kekasih terbaik jika tak pernah mencoba pacaran dengan orang berbeda dalam satu waktu.
Saya telah mencobanya, bepergian 6 jam menggunakan motor dari Semarang menembus jalanan berdebu di Blora untuk menuju Bojonegoro, Jawa Timur -dan langsung kembali ke Semarang pada hari yang sama, naik bus malam Banyuwangi-Surabaya selama 8 jam dengan ditemani asap rokok seorang berbaju militer, penerbangan ke Jepang dan juga KA Ekonomi selama 13 jam ke Banyuwangi.
Setelah semua perjalanan singkat tersebut, saya mantap memilih KA Ekonomi sebagai moda transportasi jarak jauh terbaik. Berikut alasannya.
Kesan pertama saya dia seorang yang cuek. Mengenakan headset putih dengan volume kencang -saya bahkan tahu dia memutar lagu Firehouse berjudul I Live My Life for You, topi merah dan jaket bertudung ala rapper-rapper di film gangster Amerika.
Ternyata dia cukup baik, bahkan meminjami saya uang untuk membeli sepiring nasi goreng karena seluruh uang saya simpan di ransel besar, butuh waktu lama untuk mengambilnya.
Dia seorang mahasiswi IT salah satu universitas di Jogja yang akan pulang kampung ke Lombok. Dia menuju Banyuwangi untuk nantinya menyeberang ke Bali, lalu menuju Lombok.
Kami mengobrol banyak, mulai dari proyek sebuah aplikasi pelacak posisi bus yang sedang digarapnya, hingga anjing peliharaannya yang baru saja mati karena sakit.
Dia berkata lebih menyukai perjalanan menggunakan kereta karena dia tak pernah dapat mengobrol lama dan bebas saat di pesawat.
Setuju, sayapun. Entah kenapa meski di bus dan pesawat pun sebenarnya dapat mengobrol, tapi saya tak pernah seakrab dan senyaman mengobrol saat di KA Ekonomi.
Bagi yang belum terbiasa mungkin langsung terbayang betapa pegal punggungnya duduk selama 5 jam lebih di kursi dengan sudut 90 derajat. Saya merasakannya, tak hanya 5 jam, 13 jam di kereta dari Solo menuju Banyuwangi, dan keesokan harinya 10 jam dari Surabaya menuju Semarang!
Lamanya perjalanan akan lebih baik jika dianggap bukan sesuatu yang membuat kita berkata,’saya bersumpah tak akan naik kendaraan ini lagi!’.
Memang pegal, namun ada banyak hal yang bisa dilakukan disini.
Menyelesaikan bacaan “Life Traveler” karya Windy Ariestanty, mengobrol santai dengan orang baru -saya bahkan masih menjalin komunikasi dengan orang-orang yang saya temui diperjalanan, sibuk memotret hal-hal unik di perkampungan yang dilalui selama perjalanan -karena itulah saya membawa lensa tele, atau juga saat pegal benar-benar tak tertahankan cobalah iseng berjalan keliling gerbong mengikuti petugas yang menjajakan sewa bantal.
Bagi saya, selama 13 jam itu, KA Ekonomi adalah rumah saya.
Memang terkadang KA mengalami keterlambatan jadwal, namun sepengalaman saya menggunakan jasa ini, sangat jarang saya mengalaminya. Satu kali saya mengalaminya, saat menuju Semarang dari Cirebon. Kereta terlambat 10 menit karena ada sedikit masalah teknis, selebihnya, selalu tepat waktu. Bandingkan saat saya harus delay 2 jam saat akan menuju Bali padahal dalam kondisi sangat buru-buru.
Banyak orang lebih memilih memakai headset karena bunyi bising itu, tapi saya menyukainya. Bunyi roda kereta saat bergesekan dengan rel, bunyi batu-batu, juga decit kereta saat mengerem, bagi saya sama menyenangkannya seperti saat mencium aroma tanah yang terkena air hujan.