Ini Alasan Kenapa Paspor Indonesia Lemah di Mata Dunia

Kenyataan yang menyedihkan.

SHARE :

Ditulis Oleh: Echi

sumber foto

Suatu hari, teman saya mengeluh susahnya dapat visa kunjungan ke Amerika Serikat. Butuh perjuang yang panjang buat bisa liburan ke sana. Ribet dan banyak syaratnya termasuk sejumlah uang deposit yang harus dimiliki dan surat rekomendasi.

Nggak hanya Amerika Serikat, negara-negara maju lainnya seperti Inggris pun nggak mudah memberikan izin. Bahkan dari hasil rangking paspor terkuat dunia yang dikeluarkan passportindex dan Indonesia harus puas di posisi 132 dengan total 58 negara bebas visa.

Visa adalah ekspresi hubungan antar negara

Menurut Henley & Partners, visa merupakan suatu bentuk hubungan antar negara, dan pada umumnya mencerminkan status sebuah negara di dalam komunitas internasional. Jadi, dengan kata lain, kebijakan pemberlakuan bebas visa yang diberikan suatu negara dipengaruhi oleh status hubungan internasional.

Kok saya merasa kurang adil ya. Bukankah pada pasal 13 ayat 2 Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia disebutkan bahwa “Setiap orang berhak meninggalkan sesuatu negeri, termasuk negerinya sendiri, dan berhak kembali ke negerinya” Sedangkan kenyataannya, nggak semua orang Indonesia dan warga dunia lainnya bisa keluar masuk ke negeri orang.

Indonesia lebih beruntung dari India

Indonesia masih lebih beruntung sih, ada 58 negara yang berikan bebas visa. Sedangkan India, hanya peroleh 46 negara pemberi bebas visa.

Penasaran, apa sih yang mempengaruhi hal tersebut? Kenapa warga Indonesia hanya diperbolehkan kunjungi 58 negara tanpa visa. Sedangkan Jerman, dengan paspor hitamnya sangat digdaya bebas keluar masuk ke 158 negara.

Berterima kasih pada Adam Luedtke, Douglas G. Byrd, and Kristian P. Alexander. Berkat penelitian yang dikeluarkan pada jurnal berjudul “The Politics of Visa”, saya jadi tahu alasan kenapa paspor Indonesia termasuk lemah di mata dunia. Berikut faktor-faktor yang berpengaruh pada kedudukan dan kekuatan visa.

1. Faktor stabilitas negara

Menurut jurnal yang ditulis Luedtke “The Politics of Visa, 2010“,  negara-negara di Amerika latin yang mencintai kedamaian dan penggunaan bahasa yang homogen cenderung lebih mudah peroleh izin masuk negara.

Dia menjelaskan, negara rawan konflik dan cenderung mudah timbul ketegangan dengan dunia internasional tidak mudah peroleh izin masuk visa kunjungan.

Sekarang kita lihat Indonesia, memang Indonesia bukan negara yang sedang alami kemelut perang seperti Pakistan atau Suriah, namun kericuhan yang terjadi saat adanya demonstrasi jadi nilai negatif bagi negara pemberi izin bebas visa.

2. Jumlah populasi

Selanjutnya adalah masalah populasi. Ada ketakutan bagi pemberi visa kepada negara yang memiliki jumlah populasi penduduk besar. Mereka takut jika pemberlakuan bebas visa akan dimanfaatkan untuk migrasi besar-besaran.

Contohnya India dan China. Kedua negara berpenduduk sangat besar ini berada di urutan ke 168 dan 137 dunia. Sebaliknya, Finlandia dan Denmark yang notabene memiliki jumlah penduduk kecil ada di rangking 4 dan 5.

Bukan cuma India dan China, Indonesia pun termasuk negara dengan populasi penduduk yang besar dunia. Yah, negara maju lainnya tuh takut kalau kita berbondong-bondong migrasi ke negeri mereka yang ujung-ujungnya jadi beban mereka.

3. Kekayaan negara

Lalu, Luedtke menambahkan, pendapatan dan kesejahteraan penduduk negara tersebut pun jadi faktor penentu pemberian izin bebas visa. Banyak negara yang memberlakukan kekayaan atau uang simpanan yang ada di bank sebagai salah satu persyaratan pemberian visa.

Jumlah total keseluruhan pendapatan per kapita India memang cukup tinggi, namun hasil tersebut berbanding terbalik dengan penghasilan per kapita warganya. Maka, negara Bollywood ini dianggap miskin dan tak banyak peroleh bebas visa. Posisi India masih berada cukup jauh di bawah Indonesia. India di posisi 167, sedangkan Indonesia di posisi 132.

4. Negara demokrasi

Memang, jumlah pendapatan negara jadi salah satu acuan pemberlakuan bebas visa. Tapi, itu saja ternyata tidak cukup. Kebebasan berdemokrasi yang diterapkan negara tersebut jadi faktor pelengkapnya.

Negara-negara demokratis yang menjamin hak politik dan kemerdekaan sipil warganya cenderung mendapatkan lebih banyak izin bebas visa, karena warga negara-negara tersebut tidak dianggap sebagai ancaman oleh negara pemberi visa.

5. Pendidikan dan kesehatan

Di antara keempat faktor di atas, mungkin faktor pendidikan dan kesehatan jadi perhatian serius para pemberi izin bebas visa. Negara-negara dengan tingkat kemampuan bahasa Inggris yang baik cenderung lebih mudah peroleh visa.

Sedangkan dalam kaitannya dengan masalah kesehatan, muncul kekhawatiran tersebarnya virus penyakit berbahaya yang dibawa oleh pengunjung dari negara yang kurang perhatian dengan kesehatan warganya. Negara yang penduduknya rentan terhadap serangan suatu penyakit lebih sulit mendapatkan izin visa.

6. Terorisme dan kekerasan

Setiap 3 serangan teroris dalam satu tahun pada suatu negara atau demonstrasi yang berakhir ricuh pun bisa berimbas pada pengurangan 1 hak kunjungan bebas visa.

Terorisme yang sering dikaitkan dengan muslim pun membawa angin tidak enak bagi traveler muslim dunia. Mereka dicurigai sebagai terorisme sehingga ada negara-negara maju yang sangat berhati-hati saat menerima kunjungan turis muslim. Contohnya saja Amerika Serikat. Presiden Amerika Serikat paling kontroversial Donald Trump sempat berkicau bakal melarang muslim masuk ke Amerika Serikat.

Seperti yang kita tahu, penduduk Indonesia, Pakistan, Iraq, Afganistan mayoritas adalah umat muslim. Ketakutan akan terorisme memaksa negara pemberi visa membatasi pemberian bebas visa kepada negara muslim. Simply, karena ada anggapan teroris tumbuh di kalangan negara muslim.

***

Saya kurang paham masalah politik, tapi hasil penelitian Adam Luedtke adalah kenyataan pahit yang cukup sulit diterima. Kenapa ketakutan jadi alasan pengotak-ngotakan warga negara dunia.

Mau tahu artikel lain tentang paspor dan lainnya?Baca ini yuk,

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU